Jumat, 18 September 2015

FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN



BAB III
FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN

Abad pertengahan merupakan kurun waktu yang sangat khas. Secara singkat dikatakan bahwa dominasi agama Kristen pada abad ini sangatlah menonjol. Perkembangan alam pikiran harus disesuaikan dengan ajaran agama. Filsafat abad pertengahan menggambarkan suatu zaman yang baru di tengah-tengah suatu perkumpulan bangsa yang baru pula yaitu bangsa Eropa Barat.
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat Eropa (sekitar lima abad) belum memunculkan ahli pikir (filosuf). Akan tetapi setelah abad ke-6 masehi, baru muncul ahli pikir yang mengadakan penyelidikan filsafat.
Filsafat Barat abad pertengahan ini dikatakan sebagai abad kegelapan. Berdasarkan pada pendekatan sejarah Gereja, saat itu tindakan Gereja sangat membelenggu kehidupan manusia. Manusia tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya.
Para ahli berpendapat bahwa pada saat itu juga manusia tidak mempunyai kebebasan berpikir. Apalagi  terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran agama Gereja.
Siapapun orang yang mengemukakannya akan mendapatkan hukuman berat. Pihak Gereja akan melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan yang mengarah kepada rasio (akal) terhadap keyakinan (agama). Karena itu kajian terhadap agama (teologi) yang tidak berdasarkan ketentuan Gereja akan mendapatkan larangan ketat.
Yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak Gereja. Kendati demikian, ada juga yang melanggar peraturan tersebut dan mereka dianggap orang murtad dan kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi).
Abad pertengahan ditandai dengan berintegrasinya filsafat Yunani dengan agama Kristen sehingga memungkinkan adanya perkembangan dengan pembaharuan dalam filsafat karena adanya pengaruh agama Kristen. Dimasa ini penuh dengan dominasi Gereja. Tujuannya adalah untuk membimbing umat kearah hidup yang saleh tetapi menjadi salah karena dalam pelaksanaanya tanpa memikirkan  martabat  dan kebebasan manusia mengengkang pemikiran-pemikiran dan masa depan mereka, karena itu pula pada masa ini perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.
A.     ZAMAN PARTISIK  
1.      Makna Partisik
Partisik sebagaimana dijelaskan Hadiwijono (2001: 70) berasal dari kata latin
patter atau bapak, yang artinya para pemimpin gereja. Para pemimpin gereja ini dipilih dari golongan atas atau dari golongan ahli fikir.
Hal senada diungkapkan Surajiyo (2010: 89) yang menjelaskan makna dari partisik  berasal dari kata latin patres yang berarti bapak-bapak gereja, yaitu ahli-ahli agama Kristen pada abad permulaan agama Kristen berada. Menurut Anonim (2012) istilah partisik berasal dari kata latin patres yang berarti bapak dalam lingkungan gereja. Bapak yang mengacu pada pujangga Kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani, melalui peletakan dasar intelektual untuk agama kristen.
Dengan demikian, penulis dapat memberikan pandangan mengenai makna zaman partisik yaitu zaman yang didominasi atau dikuasai oleh para pemimpin gereja. Dalam hal ini para pemimpin gereja memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan manusia terutama dalam menyebarkan agama Kristen yang mereka yakini.
2.      Ajaran Tokoh Filosof Partisik
a.      Yustinus Martir (103-165 M)
Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiWPXvE0afJfvAFubrz4f2nGOqHbbJkSmcYby0fU458yNmDNoR90TphmWeuibpa_ginuqVwi9V20BfjC8l7e1-KDqr_eQGT9X17X3CDjahGI60Tu9FGmMd1sP4mzH8OaZ1zQH4XjwlslE/s1600/justin.jpg
Menurut Anonim (2013) nama asli dari Yustinus Martir adalahYustinus,  kemudian nama Martir diambil dari  istilah "orang-orang yang rela mati hanya untuk kepercayaannya". Ia berpendapat bahwa filsafat yang digabung dengan idea-idea keagamaan akan menguntungkan.
Esensi dari pengetahuan ialah pemahaman tentang Tuhan. Semakin banyak kita memikirkan kesempurnaan Tuhan, semakin bertambah kemampuan intelek kita. Menurut pendapat Muzairi (2009: 88) agama Kristen bukan agama baru, karena Kristen lebih tua dari filsafat Yunani dan nabi Musa dianggap seba­gai awal kedatangan Kristen. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa filsafat Yunani diambil dari kitab Yahudi yang dibawa oleh nabi Musa.
Yustinus adalah seorang martir agama Kristen pada akhir hidupnya sehingga nama Yustinus dikenal memiliki kepanjangan Yustinus Martir. Yustinus memiliki karya yaitu Liber Apoligeticus. Karya Yustinus tersebut mengandung pemikiran Yustinus tentang logika yang dipakai seseorang dalam mengimani sebuah kepercayaan. Oleh sebab itu Yustinus juga disebut sebagai seorang apologis (Anonim, 2012).
Pemikiran Yustinus dipakai oleh para apologis dalam membela ajaran Kristen. Pemikirannya yaitu penegasan bahwa agama Kristen bukanlah agama baru melainkan agama yang lebih tua dari pada filsafat Yunani. Oleh karenanya, hal yang wajib dipercaya oleh mereka adalah Allah yang Esa bukan para Dewa (banyak Tuhan).
 Argumen Yustinus berisi logikanya bahwa segala pemikiran diturunkan kepada orang Yunani adalah logos yang secara tidak langsung telah diturunkan oleh Nabi Musa (Anonim, 2013).
Penguatan argumen Yustinus adalah bahwa nabi Musa sebagai penyebab adanya Kristus yang dipercaya Kristen sebagai sumber logos. Oleh karena itu, siapapun orangnya (dalam hal ini orang Yunani)  ia telah mengandung unsur Kristus (benih logos).  
Yustinus  berargumen bahwa logos sendiri terpisah dari Tuhan dan merupakan turunan dari Tuhan. Pemikiran filsafat Yunani merupakan penyimpangan karena logos yang tumbuh tidak mencerminkan keilahian yang Esa, makanya agama Kristen menganggap hal tersebut sebagai pengaruh setan kepada manusia Yunani (Muzairi, 2009: 97).





b.      Klemens (150 – 215 M)
Klemens sebagaimana dijelaskan Syadali dan Mudzakir (2004: 155) lahir pada tahun 150 M di Alexandria dan meninggal dunia pada tahun 215 M. Ia adalah teolog Kristen, mengajar disekolah Kristen Katekis Alexandria. Ia adalah seorang yang terpelajar akrab dengan filsafat Yunani dan literatur
Menurut Anonim (2013) Klemens adalah salah satu tokoh pembela Kristen, tetapi ia tidak membenci fil­safat Yunani. Pokok-pokok pikirannya adalah sebagai berikut:
1)      Memberikan batasan-batasan terhadap ajaran Kristen untuk  mempertahankan diri dari otoritas filsafat Yunani.
2)      Memerangi ajaran yang anti terhadap Kristen dengan menggu­nakan filsafat Yunani.
3)      Bagi orang Kristen, filsafat dapat dipakai untuk membela iman Kristen dan memikirkan secara mendalam.
Salah satu pemikiran Klemens yang penting adalah usahanya untuk membangun hubungan yang baik antara iman Kristen dengan filsafat. Pada waktu itu, kebanyakan orang takut untuk menghubungkan keduanya karena akan dianggap sesat. Klemens berusaha memperlihatkan bahwa dengan mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan filsafat tidak lantas membuat orang menjadi sesat (Anonim, 2011).
Menurut Klemens sebagaimana dijelaskan oleh Hadiwijono (2001: 73) dalam berfilsafat, disamping iman masih ada hal yang lebih tinggi yaitu pengetahuan (Gnosis). Pengetahuan atau Gnosis ini bukan meniadakan iman tapi menerangi iman. Oleh karena itu iman harus berkembang menjadi pengetahuan.
    Terdapat tiga karya penting dari Klemens mengenai pengajaran agama Kristen, yaitu: Pertama tentang nasihat kepada orang Yunani (Exhortation to the Greeks) yang merupakan tulisan apologia Klemens mengikuti pola dari para apologet awal abad ke-2 seperti Yustinus.  Kedua, Pendidik (Tutor) yang berisi petunjuk bagi orang-orang yang baru menjadi Kristen untuk mempersiapkan diri menerima doktrin spiritual.
    Dalam tulisannya ini ia mengajarkan orang untuk hidup sederhana, satu jalan tengah di antara kehidupan yang penuh kemewahan dan kehidupan asketis dengan menyangkal diri. Ketiga, Serba-serbi (Carpet Bags), yang berisi tentang ajaran-ajaran rohani dari Klemens (Anonim, 2012).
c.       Tertullianus (160 – 222 M)
Tertullianus dilahirkan bukan dari keluarga Kristen, tetapi setelah melakukan pertobatan ia gigih membela Kristen dengan fanatik. Ia menolak kehadiran filsafat Yunani karena filsafat dianggap sesuatu yang tidak perlu. Dia berpendapat bahwa wahyu Tuhan sudahlah cukup dan tidak ada hubungan teologi dengan filsafat (Muzairi, 2009: 89).
Menurut Anonim (2012) tidak ada hubungan antara Yerussalem (pusat agama) dengan Yunani (pusat filsafat), tidak ada hubungan antara gereja dengan akedemi, tidak ada hubungan antara Kristen dengan penemuan baru.
Beliau mengatakan bahwa dibandingkan dengan cahaya Kristen, maka segala yang dikatakan oleh para filosof  Yunani dianggap tidak penting. Karena apa yang dikatakan oleh para filosof  Yunani tentang kebenaran pada hakikatnya sebagai kutipan dari kitab suci.
Tertullianus sebagaimana dijelaskan Tafsir (2013: 83) memberikan pemikiran bahwa tuhan adalah pemegang kekuasaan dan peraturan. Kepatuhan terhadap tuhan merupakan kewajiban. Dalam bukunya Adversus Marcion, ia menjelaskan bahwa Tuhan itu Esa. Kristus lahir sebagai juru penyelamat. Akan tetapi, di dalam bukunya Adversus Marcion, ia menyatakan bahwa Tuhan mempunyai tiga oknum, yaitu Bapak, Anak, dan Roh Kudus.
d.      Description: D:\SEMESTER 6\220px-Origen.jpgOrigenes (185-254 M)
Origenes lahir pada tahun 185M di Alexan-dria (Mesir) dan meninggal tahun 254 M. Ia berasal dari keluarga Kristen yang saleh, ayahnya merupakan salah satu tokoh gereja yang terkenal bernama Leonidas. Origenes merupakan salah satu murid Clement di sekolah teologi Alexandria (Anonim, 2013).
Tuhan menurut Orignes adalah transenden. Konsep transenden ialah suatu konsep yang menjelaskan bahwa Tuhan berada di luar alam, tidak dapat dijangkau oleh akal rasional, lawannya ialah konsep imanen yang berarti Tuhan itu di dalam alam.
Karena Tuhan transenden itulah maka menurut Origenes kita tidak mungkin mampu mengetahui esensi Tuhan, kita dapat mengkaji Tuhan melalui karya-karya-Nya (Syadali dan Mudzakir, 2004: 156).
Origenes adalah salah seorang teolog yang sangat berpengaruh di awal era kekristenan. Karya-karyanya antara lain De Principiis atau Peri Archon yang berisikan sebuah teologi sistematis yang membagi atau memisahkan Tuhan dan hubungannnya dengan alam semesta, ruang dari kemanusiaan, baik dan jahat serta interpretasi mengenai kitab suci, yang kemudian dikembangkan dalam menanggapi aliran bidaah saat itu (Anonim, 2011).
Karya beliau yang lain adalah Hexapla yang berisikan tafsiran kritis terhadap Kitab Suci berupa perbandingan dari 6 versi mengenai Perjanjian Lama. Selain itu ada Exhortatione ad Martyrum yang ditujukan pada Ambrosius ketika dia berada dalam bahaya karena penganiayaan Maximinus Thrax. Lalu De Oratione atau Peri Euches yang menyangkut masalah spritualitas (Petrus, 2004: 97). 
Menurut Anonim (2011) dari keseluruhan karyanya yang kurang lebih dua ribu tulisan, hanya sebagian yang masih tersimpan salinannya. Sebagian besar tulisannya telah musnah dan dilarang untuk disebarkan.
Beberapa karyanya yang tersisa menggunakan bahasa Yunani, dan sebagian yang lain merupakan terjemahan dalam bahasa latin.
Banyak tulisan Origenes yang berguna bagi perkembangan teologi. Akan tetapi ada beberapa gagasannya yang ditolak, seperti gagasannya mengenai Allah-Putera yang ‘kurang ilahi’ dibandingkan Allah-Bapa.Mengenai hal ini, Origenes menuliskan bahwa “Allah Bapa meliputi semua yang ada.
Putera sebaliknya lebih rendah daripada Bapa, mencakup hanya yang ada yang rasional, sebab Ia adalah yang kedua setelah Bapa. Malah lebih kecil lagi adalah Roh Kudus, yang bertindak hanya terhadap para kudus” (Anonim, 2012).
e.       Description: D:\SEMESTER 5\KAPITA SELEKTA BIO\SISTEM EKSKRESI\download (1).jpgPlotinus (204-270 M)
    Plotinussebagaimana dijelaskan Tafsir (2013: 66) dilahirkan pada tahun 204 di Mesir  daerah Lycopolis. Pada tahun 232 ia pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat pada seorang guru bernama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Pada umur 40 ia pergi ke Roma. Disana  ia ia menjadi pemikir terkenal pada zaman itu. Tahun 270 M ia meninggal di Minturnqe, Campania, Italia
Menurut Anonim (2013) sumbangan filsafat yang diberikan oleh Plotinus melalui muridnya bernama Porpyry yang mengumpulkan tulisannya berjumlah 54 karangan. Karangan itu dikelompokkan menjadi 6 set (ennead), yang tiap set berisi 9 karangan. Keenam set ini menjadi pangkal pokok dalam ajarannya.
Ennead lebih lanjut dijelaskan Tafsir (2013: 66) yang pertama berisi masalah etika, mengenai kebajikan, kejahatan, dan masalah pencabutan dari kehidupan. Ennead kedua membicarakan fisik alam semesta, tentang bintang-bintang, potensialitas dan aktualitas, sirkulasi gerakan, dan kualitas serta bentuk. Ennead ketiga membahas implikasi filsafat tentang dunia, seperti masalah iman, dan kuasa Tuhan.
Ennead keempat membicarakan sifat dan fungsi jiwa, penginderaan, dan ingatan. Ennead kelima berisi pembahasan tentang roh ketuhanan (divine spirit). Ennead keenam berisi tentang berbagai topik seperti tentang kebebasan kemauan (free will).
 Sistem metafisika Plotinus ditandai oleh konsep transendens. Menurut pendapatnya, di dalam pikiran terdapat tiga realitas, yaitu The One, The Mind, dan The Soul. The One (Yang Esa) adalah Tuhan, yaitu suatu realitas yang tidak mungkin dapat dipahami melalui metode sains dan logika. Realitas kedua ialah Nous, suatu istilah yang dapat juga disebut Mind. Ini adalah gambaran tentang Yang Esa.
Kandungan Nous adalah benar-benar kesatuan. Untuk menghayatinya kita mesti melalui perenungan. The Soul  mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil (Tafsir, 2013: 68).
Idea keilmuan pada masa Plotinus tidak begitu maju. Ia menganggap sanins lebih rendah daripada metafisika, metafisika lebih rendah daripada keimanan. Surga lebih berarti daripada bumi, sebab surga itu tempat peristirahatan yang paling mulia.
Bintang-bintang adalah tempat tinggal para dewa. Ia juga mengakui adanya hantu yang bertempat tinggal diantara bumi dan bintang-bintang.
Semua hal itu memperlihatkan rendahnya mutu sains Plotinus. Beliau disebut musuh Naturalisme. Ia membedakan dengan tegas antara tubuh dengan jiwa. Jiwa tidak dapat dipahami dengan ukuran-ukuran badaniah dan fakta alam harus dipahami sesuai dengan tendensi spritualnya. (Tafsir, 2013: 71).
f.        Augustinus (354-430 M)
     Augustinus lahir di Tagasta, (sekarang Algeria) pada tanggal 13 November tahun 354 M. Saat berumur 11 tahun ia dikirim ke sekolah Madaurus. Lingkungan itu telah mempengaruhi perkembangan moral dan agamanya. Tahun 369-370 M dihabiskannya dirumah sebagai pengangguran, tetapi suatu bacaan tentang Cicero pada bukunya Hortensius, telah membimbingnya ke filsafat (Syadali dan Mudzakir, 2004: 91).
Menurut Anonim (2012) sejak masih muda Augustinus telah mempelajari bermacam-macam aliran filsafat, antara lain Platonisme dan Skeptisisme. Ia telah diakui keberhasilannya dalam membentuk filsafat abad pertengahan sehingga ia dijuluki sebagai guru filsafat yang sejati. Ia seorang tokoh besar di bidang teologi dan filsafat.
Agustinus menentang aliran skeptisisme (aliran yang meragukan kebenaran). Menurut Agustinus, Tuhan menciptakan dunia ex nihilo artinya dalam menciptakan dunia dan isinya, Tuhan tidak menggunakan bahan.
Augustinus mengatakan daya pemikiran manusia ada batasnya, tetapi pikiran manusia dapat mencapai kebenaran dan kepastian yang tidak ada batasannya yang bersifat kekal abadi. Artinya, akal pikir manusia dapat berhubungan dengan sesuatu kenyataan yang lebih tinggi (Anonim, 2011).
Mengenai pengetahuan dan panca indera, Augustinus berpandangan bahwa hal tersebut merupakan salah satu aktivitas dari jiwa. Ketika seseorang melihat suatu objek dengan panca inderanya, maka muncul suatu gambaran tentang objek tersebut yang  dibentuk oleh jiwa atau akal budi. Misalnya seseorang melihat dan mengatakan bahwa baju itu bagus.
Menurut Augustinus, dengan mata kita hanya mampu melihat sebuah baju, tetapi kata bagus yang ditambahkan merupakan hasil perbandingan dengan objek lain yang dibuat oleh jiwa atau akal budi (Salam, 1995: 87).
Augustinus menulis banyak karangan. Yang termasyhur ialah confessions (pengakuan-pengakuan) di mana ia mengisahkan riwayat hidupnya berupa doa dihadapan Tuhan. Dalam buku De Civitate Dei (perihal Negara Allah) ia mengemukakan pendapatnya sebagai teolog dan filsuf Kristen tentang sejarah perkembangan sejarah umat manusia.
Karya Augustinus yang paling berpengaruh yaitu The City of God. Karya ini muncul disebabkan oleh adanya perampasan Roma oleh pasukan Alarik. Buku ini berisi tidak hanya penolakan atas keraguan yang tersebar ketika itu tetapi juga mengetengahkan suatu sejarah filsafat yang sistematis yang menarik perhatian orang-orang pada Abad ke-20  (Tafsir, 2013: 112).
Karya The City of God dijelaskan Lavine (2002: 66) merupakan penolakan terhadap pernyataan-pernyataan kaum non-Kristiani setelah Roma diguncang oleh serbuan-serbuan orang Jerman, yakni bahwa agama Kristen adalah penyebab terjadinya wabah penyakit yang menimpa Roma, bahwa dewa-dewa telah murka karena mereka dikesampingkan. Augustinus dalam karyanya tersebut menjelaskan bahwa keagungan Roma atau kehancurannya tidak terkait sama sekali dengan dewa-dewa kuno.
3.      Sumbangan Filsafat Partisik terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Menurut Anonim (2012) ajaran-ajaran dari para bapak gereja adalah falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini ingin memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pemikiran-pemikiran paling dalam dari manusia. Pada masa Partisik ini dapat dikatakan era filsafat yang berlandaskan akal-budi diabdikan untuk dogma agama.
   Setelah berakhirnya zaman sejarah filsafat Barat Kuno dengan ditutupnya akademia Plato pada tahun 529 M oleh kaisar Yustinianus, karangan-karangan peninggalan para Bapa Gereja berhasil disimpan dan diwariskan di biara-biara pada zaman tersebut  dan beratus-ratus tahun sesudahnya, praktis menjadi pusat-pusat intelektual berkat kemahiran para biarawan dalam membaca, menulis, dan menyalinnya ke dalam bahasa Latin-Yunani serta tersedianya fasilitas perpustakaan (Anonim, 2011).
   Penulis menambahkan bahwa perkembangan ilmu pada zaman partisik banyak diberikan oleh para bapak gereja, imam gereja dan para pujangga gereja. Sehingga pada zaman ini, ilmu pengetahuan banyak berkembang didalam gereja-gereja. Didalamnya terdapat banyak buku karangan gereja yang menjadi bakal cikal lahirnya ilmu pengetahuan yang lain.
B.     ZAMAN SKOLASTIK AWAL
1.      Makna Skolastik
 Zaman skolastik awal sebagaimana dijelaskan Surajiyo (2010: 90) berlangsung dari tahun 800-1200 M. Zaman skolastik ini memiliki perbedaan dengan zaman partisik.
Dengan demikian kata “skolastik” menunjukkan kepada suatu periode di abad pertengahan ketika banyak sekolah didirikan dan banyak pengajar ulung bermunculan. Periode ini dibagi menjadi 3 tahap yaitu periode skolastik awal, periode puncak perkembangan skolastik dan periode skolastik akhir.
 Menurut Salam (1995: 191) sebutan skolastik berasal dari kata latin scholasticus yang bermakna “murid”. Hal ini dikarenakan dalam pengajaran filsafat  pada zaman ini diajarkan pada sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang tetap dan yang bersifat internasional. Metode yang digunakan pada skolastik ini adalah  disputatio  yaitu membandingkan argumentasi diantara yang pro dan kontra.
Berbeda dengan halnya yang diungkapkan oleh Muzairi (2009: 91) istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school (Bahasa Inggris), yang berarti sekolah. Jadi skolastik berarti aliran yang berkaitan dengan sekolah.
Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat Abad Pertengahan. Menurut Tafsir (1991: 112) skolastik disebut demikian karena filsafat diajarkan pada universitas-universitas (sekolah) pada waktu itu.
Meskipun terdapat perbedaan antara pengertian dari segi bahasa, tetapi  maknanya sama. Pernyataan penulis ini diperkuat oleh Anonim (2012) yang menyatakan corak khas skolastik adalah sebagai berikut:
a.       Filsafat skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama.
b.      Filsafat skolastik adalah filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian baik dan buruk.
c.       Filsafat skolastik adalah suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat akan dimasukan ke dalam bentuk sintesis yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.

2.      Ajaran Tokoh Filosof Skolastik Awal
Penulis menuturkan terdapat beberapa tokoh yang berperan dalam mengembangkan filsafat skolastik awal, diantaranya adalah Johanes Scotes Eriugena (810-870 M), Santo Anselmus (1033-1109 M), dan Peter Abaelardus (1079-1142 M ).
a.      Johanes Scotes Eriugena (810-870 M)
  Scotus Eriugena (± 810-870 M) dari Irlandia adalah seorang manusia yang ajaib. Ia menguasai bahasa Yunani dengan amat baik pada suatu zaman dimana orang banyak tidak mengenal bahasa itu. Ia juga berhasil menyusun suatu sistem filsafat yang teratur secara mendalam pada suatu zaman ketika orang masih berfikir hanya dengan mengumpulkan pendapat orang lain saja (Anonim, 2011).
Pemikiran filsafatnya berdasakan pemikiran Kristiani. Oleh karena itu segala penelitiannya dimulai dari iman sedangkan wahyu ilahi dipandang sebagai sumber bahan-bahan filsafatnya. Menurut beliau akal bertugas mengungkapkan arti yang sebenarnya dari bahan-bahan filsafat yang digalinya dari wahyu Ilahi (Hadiwijono, 2001: 91).
Menurut Anonim (2012) sumbangan filsafat yang diberikan oleh Johanes adalah tentang hakikat alam yaitu satu atau esa. Tetapi didalam alam yang esa ini dibedakan 4 bentuk, yaitu:
1)      Alam yang menciptakan, tetapi yang sendiri tidak diciptakan. Alam semesta secara sempurna ini adalah Tuhan, satu-satunya realitas adalah hakikat segala sesuatu  yang  jauh melebihi segala penentuan, bahkan mengatasi segala ”yang ada”.
2)      Alam yang menciptakan, tetapi yang sendiri diciptakan. Ini adalah teopani yang pertama, yaitu dunia idea yang adalah pola dasar segala sesuatu.
3)      Alam yang diciptakan, tetapi yang sendiri tidak diciptakan. Ini adalah teopani kedua yaitu perealisasian segala sesuatu didalam dunia yang tampak ini.
4)      Alam tidak menciptakan dan tidak diciptakan. Inilah Tuhan sebagai bentuk alam yang keempat. 
b.      Santo Anselmus  (1033-1109 M)
Sa  Santo Anselmus sebagaimana dijelaskan Syadali (1997: 91) merupakan salah satu tokoh filsafat yang mengeluarkan pernyataan credo ut intelligam yang dianggap merupakan ciri utama filsafat Abad Pertengahan. Ia berasal dari keluarga bangsawan di Aosta, Italia, tahun 1033.
Seluruh kehidupannya dipenuhi oleh kepatuhannya terhadap Gereja.
Menurut Anselmus, iman merupakan tema sentral pemikirannya. Iman kepada kristus adalah hal yang paling penting. Pernyataan credo ut intelligam menggambarkan pentingnya mendahulukan iman daripada akal. Ungkapan ini menggambarkan bahwa ia mendahulukan iman daripada akal.
Arti ungkapan itu tentang  percaya agar mengerti (believe in order to understand)  yang secara sederhana ialah percaya terlebih dahulu supaya mengerti. Ia mengatakan bahwa wahyu harus diterima lebih dahulu sebelum mulai berpikir (Tafsir, 2013: 95).
Mengenai sifat Tuhan, Anselmus menyebutkan Tuhan bersifat esa, kekal, baik, dan sempurna. Tuhan tidak berada di dalam ruang dan waktu, tetapi segala sesuatu berada di dalam Tuhan.
 Teori pengetahuan Anselmus menyatakan bahwa pengetahuan dimulai dari penginderaan, lalu terbentuklah pengetahuan akliah dan terakhir adalah menangkap kebesaran Tuhan melalui jalur mistik (Simoan, 2004: 83).
Diantara karya-karya Anselmus adalah  Monologium, Proslogium dan Cur Deus Homo, dalam ejaan Inggris Why God Become Man (Mengapa Tuhan Menjadi Manusia) merupakan karya teologi yang cukup lama berpengaruh terhadap pemikir agama. Monologium membicarakan keadaan Tuhan, Proslogium berisi tentang dalil-dalil adanya Tuhan, dan Cur Deus Homo berisi ajarannya tentang tobat dan petunjuk mengenai penyelamatan melalui Kristus (Syadali, 1997: 91).




c.       Peter Abaelardus (1079-1142 M )
Peter Abelardus lahir di Pallet (Palais) tidak jauh dari Nantes, Perancis pada tahun 1079 M. Dia adalah anak tertua dari Breton. Nama aslinya adalah Pierre de Palais. Peter Abaelardus adalah seorang filsuf dan teolog yang terkenal pada Abad Pertengahan. Ia dipandang sebagai pendiri skolastisisme (Anonim, 2012).
Salah satu pemikiran Abaelardus yang terkenal dibidang etika adalah tentang kemurnian sikap batin. Disamping itu dia juga berfikir bahwa peranan akal dapat menundukan iman.  Iman harus didahului oleh akal. Berfikir itu berada diluar iman (diluar kepercayan). Oleh sebab itu berfikir merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Peter Abaelardus memberikan status yang tinggi kepada penalaran dari pada iman (Anonim, 2013).
Peter Abaelardus mempunyai kepribadian yang keras dan pandangannya sangat tajam , sehingga sering kali bertengkar dengan para ahli pikir dan pejabat gereja. Ia termasuk orang konseptualisme dan sarjana terkenal dalam sastra romantik, sekaligus sebagai rasionalistik.
 Artinya peranaan akal dapat memudahkan kekuatan iman. Iman harus mau didahului akal yang harus dipercayai adalah apa yang telah disetujui atau dapat diterima oleh akal (Muzairi, 2009: 94-95).
Semasa hidupnya Peter Abaelardus termasuk orang yang dikenal sebagai konseptualisme dan sarjana yang dikenal dalam sastra romantik, sekaligus sebagai rasionalistik. Peter Abaelardus memberikan alasan bahwa berpikir itu berada di luar iman. Karena itu berpikir merupakan sesuatu yang berdiri sendiri.
Hal ini sesuai dengan metode dialektika yang tanpa ragu-ragu ditunjukkan dalam teologi yaitu bahwa teologi harus memberikan tempat bagi semua bukti-bukti. Dengan demikian, dalam teologi iman hampir kehilangan tempat (Anonim, 2011).
Sumbangan filsafat yang diberikan oleh Peter Abaelardus terhadap perkembangan ilmu berupa berdirinya universitas-universitas dan perserikatan-perserikatan biarawan yang ikut serta menyelenggarakan ilmu.
 Perkembangan filsafat skolastik awal menerima perhatian yang sangat besar dari pemikiran para tokoh dizaman pertengahan. Diantaranya universitas di Eropa. Universitas-universitas ini merupakan sumber dan pusat ilmu serta kebudayaan termasuk ilmu sains (Suriasumantri, 2009: 83).
3.      Sumbangan Filsafat Skolastik Awal terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sumbangan pada zaman skolastik awal adanya perkembangan di Eropa mengalami kemajuan yang luar biasa, karena berdirinya universitas-universitas dan perserikatan-perserikatan biarawan yang ikut serta menyelenggarakan ilmu.
Perkembangan filsafat skolastik awal menerima perhatian yang sangat besar dari pemikiran para tokoh dizaman pertengahan. Diantaranya universitas di Eropa dan Oxford. Universitas-universitas ini merupakan sumber dan pusat ilmu serta kebudayaan termasuk ilmu sains (Suriasumantri, 2009: 83).
Menurut Anonim (2011) sumbangan zaman skolastik awal terhadap perkembangan ilmu  salah satunya peran dari Boethius yang menterjemahkan logika Aristoteles ke dalam bahasa latin dan menulis beberapa traktat logika Aristoteles.
Kaisar Karel Agung membangun pendidikan yang terdiri dari tiga jenis yaitu pendidikan yang digabungkan dengan biara, pendidikan yang ditanggung biayanya, dan pendidikan yang dibangun raja atau kerabat kerajaan.
C.     Zaman Kejayaan Skolastik
1.      Faktor Pendorong Kejayaan Skolastik
   Zaman skolastik mencapai puncak kejayaan pada abad XIII. Di masa ini filsafat masih dikaitkan dengan teologi. Hal ini disebabkan oleh dibukanya universitas-universitas baru dan disebarluaskannya karya-karya filsafat Yunani. Periode puncak perkembangan skolastik dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat Arab dan Yahudi.
 Filsafat Aristoteles memberikan warna dominan pada alam pemikiran abad pertengahan. Universitas-universitas pertama didirikan di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200), dan masih banyak lagi universitas yang mengikutinya (Surajiyo, 2010: 86).
Hal serupa diungkapkan Hadiwijono (2001: 120) pada masa ini kejayaan skolastik berlangsung dari abad 1200-1300 M yang disebut juga dengan masa berbunga karena bersamaan dengan munculnya beberapa universitas dan ordo-ordo yang menyelenggarakan pendidikan ilmu pengetahuan. Pada Abad ke-13 dianggap sebagai zaman kejayaan dalam filsafat dan teologi skolastik.
  Menurut Muzairi (2009: 95) Skolastik mencapai kejayaan karena bersamaan dengan munculnya beberapa universitas dan ordo-ordo yang secara bersama-sama menyelengarakan atau memajukan ilmu pengetahuan. Disamping itu juga peranaan universitas sebagi sumber atau pusat lmu pengetahuan dan kebudayaan.
Faktor pendorong kejayaan filsafat skolastik sebagaimana dijelaskan Simon (2004: 102) adalah sebagai berikut:
a.       Adanya pengaruh Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, sejak abad ke-12 sampai ke-13 telah tumbuh menjadi ilmu pengetahuan yang luas.
b.      Tahun 1200 didirikan Universitas Almamater di Prancis. Ini merupakan gabungan dari beberapa sekolah. Almamater inilah sebagai awal berdirinya Universitas di Paris, di Oxford, Mont pellier, Cambridge dan lain-lain.
c.       Berdirinya ordo-ordo. Ordo inilah yang muncul karena banyaknya perhatian orang terhadap ilmu pengetahuan sehingga menimbulkan dorongan yang kuat untuk memberikan suasana yang semarak pada abad ke-13.
2.      Ajaran Tokoh Filosof Zaman Kejayaan Skolistik
Penulis menuturkan tokoh-tokoh filsafat skolastik pada zaman kejayaan sebagaimana dijelaskan Asmoro (1995: 71) diantaranya Albertus Magnus (1203-1280 M), Thomas Aquinas  (1225-1274 M), dan Yohanes Duns Scotus (1266-1308 M).

a.      Albertus Magnus (1203-1280 M)
Menurut Simon (2004: 102) Albertus Magnus lahir dengan nama Albertus Von Bollstadt yang juga dikenal sebgai doktor universitas dan doktor magnus, kemudian bernama Albertus Magnus (Albert the Great). Ia mempunyai kepandaian luar biasa. Di universitas Padua ia belajar artes liberales, belajar teologi di Bulogna.
Menurut Albertus, secara hakiki iman harus dibedakan dengan pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Dalam pengetahuan, suatu kebenaran diterima karena kejelasannya yang dikuatkan dengan bukti-bukti. Tidaklah demikian dengan keadaan iman.
             Pada iman, tiada kejelasan yang berdasarkan akal. Kebenaran diterima iman bukan karena kejelasan kebenaran itu. Perbuatan iman lebih berdasarkan atas  perasaan dari pada atas pertimbangan akal. Maka isi kebenaran iman tidak dapat dibuktikan (Hadiwijono, 2001: 102).
            Pemikiran filsafat Albertus Magnus tentang jiwa dipengaruhi oleh teori Plato yang melihat jiwa sebagai suatu bentuk yang mampu berdiri sendiri. Albertus beragumen bahwa jiwa adalah penyebab adanya badan, dan jiwa bertanggung jawab pada eksistensi tubuh sebagaimana halnya Allah sebagai pencipta dunia. Jiwa manusia merupakan subtansi yang tidak bertubuh (Anonim, 2011).
            Karya-karya Albertus Magnus diterbitkan pada tahun 1651 di Lyon dan terdiri atas 21 jilid. Diantara isinya adalah komentar-komentar terhadap Aristoteles. Karena komentar-komentarnya terhadap filsafat Aristoteles ini ia merupakan pelopor yang membawa filsafat Aristoteles ke dalam agama Katolik. Ia menganjurkan adanya pemisahan antara agama dan filsafat.
            Agama berdasarkan wahyu dan filsafat berdasarkan akal, karena itu agama mengatasi akal manusia. Agama harus diperkuat dengan akal supaya dapat dimengerti dengan lebih mendalam. Agar kepercayaan menjadi lebih berharga dan dapat dipertahankan terhadap serangan-serangan orang yang tidak percaya maka dianjurkan agar filsafat sedapat mungkin menjadi abdi agama (Anonim, 2011).

b.      Thomas Aquinas (1225-1274 M)
Thomas Aquinas lahir di Roccasecca, Italia pada tahun 1225 dari keluarga Bangsawan baik Bapakanya maupun Ibunya. Melalui gurunya (Albertinus Magnus), Aquinas belajar tentang alam. Ia berfilsafat lebih empiris daripada orang-orang yang diikutinya (Suriasumantri, 2009: 159).

        Puncak kejayaan masa skolastik sebagaimana dijelaskan Syadali dan Mudzakir (1999: 80-81) dicapai melalui pemikiran Thomas Aquinas (1225-1274 M).  Ia mendapat gelar “The Angelic Doctor”, karena banyak pemikirannya terutama dalam “Summa Theologia” menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gereja. Menurutnya pengetahuan berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui indera dan diolah akal. Namun akal tidak mampu mencapai realitas tertinggi yang ada pada daerah adikodrati.
       Aquinas mengajarkan Tuhan adalah “dzat tertinggi” yang mempunyai keadaan yang paling tinggi. Tuhan adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat Aristoteles dalam pandangannya. Hidup manusia terbagi atas dua tingkat yaitu tingkat adikodrati dan kodrati (tingkat atas dan tingkatan bawah). Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati) (Tafsir, 2013: 97).
         Sumbangan filsafat yang diberikan Aquinas terhadap perkembangan ilmu yaitu dia membagi pengetahuan menjadi tiga bagian berupa Fisika, Matematika, dan Metafisika. Dari yang ketiga pengetahuan tersebut (Metafisika)  inilah yang mendapat banyak perhatian darinya. Menurut pendapatnya dia dapat menyajikan abstraksi tingkat tertinggi (Suriasumantri, 2009: 160).
          Doktrin pengetahuan Aquinas adalah realis moderat. Ia tidak sependapat dengan Plato yang mengajarkan bahwa alam semesta ini menpunyai eksistensi yang objektif. Ia mengajarkan bahwa alam semesta ini berada dalam tiga cara yaitu:  pertama, sebagai sebab-sebab didalam pemikiran Tuhan; kedua, sebagai idea dalam pemikiran manusia; dan ketiga, sebagai esensi sesuatu (Anonim, 2012).
         Menurut Tafsir (2013: 104) Thomas memberi 5 (lima) bukti adanya Tuhan, yaitu:
1)      Adanya gerak didunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama yaitu Tuhan.
2)       Di dunia yang diamati terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdaya guna.
3)      Di alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin ada dan tidak ada.
4)       Diantara segala yang ada terdapat ha-hal yag lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar dan lain sebagainya.
5)      Segala sesuatu yang tidak berakal seperti berbuat sesuatu menuju pada akhirnya.




c.       Description: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/73/John_Duns_Scotus_-_geograph.org.uk_-_1178460.jpg/220px-John_Duns_Scotus_-_geograph.org.uk_-_1178460.jpgYohanes Duns Scotus (1266-1308 M)
Yohanes Duns Scotus sebagaiamana dijelaskan Salam (1995: 191) adalah seorang skot dari ordo Fransiskan. Ia belajar di Cambridge, Oxford dan Paris yang kemudian menjabat menjadi guru besar di Paris. Tulisan-tulisannya sukar dimengerti, karena gaya bahasanya yang singkat. Ia adalah seorang ahli pikir tajam yang menyusun pembuktian-pembuktiannya dengan ketajaman yang mencolok dan mengupas argumentasi lawannya.
            Duns Scotus berpendapat bahwa ada hubungan yang selaras antara iman dan pengetahuan. Menurut Duns Scotus nisbah antara teologi dan filsafat keduanya adalah dua ilmu yang berdampingan, yang masing-masing memiliki pangkal keberangkatan serta metodenya sendiri-sendiri.
            Menurut Duns Scotus, kehendak lebih penting daripada akal. Sebab kehendaklah yang menentukan, sedangkan akal hanya dapat mengemukakan bermacam-macam kemungkinan kepada kehendak, agar bisa ditentukan yang mana yang harus dilakukan (Anonim, 2013).


3.      Sumbangan Zaman Kejayaan Skolastik terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
                    Karakteristik pada zaman kejayaan skolastik  ditandai dengan munculnya universitas-universitas dan ordo-ordo yang secara bersama-sama ikut menyelenggarakan atau memajukan ilmu pengetahuan.
                   Disamping itu juga peranan universitas sebagai sumber atau pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Asmoro, 1995: 71).
                      Penulis menambahkan pada zaman kejayaan ini terbukalah kesempatan bagi para pemikir Kristiani abad pertengahan untuk mempelajari filsafat Yunani secara lebih lengkap dan lebih menyeluruh daripada sebelumnya. Hal ini semakin  didukung dengan adanya biara-biara yang berfungsi untuk menterjemahkan, menyalin, dan memelihara karya sastra.
                     Abad ke-13 sebagaimana dijelaskan Hakim (2008: 137) menjadi abad kejayaan skolastik. Mulai abad ke-12 hubungan-hubungan baru mulai bermunculan dengan dunia pemikiran Yunani dan dunia pemikiran Arab.  Melalui karya orang-orang Arab dan Yahudi Eropa Barat mulai lebih mengenal karya-karya Aristoteles melalui karya para Bapak Gereja Timur.
                     Selain itu muncul pula  universitas-universitas  yang bergabung membentuk persekutuan antara dosen dan mahasiswa dari satu jurusan sehingga keduanya mewujudkan suatu kesatuan yang menyeluruh. Kesatuan ini disebut universitas magistrorum et scolarum.
                    Menurut Anonim (2012) pada zaman kejayaan skolastik muncul pula ordo-ordo baru  diantaranya Ordo Fransiskan dan Dominikan. Ordo Fransiskan didirikan oleh Fransiskus pada tahun 1209  M sedangkan ordo Dominikan didirikan oleh Dominikus de guzman pada tahun 1215 M. Salah satu aturan hidup yang diajarkan bagi anggota ordo dominikus ialah bahwa mereka wajib mencurahkan tenaganya dalam bidang studi teologi.
D.     Zaman Akhir Skolastik
1.      Faktor Penyebab Berakhirnya Zaman Skolastik
            Zaman skolastik akhir terjadi pada abad ke 14-15 yang  ditandai dengan pemikiran Islam yang berkembang kearah nominalisme yaitu aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu hal.
           Kepercayaan orang pada kemampuan rasio memberi jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat disatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran gereja, hanya iman yang dapat menerimanya (Anonim, 2012).
           Faktor penyebab berakhirnya zaman Skolastik, ditandai dengan adanya  rasa jenuh terhadap segala macam pemikiran filsafat yang menjadi kiblatnya,  sehingga memperlihatkan stagnasi atau kemandegan (Muzairi, 2009: 100). Faktor lain dari penyebab berakhirnya zaman Skolastik antara lain:
a.               Timbulnya kejenuhan terhadap segala macam pemikiran filsafat.
b.      Munculnya beberapa kelompok diantaranya adalah aliran Thomisme, Scotisme, Viaantiqua (jalan kuna) dan Via moderna (jalan modern). Aliran via antiqua merupakan kelompok lebih kecil dan lebih lemah dimana mereka adalah pengikut dari Augustinus dan Albertus Magnus yang tidak memiliki pemikiran baru. Berbanding terbalik deangan aliran via moderna yang menolak pemikiran metafisis yang kontruktif.
          Selain itu aliran via moderna lebih memperhatikan kepada hal-hal yang ilmiah dan positif, bukankepada persoalan-persoalan filsafat. Oleh karena itu dibidang teologia yang diperhatikan adalah persoalan gereja dan politik yang konkrit (Anonim, 2013).
c.       Pada tahap akhir masa skolastik terdapat filosof yang berbeda pandangan dengan Thomas Aquinas, yaitu William Occam (1285-1349). Tulisan- tulisannya menyerang kekuasaan gereja dan teologi Kristen.
         William Occam merasa  membela  agama dengan menceraikan ilmu dari  teologi.Tuhan harus diterima atas dasar keimanan, bukan dengan pembuktian.  Karena kepercayaan teologis tidak dapat didemonstrasikan (Suriasumantri, 2009:156).
2.      Tokoh Filosof Skolastik Arab (Islam)
                     Zaman akhir skolastik ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh filosof skolastik Arab. Sebagaimana dijelaskan Salam (1995: 191) berkat pengaruh Helenisme, filsafat Yunani hidup terus di Siria dan dikembangkan lebih lanjut oleh filosof-filosof Arab yang kemudian diteruskan kembali ke Eropa melalui Spanyol. 
                    Tokoh-tokoh yang termasuk para ahli pikir Islam (pemikir Arab atau Islam pada masa skolastik) diantaranya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, & Ibnu Rusyd.
a.      Al- Kindi (801- 865M)
Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak Al-Sabbah bin Imran bin Al-Asha’ath bin Kays Al-Kindi. Beliau lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah keturunan dari suku Kays, dengan gelar Abu Yusuf  ayahnya menjabat gubernur di Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas.
Al-Kindi merupakan nama yang diambil dari nama sebuah suku yaitu  Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan mereka mempunyai kebudayaan yang tinggi (Anonim, 2012).
  Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi martabatnya. Sedangkan agama merupakan ilmu mengenai kebenaran. 
Filsafat bagi al-Kindi ialah pengetahuan tentang yang benar. Disinilah terdapat persamaan filsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, demikian halnya dengan filsafat.
   Agama mempergunakan akal dan filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama bagi al-Kindi ialah Tuhan dan filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Bahkan al-Kindi berani mengatakan bagi orang yang menolak filsafat berarti telah mengingkari kebenaran dan menggolongkannya kepada kafir (Atiyeh, 1983: 87).
     Unsur filsafat yang dapat diketahui dari pemikiran Al-Kindi ialah:
1)   Aliran Pythagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
2)   Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika.
3)   Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
4)   Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
5)   Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifatNya.
6)   Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Qur’an (Anonim, 2013).
     Menurut Atiyeh (1983: 92) sebagai seorang ilmuwan yang kaya dengan pengetahuan, maka al-Kindi membuat sebuah karya tulis ilmiah, dan membuat terjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus melakukan koreksi serta perbaikan atas terjemahan orang lain. Sebagai seorang pakar ilmuan di kala itu, kita dapat melihat beberapa hasil tulisan yang dibuat oleh Al Kindi, yakni sebagai berikut:
1)   Bidang Filsafat seperti kitab Fi al-falsafat al-‘Ula, Kitab al-Hassi’ala Ta’allum al-Falsafat, Risalat ila al-Ma’mun fi al-illat wa Ma’lul, Risalat fi Ta’lif al-A’dad, Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma Fauqa al-Thabi’iyyat, Kammiyat Kutub Aristoteles, dan Fi al-Nafs (Anonim, 2013).
2)   Bidang Astronomi seperti  Risalah fi Masa’il Su’ila anha min Ahwal al-Kawatib (jawaban dari pertanyaan tentang planet), Risalah fi Jawab Masa’il Thabi’iyah fi Kayfiyyat Nujumiah (pemecahan soal-soal fisik tentang sifat-sifat perbintangan),  Risalah fi anna Ru’yat al Hilal la Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl fiha bi at-Taqrib (bahwa pengamatan astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan dengan ketetapan, dan Fi asy-Syu’at (tentang sinar bintang),(Anonim, 2012).
3)   Ilmu Pengobatan seperti Risalah fi’illat Naftcad-Damm (tentang hemoptesis yakni; batuk darah dari saluran pernapasan), Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib (tentang rabies).
4)   Ilmu Hitung seperti Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah (tentang jumlah relatif) dan Risalah fi at-Tajhid min Jihat al-’Adad (tentang keesaan dari segi angka-angka) (Anonim, 2013).
           Karya-karya yang disebutkan di atas merupakan sebagian terkecil dari sekian banyak karya Al-Kindi. Karya Al-Kindi disusun oleh Ibnu An-Nadim yang menyebutkan tidak kurang dari 242 buah karya Al-Kindi, sedangkan sumber lain menyebutkan 265 buah, dan membaginya menurut pokok persoalannya menjadi filsafat, logika, ilmu hitung, sferika, ilmu kedokteran, astrologi, polemik, psikologi, politik, meteorologi, dan ramalan (Atiyeh, 1983: 102).
b.      Al-Farabi (850-950 M)
Menurut Anonim (2011) Al-Farabi dengan nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya keturunan Iran dan ibunya keturunan Turkestan.
Sejak kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkistan, dan Kurdistan.
Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami filsafat Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat.
Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu (Asmoro, 2005: 97).
Menurut Al-Farabi akal yang dikonsepsikannya yaitu ‘Uqul Mufariqah (akal yang terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni. Roh itu pula yang menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam dibawah bulan.
Meskipun Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, namun ia tetap memegangi kepribadian, sehingga pikiran-pikiranya tersebut merupakan filsafat Islam yang berdiri sendiri bukan filsafat stoa, atau peripatetik atau Neo Platonisme (Anonim, 2012).
Filsafat al-Farabi  merupakan campuran antara filsafat Aritoteles dan Neo Platonisme dengan pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syiah Imamiyah. Al-Farabi berkeyakinan penuh bahwa antara agama dan filsafat tidak terdapat pertentangan karena sama-sama membawa kepada kebenaran.
Namun demikian, ia tetap berhati-hati atau bahkan khawatir kalau filsafat  membuat iman seseorang menjadi rusak, dan oleh karena itu ia berpendapat  disamping dirumuskan dengan bahasa yang samar-samar, filsafat juga hendaknya jangan sampai bocor ke tangan orang awam (Anonim, 2011).
Al-Farabi sebagaimana dijelaskan Petrus (2004: 87) memiliki pengetahuan yang luas dan dalam. Sumbangan filsafat yang diberikan Al-Farabi dalam perkembangan ilmu adalah berupa karangan kitab-kitabnya yaitu Aghradlu ma Ba’da at-Thabi’ah,  Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan pendapat  kedua filosof yakni  Plato dan Aristoteles), Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan), ‘Uyun al-Masail (Pokok-Pokok  persoalan), Ara-u Ahlil Madinah al-Fadhilah  (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama) dan Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).
c.       Ibnu Sina(980-1037M)
Menurut Anonim (2012) Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri sebagai pusat pemerintahan khilafah Abbasiyah yang dikuasai oleh golongan Bani Buwaih pada tahun 334 H.
Nama lengkap Ibnu Sina sebagaimana dijelaskan Syadali dan Mudzakir (2004: 173-174)  ialah Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibnu Sina, dibarat dikenal dengan nama Avicenna. Sealain dikenal sebagai ahli di bidang masanya  tahun 340 H (980 M) di suatu tempat yang bernama Afsyana, daerah Bukhara.
Ibnu Sina dilahirkan dan dibesarkan di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun. Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya (Anonim, 2013).
Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran tetapi melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit. Sebenarnya hidup Ibnu Sina tidak pernah mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak panjang.
Meskipun banyak kesibukan-kesibukannya dalam urusan politik, sehingga ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil meninggalkan berpuluh-puluh karangan (Petrus, 2004: 90).
Mengenai wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang  berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu Sina mengatakan bahwa akal mempunyai dua sifat yaitu sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul wujudul lighairi dan Mumkinul wujudul lidzatihi).
Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran Tuhan yaitu dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya (Nasution, 1973: 35).
 Menurut Syadali dan Mudzakir (2004: 175) Ibnu Sina memberikan perhatian yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan ataupun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Ibnu Sina mengatakan bahwa Tuhan itu adalah Al-aqlu (akal), ia memikirkan diri-Nya sendiri lalu memikirkan sesuatu di luar diri-Nya menyebabkan timbulnya akal lain yang dinamkan akal pertama (Al-Aqlu Awwal), akal pertama ini berpikir pula dan mengeluarkan akal kedua dan seterusnya.
Karya-karya Ibnu Sina Ibnu Sina yang terkenal antara lain Asy-Syifa yang merupakan buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, dan terdiri dari empat bagian yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). An-Najat yang merupakan ringkasan buku as-Syifa, Al-Isyarat wat-Tanbihat, Al-Hikmat al-Masyriqiyyah, dan Al-Qanun, atau Canon of Medicine tentang kedokteran (Anonim, 2012).
d.      Al-Ghazali (1058-1085 M)
Al-Ghazali sebagaimana dijelaskan Lavine (2002: 95) memiliki nama asli  adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang bergelar Hujjatul Islam. Beliau  lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Al-Ghazali pertama kali belajar agama di kota Tus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini,sampai yang terakhir ia wafat tahun 478 H atau 1085 M.
Tahun 483 H atau 1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain  mengajar ia  juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah, Isma’iliyyah, golongan filsafat dan lain-lain.
Pengaruh al-Ghazali di kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang ahli ketimuran (Orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum Muslimin berpangkal pada konsepsi al-Ghazali (Anonim, 2011).
 Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Sumbangan filsafat yang telah diberikan al-Ghazali terhadap perkembangan ilmu berupa puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi (Lavine, 2002: 103).
Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan (Nasution, 1973: 52).
Al-Ghazali menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf (Anonim, 2011).
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan dilain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak (Lavine, 2002: 108).
Karyanya yang terbesar yaitu  Ihya‘Ulumuddin yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama” berisi tentang paduan yang indah antara fiqih, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum Muslimin, tetapi juga di kalangan dunia Barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu serta jalan untuk mencapai Tuhan (Anonim, 2013).
d.      Ibnu Rusyd (1126-1198 M)
Ibnu Rusyd sebagaimana dijelaskan Lavine (2002: 98) memiliki nama lengkap Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim  dan kakeknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd kakek” (al-Jadd) adalah kepala hakim di Cordova.
     Syadali dan Mudzakir (2004: 183-184) menjelaskan bahwa menurut Ibnu Rusyd tugas filsafat ialah tidak lain dari berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada dan Al-Qur’an menyuruh supaya manusia berpikir tentang wajud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan.
     Menurut Anonim (2012) pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya.
   Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut.
Dalam kitabnya Fash al Maqal , Ibnu Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tidak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran atau hikmah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta.
 Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan, maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya (Nasution, 1973: 96)
Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Sumbangan filsafat yang diberikan oleh Ibnu Rusyd terhadap perkembnagan ilmu berupa karangan-karangan kitab yang meliputi berbagai ilmu seperti fiqih, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan filsafat.
Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibnu Bajah (Anonim, 2013).
Menurut Lavine (2002: 107) buku-buku Ibnu Rusyd yang lebih penting dan sampai kepada kita ada empat yaitu Bidayatul Mujtahid berupa ilmu fiqih yang berisi perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqih dengan menyebutkan alasannya masing-masing.
Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam) berisi persesuaian antara filsafat dan syari’at. Manahijul Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah tentang ilmu kalam. Buku ini menguraikan tentang pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya. Tahafut at-Tahafut suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam.
3.      Zaman Peralihan Skolastik
                  Setelah abad pertengahan berakhir sampailah pada masa peralihan yang diisi dengan gerakan kerohanian yang bersifat pembaharuan. Zaman peralihan ini merupakan embrio masa modern. Masa peralihan ini ditandai dengan munculnya renaissance, humanisme, dan reformasi yang berlangsung antara abad ke-14 hingga abad ke-16 (Anonim, 2012).
a.       Renaissance
              Renaissance atau kelahiran kembali Eropa  merupakan suatu gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia, kemudian Perancis, Spanyol, dan selanjutnya hingga menyebar ke seluruh Eropa. Di antara tokoh- tokohnya adalah Leonardo da Vinci, Michaelangelo, Machiavelli, dan Giordano Bruno (Lavine, 2002: 110)
b.      Humanisme
              Humanisme pada mulanya dipakai sebagai suatu pendirian ahli pikir Renaissance yang mencurahkan perhatiannya terhadap pengajaran kesusastraan Yunani dan Romawi, serta perikemanusiaan. Humanisme berubah fungsinya menjadi gerakan untuk kembali melepaskan ikatan dari gereja dan berusaha menemukan kembali sastra Yunani atau Romawi. (Anonim, 2011).


c.       Reformasi
              Reformasi merupakan revolusi keagamaan di Eropa Barat pada abad ke-16. Revolusi tersebut dimulai dari gerakan terhadap perbaikan keadaan gereja Katolik. Kemudian berkembang menjadi asas-asas Protestantisme. Para tokoh Reformasi antara lain Jean Calvin dan Martin Luther, (Anonim. 2012).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar