BAB
III
FILSAFAT
ABAD PERTENGAHAN
Abad pertengahan merupakan kurun waktu yang sangat khas.
Secara singkat dikatakan bahwa dominasi agama Kristen pada abad ini sangatlah
menonjol. Perkembangan alam pikiran harus disesuaikan dengan ajaran agama.
Filsafat abad pertengahan menggambarkan suatu zaman yang baru di tengah-tengah
suatu perkumpulan bangsa yang baru pula yaitu bangsa Eropa Barat.
Pada masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat Eropa
(sekitar lima abad) belum memunculkan ahli pikir (filosuf). Akan tetapi setelah
abad ke-6 masehi, baru muncul ahli pikir yang mengadakan penyelidikan filsafat.
Filsafat Barat abad pertengahan ini dikatakan sebagai abad
kegelapan. Berdasarkan pada pendekatan sejarah Gereja, saat itu tindakan Gereja
sangat membelenggu kehidupan manusia. Manusia tidak memiliki kebebasan untuk
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya.
Para ahli berpendapat bahwa pada saat itu juga manusia tidak
mempunyai kebebasan berpikir. Apalagi terdapat pemikiran-pemikiran yang
bertentangan dengan ajaran agama Gereja.
Siapapun orang yang mengemukakannya akan mendapatkan hukuman
berat. Pihak Gereja akan melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan yang
mengarah kepada rasio (akal) terhadap keyakinan (agama). Karena itu kajian
terhadap agama (teologi) yang tidak berdasarkan ketentuan Gereja akan
mendapatkan larangan ketat.
Yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah
pihak Gereja. Kendati demikian, ada juga yang melanggar peraturan tersebut dan
mereka dianggap orang murtad dan kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi).
Abad pertengahan ditandai dengan berintegrasinya filsafat
Yunani dengan agama Kristen sehingga memungkinkan adanya perkembangan dengan
pembaharuan dalam filsafat karena adanya pengaruh agama Kristen. Dimasa ini
penuh dengan dominasi Gereja. Tujuannya adalah untuk membimbing umat kearah
hidup yang saleh tetapi menjadi salah karena dalam pelaksanaanya tanpa
memikirkan martabat dan kebebasan manusia mengengkang
pemikiran-pemikiran dan masa depan mereka, karena itu pula pada masa ini
perkembangan ilmu pengetahuan terhambat.
A.
ZAMAN
PARTISIK
1.
Makna
Partisik
Partisik sebagaimana dijelaskan Hadiwijono (2001: 70) berasal dari kata latin
patter
atau bapak,
yang artinya para pemimpin gereja.
Para pemimpin gereja ini dipilih dari golongan atas atau dari golongan ahli
fikir.
Hal senada
diungkapkan Surajiyo
(2010: 89) yang menjelaskan makna dari partisik
berasal dari kata latin patres yang berarti bapak-bapak
gereja, yaitu ahli-ahli agama Kristen pada abad permulaan agama Kristen berada.
Menurut Anonim (2012) istilah partisik berasal dari kata latin patres yang berarti bapak dalam lingkungan gereja. Bapak yang
mengacu pada pujangga Kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani, melalui
peletakan dasar intelektual untuk agama kristen.
Dengan demikian, penulis
dapat memberikan pandangan mengenai makna zaman partisik yaitu zaman yang
didominasi atau dikuasai oleh para pemimpin gereja. Dalam hal ini para pemimpin
gereja memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan manusia
terutama dalam menyebarkan agama Kristen yang mereka yakini.
2.
Ajaran Tokoh Filosof Partisik
a.
Yustinus Martir (103-165 M)
Menurut Anonim (2013) nama asli
dari Yustinus Martir adalahYustinus,
kemudian nama Martir diambil dari istilah
"orang-orang yang rela mati hanya untuk kepercayaannya". Ia berpendapat bahwa filsafat yang digabung
dengan idea-idea keagamaan akan menguntungkan.
Esensi dari pengetahuan ialah pemahaman tentang
Tuhan. Semakin banyak kita memikirkan kesempurnaan Tuhan, semakin bertambah
kemampuan intelek kita. Menurut pendapat Muzairi (2009: 88) agama
Kristen bukan agama baru, karena Kristen
lebih tua dari filsafat Yunani dan nabi Musa dianggap sebagai awal kedatangan
Kristen. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa filsafat Yunani diambil dari
kitab Yahudi yang dibawa oleh nabi Musa.
Yustinus
adalah seorang martir agama Kristen pada akhir hidupnya sehingga nama Yustinus
dikenal memiliki kepanjangan Yustinus Martir. Yustinus memiliki karya yaitu
Liber Apoligeticus. Karya Yustinus tersebut mengandung pemikiran Yustinus
tentang logika yang dipakai seseorang dalam mengimani sebuah kepercayaan. Oleh
sebab itu Yustinus juga disebut sebagai seorang apologis (Anonim, 2012).
Pemikiran
Yustinus dipakai oleh para apologis dalam membela ajaran Kristen. Pemikirannya
yaitu penegasan bahwa agama Kristen bukanlah agama baru melainkan agama
yang lebih tua dari pada filsafat Yunani. Oleh karenanya, hal yang wajib dipercaya oleh mereka adalah Allah
yang Esa bukan para Dewa (banyak Tuhan).
Argumen Yustinus berisi logikanya bahwa segala
pemikiran diturunkan kepada orang Yunani adalah logos yang secara tidak
langsung telah diturunkan oleh Nabi Musa (Anonim, 2013).
Penguatan
argumen Yustinus adalah bahwa nabi Musa sebagai penyebab adanya Kristus yang
dipercaya Kristen sebagai sumber logos. Oleh karena itu, siapapun orangnya (dalam hal
ini orang Yunani) ia telah mengandung
unsur Kristus (benih logos).
Yustinus berargumen bahwa logos sendiri terpisah dari
Tuhan dan merupakan turunan dari Tuhan. Pemikiran filsafat Yunani merupakan
penyimpangan karena logos yang tumbuh tidak mencerminkan keilahian yang Esa,
makanya agama Kristen menganggap hal tersebut sebagai pengaruh setan kepada
manusia Yunani (Muzairi, 2009: 97).
b. Klemens (150 – 215 M)
Klemens sebagaimana dijelaskan Syadali dan Mudzakir (2004: 155) lahir pada tahun 150 M di Alexandria dan
meninggal dunia pada tahun 215 M. Ia adalah teolog Kristen, mengajar disekolah
Kristen Katekis Alexandria. Ia adalah seorang yang terpelajar akrab dengan
filsafat Yunani dan literatur
Menurut Anonim (2013) Klemens adalah salah satu tokoh pembela Kristen,
tetapi ia tidak membenci filsafat
Yunani. Pokok-pokok pikirannya adalah sebagai berikut:
1) Memberikan batasan-batasan terhadap ajaran Kristen
untuk mempertahankan diri dari otoritas
filsafat Yunani.
2) Memerangi ajaran yang anti
terhadap Kristen dengan menggunakan
filsafat Yunani.
3) Bagi orang Kristen, filsafat dapat dipakai untuk membela iman Kristen dan memikirkan
secara mendalam.
Salah satu pemikiran Klemens yang penting adalah usahanya untuk
membangun hubungan yang baik antara iman Kristen dengan filsafat. Pada waktu itu,
kebanyakan orang takut untuk menghubungkan keduanya karena akan dianggap sesat.
Klemens berusaha memperlihatkan bahwa dengan mempelajari hal-hal yang
berhubungan dengan filsafat tidak lantas membuat orang menjadi sesat (Anonim, 2011).
Menurut
Klemens sebagaimana dijelaskan oleh Hadiwijono (2001: 73) dalam berfilsafat, disamping iman masih ada hal yang
lebih tinggi yaitu pengetahuan (Gnosis). Pengetahuan atau Gnosis
ini bukan meniadakan iman tapi menerangi iman. Oleh karena itu iman harus
berkembang menjadi pengetahuan.
Terdapat
tiga karya penting dari Klemens mengenai pengajaran agama
Kristen, yaitu: Pertama tentang
nasihat kepada orang Yunani (Exhortation
to the Greeks) yang merupakan tulisan apologia Klemens mengikuti pola dari
para apologet awal abad ke-2 seperti Yustinus. Kedua,
Pendidik (Tutor) yang berisi petunjuk bagi orang-orang yang baru menjadi Kristen untuk mempersiapkan diri menerima doktrin spiritual.
Dalam tulisannya ini ia mengajarkan orang untuk hidup
sederhana, satu jalan tengah di antara kehidupan yang penuh kemewahan dan
kehidupan asketis dengan menyangkal diri. Ketiga,
Serba-serbi (Carpet Bags), yang berisi tentang ajaran-ajaran rohani dari
Klemens (Anonim, 2012).
c.
Tertullianus
(160 – 222 M)
Tertullianus dilahirkan bukan
dari keluarga Kristen, tetapi setelah melakukan pertobatan ia gigih membela
Kristen dengan fanatik. Ia menolak kehadiran filsafat Yunani karena filsafat
dianggap sesuatu yang tidak perlu. Dia berpendapat bahwa wahyu Tuhan sudahlah
cukup dan tidak ada hubungan
teologi dengan filsafat (Muzairi, 2009: 89).
Menurut
Anonim (2012) tidak ada hubungan antara Yerussalem (pusat agama) dengan Yunani
(pusat filsafat), tidak ada hubungan antara gereja dengan akedemi, tidak ada
hubungan antara Kristen dengan penemuan baru.
Beliau
mengatakan bahwa dibandingkan dengan cahaya Kristen, maka segala yang dikatakan
oleh para filosof Yunani dianggap tidak
penting. Karena apa yang dikatakan oleh para filosof Yunani tentang kebenaran pada hakikatnya
sebagai kutipan dari kitab suci.
Tertullianus
sebagaimana dijelaskan Tafsir (2013: 83) memberikan pemikiran bahwa tuhan
adalah pemegang kekuasaan dan peraturan. Kepatuhan terhadap tuhan merupakan
kewajiban. Dalam bukunya Adversus Marcion, ia menjelaskan bahwa
Tuhan itu Esa. Kristus lahir sebagai juru penyelamat. Akan tetapi, di dalam
bukunya Adversus Marcion, ia
menyatakan bahwa Tuhan mempunyai tiga oknum, yaitu Bapak, Anak, dan Roh Kudus.
d.
Origenes
(185-254 M)
Origenes
lahir
pada tahun 185M di Alexan-dria (Mesir) dan meninggal tahun 254 M. Ia berasal dari keluarga Kristen yang saleh, ayahnya
merupakan salah satu tokoh gereja yang terkenal bernama Leonidas. Origenes merupakan salah satu murid Clement di sekolah teologi Alexandria (Anonim, 2013).
Tuhan menurut Orignes adalah
transenden. Konsep transenden ialah suatu konsep yang menjelaskan bahwa Tuhan
berada di luar alam, tidak dapat dijangkau oleh akal rasional, lawannya ialah
konsep imanen yang berarti Tuhan itu di
dalam alam.
Karena Tuhan transenden itulah
maka menurut Origenes kita tidak mungkin mampu mengetahui esensi Tuhan, kita
dapat mengkaji Tuhan melalui karya-karya-Nya (Syadali dan Mudzakir, 2004: 156).
Origenes adalah salah
seorang teolog yang sangat berpengaruh di awal era kekristenan. Karya-karyanya
antara lain De Principiis atau Peri Archon
yang berisikan sebuah teologi sistematis yang membagi atau memisahkan Tuhan dan
hubungannnya dengan alam semesta, ruang dari kemanusiaan, baik dan jahat serta
interpretasi mengenai kitab suci, yang kemudian dikembangkan dalam menanggapi
aliran bidaah saat itu (Anonim, 2011).
Karya beliau yang lain
adalah Hexapla yang berisikan
tafsiran kritis terhadap Kitab Suci berupa perbandingan dari 6 versi mengenai
Perjanjian Lama. Selain itu ada Exhortatione
ad Martyrum yang ditujukan pada Ambrosius ketika dia berada dalam bahaya
karena penganiayaan Maximinus Thrax. Lalu De
Oratione atau Peri Euches yang
menyangkut masalah spritualitas (Petrus, 2004: 97).
Menurut Anonim (2011) dari
keseluruhan karyanya yang kurang lebih dua ribu tulisan, hanya sebagian yang
masih tersimpan salinannya. Sebagian besar tulisannya telah musnah dan dilarang
untuk disebarkan.
Beberapa karyanya yang tersisa menggunakan bahasa Yunani, dan
sebagian yang lain merupakan terjemahan dalam bahasa latin.
Banyak tulisan Origenes
yang berguna bagi perkembangan teologi. Akan tetapi ada beberapa gagasannya
yang ditolak, seperti gagasannya mengenai Allah-Putera yang ‘kurang ilahi’
dibandingkan Allah-Bapa.Mengenai hal ini, Origenes menuliskan bahwa “Allah Bapa
meliputi semua yang ada.
Putera sebaliknya lebih
rendah daripada Bapa, mencakup hanya yang ada yang rasional, sebab Ia adalah
yang kedua setelah Bapa. Malah lebih kecil lagi adalah Roh Kudus, yang
bertindak hanya terhadap para kudus” (Anonim, 2012).
e.
Plotinus (204-270 M)
Plotinussebagaimana dijelaskan Tafsir
(2013: 66) dilahirkan pada tahun 204 di Mesir
daerah Lycopolis. Pada tahun 232 ia pergi ke Alexandria untuk belajar
filsafat pada seorang guru bernama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Pada umur
40 ia pergi ke Roma. Disana ia ia menjadi pemikir terkenal pada zaman itu. Tahun
270 M ia meninggal di Minturnqe,
Campania, Italia
Menurut
Anonim (2013) sumbangan filsafat yang diberikan oleh Plotinus melalui muridnya
bernama Porpyry yang mengumpulkan tulisannya berjumlah 54 karangan. Karangan itu
dikelompokkan menjadi 6 set (ennead),
yang tiap set berisi 9 karangan. Keenam set ini menjadi pangkal pokok dalam
ajarannya.
Ennead lebih lanjut dijelaskan Tafsir
(2013: 66) yang pertama berisi masalah etika, mengenai kebajikan, kejahatan,
dan masalah pencabutan dari kehidupan. Ennead
kedua membicarakan fisik alam semesta, tentang bintang-bintang,
potensialitas dan aktualitas, sirkulasi gerakan, dan kualitas serta bentuk. Ennead ketiga membahas implikasi
filsafat tentang dunia, seperti masalah iman, dan kuasa Tuhan.
Ennead keempat membicarakan sifat dan
fungsi jiwa, penginderaan, dan ingatan. Ennead
kelima berisi pembahasan tentang roh ketuhanan (divine spirit). Ennead keenam
berisi tentang berbagai topik seperti tentang kebebasan kemauan (free will).
Sistem metafisika Plotinus
ditandai oleh konsep transendens. Menurut pendapatnya, di dalam pikiran terdapat
tiga realitas, yaitu The One, The Mind, dan The Soul. The One (Yang
Esa) adalah Tuhan, yaitu suatu realitas yang tidak mungkin dapat dipahami
melalui metode sains dan logika. Realitas kedua ialah Nous, suatu istilah yang dapat juga disebut Mind. Ini adalah gambaran tentang Yang Esa.
Kandungan
Nous adalah benar-benar kesatuan.
Untuk menghayatinya kita mesti melalui perenungan. The Soul mengandung satu
jiwa dunia dan banyak dunia kecil (Tafsir, 2013: 68).
Idea
keilmuan pada masa Plotinus tidak begitu maju. Ia menganggap sanins lebih
rendah daripada metafisika, metafisika lebih rendah daripada keimanan. Surga
lebih berarti daripada bumi, sebab surga itu tempat peristirahatan yang paling
mulia.
Bintang-bintang
adalah tempat tinggal para dewa. Ia juga mengakui adanya hantu yang bertempat
tinggal diantara bumi dan bintang-bintang.
Semua hal
itu memperlihatkan rendahnya mutu sains Plotinus. Beliau disebut musuh
Naturalisme. Ia membedakan dengan tegas antara tubuh dengan jiwa. Jiwa tidak
dapat dipahami dengan ukuran-ukuran badaniah dan fakta alam harus dipahami
sesuai dengan tendensi spritualnya.
(Tafsir, 2013: 71).
f.
Augustinus
(354-430 M)
Augustinus
lahir di Tagasta, (sekarang Algeria) pada tanggal 13 November tahun 354 M. Saat
berumur 11 tahun ia dikirim ke sekolah Madaurus. Lingkungan itu telah
mempengaruhi perkembangan moral dan agamanya. Tahun 369-370 M dihabiskannya
dirumah sebagai pengangguran, tetapi suatu bacaan tentang Cicero pada bukunya
Hortensius, telah membimbingnya ke filsafat (Syadali dan Mudzakir, 2004: 91).
Menurut
Anonim (2012) sejak masih muda Augustinus
telah mempelajari bermacam-macam aliran filsafat, antara lain Platonisme dan
Skeptisisme. Ia telah diakui keberhasilannya dalam membentuk filsafat abad
pertengahan sehingga ia dijuluki sebagai guru filsafat yang sejati. Ia seorang
tokoh besar di bidang teologi dan filsafat.
Agustinus menentang
aliran skeptisisme (aliran yang meragukan kebenaran). Menurut Agustinus, Tuhan
menciptakan dunia ex nihilo artinya
dalam menciptakan dunia dan isinya, Tuhan tidak menggunakan bahan.
Augustinus
mengatakan daya pemikiran manusia ada batasnya, tetapi pikiran manusia dapat
mencapai kebenaran dan kepastian yang tidak ada batasannya yang bersifat kekal
abadi. Artinya, akal pikir manusia dapat berhubungan dengan sesuatu kenyataan
yang lebih tinggi (Anonim, 2011).
Mengenai pengetahuan
dan panca indera, Augustinus berpandangan bahwa hal tersebut merupakan salah
satu aktivitas dari jiwa. Ketika seseorang melihat suatu objek dengan panca
inderanya, maka muncul suatu gambaran tentang objek tersebut yang dibentuk oleh jiwa atau akal budi. Misalnya
seseorang melihat dan mengatakan bahwa baju itu bagus.
Menurut Augustinus,
dengan mata kita hanya mampu melihat sebuah baju, tetapi kata bagus yang
ditambahkan merupakan hasil perbandingan dengan objek lain yang dibuat oleh
jiwa atau akal budi (Salam, 1995: 87).
Augustinus
menulis banyak karangan. Yang termasyhur ialah confessions (pengakuan-pengakuan) di mana ia
mengisahkan riwayat hidupnya berupa doa dihadapan Tuhan. Dalam buku De Civitate Dei (perihal
Negara Allah) ia mengemukakan pendapatnya sebagai teolog dan filsuf Kristen
tentang sejarah perkembangan sejarah umat manusia.
Karya
Augustinus yang paling berpengaruh yaitu The
City of God. Karya ini muncul disebabkan oleh adanya perampasan Roma oleh
pasukan Alarik. Buku ini berisi tidak hanya penolakan atas keraguan yang
tersebar ketika itu tetapi juga mengetengahkan suatu sejarah filsafat yang
sistematis yang menarik perhatian orang-orang pada Abad ke-20 (Tafsir, 2013: 112).
Karya
The City of God dijelaskan Lavine
(2002: 66) merupakan penolakan terhadap pernyataan-pernyataan kaum
non-Kristiani setelah Roma diguncang oleh serbuan-serbuan orang Jerman, yakni
bahwa agama Kristen adalah penyebab terjadinya wabah penyakit yang menimpa
Roma, bahwa dewa-dewa telah murka karena mereka dikesampingkan. Augustinus
dalam karyanya tersebut menjelaskan bahwa keagungan Roma atau kehancurannya
tidak terkait sama sekali dengan dewa-dewa kuno.
3. Sumbangan
Filsafat Partisik terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Menurut Anonim (2012)
ajaran-ajaran dari para bapak gereja adalah falsafi-teologis, yang pada intinya
ajaran ini ingin memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pemikiran-pemikiran
paling dalam dari manusia. Pada masa Partisik ini dapat dikatakan era filsafat
yang berlandaskan akal-budi diabdikan untuk dogma agama.
Setelah berakhirnya
zaman sejarah filsafat Barat Kuno dengan ditutupnya akademia Plato pada tahun 529 M oleh kaisar Yustinianus,
karangan-karangan peninggalan para Bapa Gereja berhasil disimpan dan diwariskan
di biara-biara pada zaman tersebut dan
beratus-ratus tahun sesudahnya, praktis menjadi pusat-pusat intelektual berkat
kemahiran para biarawan dalam membaca, menulis, dan menyalinnya ke dalam bahasa
Latin-Yunani serta tersedianya fasilitas perpustakaan (Anonim, 2011).
Penulis menambahkan
bahwa perkembangan ilmu pada zaman partisik banyak diberikan oleh para bapak
gereja, imam gereja dan para pujangga gereja. Sehingga pada zaman ini, ilmu
pengetahuan banyak berkembang didalam gereja-gereja. Didalamnya terdapat banyak
buku karangan gereja yang menjadi bakal cikal lahirnya ilmu pengetahuan yang
lain.
B. ZAMAN SKOLASTIK AWAL
1.
Makna
Skolastik
Zaman skolastik awal sebagaimana dijelaskan Surajiyo (2010: 90)
berlangsung dari tahun 800-1200 M. Zaman skolastik ini memiliki perbedaan
dengan zaman partisik.
Dengan demikian kata “skolastik” menunjukkan kepada
suatu periode di abad pertengahan ketika banyak sekolah didirikan dan banyak
pengajar ulung bermunculan. Periode ini
dibagi menjadi 3 tahap yaitu periode skolastik awal, periode puncak
perkembangan skolastik dan periode skolastik akhir.
Menurut Salam (1995: 191) sebutan skolastik berasal dari kata latin scholasticus yang bermakna “murid”. Hal ini dikarenakan
dalam pengajaran filsafat pada zaman ini
diajarkan pada sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu
kurikulum yang tetap dan yang bersifat internasional. Metode
yang digunakan pada skolastik ini adalah disputatio yaitu membandingkan argumentasi diantara yang
pro dan kontra.
Berbeda dengan halnya yang
diungkapkan oleh Muzairi (2009: 91) istilah skolastik adalah kata sifat yang
berasal dari kata school (Bahasa
Inggris), yang berarti sekolah. Jadi skolastik berarti aliran yang berkaitan
dengan sekolah.
Perkataan skolastik merupakan
corak khas dari sejarah filsafat Abad Pertengahan. Menurut Tafsir (1991: 112)
skolastik disebut demikian karena filsafat diajarkan pada
universitas-universitas (sekolah) pada waktu itu.
Meskipun terdapat perbedaan
antara pengertian dari segi bahasa, tetapi
maknanya sama. Pernyataan penulis ini diperkuat oleh Anonim (2012) yang
menyatakan corak khas skolastik adalah sebagai
berikut:
a.
Filsafat skolastik adalah filsafat
yang mempunyai corak semata-mata agama.
b.
Filsafat skolastik adalah filsafat
yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional memecahkan
persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian baik dan buruk.
c.
Filsafat skolastik adalah suatu
sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat akan dimasukan ke
dalam bentuk sintesis yang
lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.
2. Ajaran Tokoh Filosof
Skolastik Awal
Penulis
menuturkan terdapat beberapa tokoh yang berperan dalam mengembangkan filsafat
skolastik awal, diantaranya adalah Johanes
Scotes Eriugena (810-870 M), Santo Anselmus (1033-1109 M), dan Peter Abaelardus (1079-1142 M ).
a. Johanes
Scotes Eriugena (810-870 M)
Scotus Eriugena (± 810-870 M) dari Irlandia adalah seorang manusia
yang ajaib. Ia menguasai bahasa Yunani dengan amat baik pada suatu zaman dimana
orang banyak tidak mengenal bahasa itu. Ia juga berhasil menyusun suatu sistem
filsafat yang teratur secara mendalam pada suatu zaman ketika orang masih
berfikir hanya dengan mengumpulkan pendapat orang lain saja (Anonim, 2011).
Pemikiran
filsafatnya berdasakan pemikiran Kristiani. Oleh karena itu segala
penelitiannya dimulai dari iman sedangkan wahyu ilahi dipandang sebagai sumber
bahan-bahan filsafatnya. Menurut beliau akal bertugas mengungkapkan arti yang sebenarnya
dari bahan-bahan filsafat yang digalinya dari wahyu Ilahi (Hadiwijono, 2001:
91).
Menurut
Anonim (2012) sumbangan filsafat yang diberikan oleh Johanes adalah tentang hakikat alam yaitu
satu atau esa. Tetapi didalam alam yang esa ini dibedakan 4 bentuk, yaitu:
1)
Alam yang menciptakan,
tetapi yang sendiri tidak diciptakan. Alam semesta secara sempurna ini adalah
Tuhan, satu-satunya realitas adalah hakikat segala sesuatu yang
jauh melebihi segala penentuan, bahkan mengatasi segala ”yang ada”.
2)
Alam yang menciptakan,
tetapi yang sendiri diciptakan. Ini adalah teopani yang pertama, yaitu dunia
idea yang adalah pola dasar segala sesuatu.
3)
Alam yang diciptakan,
tetapi yang sendiri tidak diciptakan. Ini adalah teopani kedua yaitu
perealisasian segala sesuatu didalam dunia yang tampak ini.
4)
Alam tidak menciptakan dan
tidak diciptakan. Inilah Tuhan sebagai bentuk alam yang keempat.
b.
Santo
Anselmus (1033-1109 M)
Sa Santo Anselmus sebagaimana dijelaskan
Syadali (1997: 91) merupakan salah satu tokoh filsafat yang mengeluarkan
pernyataan credo ut intelligam
yang dianggap merupakan ciri utama filsafat Abad Pertengahan. Ia berasal
dari keluarga bangsawan di Aosta, Italia, tahun 1033.
|
Seluruh
kehidupannya dipenuhi oleh kepatuhannya terhadap Gereja.
Menurut
Anselmus, iman merupakan tema sentral pemikirannya. Iman kepada kristus adalah
hal yang paling penting. Pernyataan credo
ut intelligam menggambarkan pentingnya mendahulukan iman daripada
akal. Ungkapan ini menggambarkan bahwa ia mendahulukan iman daripada akal.
Arti
ungkapan itu tentang percaya agar mengerti (believe in order to understand) yang secara sederhana ialah percaya terlebih
dahulu supaya mengerti. Ia mengatakan bahwa wahyu harus diterima lebih dahulu
sebelum mulai berpikir (Tafsir, 2013: 95).
Mengenai
sifat Tuhan, Anselmus menyebutkan Tuhan bersifat esa, kekal, baik, dan
sempurna. Tuhan tidak berada di dalam ruang dan waktu, tetapi segala sesuatu
berada di dalam Tuhan.
Teori pengetahuan Anselmus menyatakan bahwa
pengetahuan dimulai dari penginderaan, lalu terbentuklah pengetahuan akliah dan
terakhir adalah menangkap kebesaran Tuhan melalui jalur mistik (Simoan,
2004: 83).
Diantara
karya-karya Anselmus adalah Monologium, Proslogium dan Cur Deus Homo,
dalam ejaan Inggris Why God Become Man (Mengapa Tuhan Menjadi Manusia)
merupakan karya teologi yang cukup lama berpengaruh terhadap pemikir agama. Monologium membicarakan keadaan Tuhan, Proslogium berisi tentang dalil-dalil
adanya Tuhan, dan Cur Deus Homo
berisi ajarannya tentang tobat dan petunjuk mengenai penyelamatan melalui
Kristus (Syadali, 1997: 91).
c. Peter Abaelardus (1079-1142
M )
Peter Abelardus lahir di Pallet
(Palais) tidak jauh dari Nantes, Perancis pada tahun 1079 M. Dia adalah anak
tertua dari Breton. Nama aslinya adalah Pierre de Palais. Peter Abaelardus
adalah seorang filsuf dan teolog yang terkenal pada Abad Pertengahan. Ia dipandang
sebagai pendiri skolastisisme (Anonim, 2012).
Salah
satu pemikiran Abaelardus yang terkenal dibidang etika adalah tentang kemurnian
sikap batin. Disamping itu dia juga berfikir bahwa peranan akal dapat
menundukan iman. Iman harus didahului
oleh akal. Berfikir itu berada diluar iman (diluar kepercayan). Oleh sebab itu
berfikir merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Peter Abaelardus memberikan
status yang tinggi kepada penalaran dari pada iman (Anonim, 2013).
Peter Abaelardus
mempunyai kepribadian yang keras dan pandangannya sangat tajam , sehingga sering
kali bertengkar dengan para ahli pikir dan pejabat gereja. Ia termasuk orang
konseptualisme dan sarjana terkenal dalam sastra romantik, sekaligus sebagai
rasionalistik.
Artinya peranaan akal dapat memudahkan
kekuatan iman. Iman harus mau didahului akal yang harus dipercayai adalah apa
yang telah disetujui atau dapat diterima oleh akal (Muzairi, 2009: 94-95).
Semasa
hidupnya Peter Abaelardus termasuk orang yang dikenal sebagai konseptualisme
dan sarjana yang dikenal dalam sastra romantik, sekaligus sebagai
rasionalistik. Peter Abaelardus memberikan alasan bahwa berpikir itu
berada di luar iman. Karena itu berpikir merupakan sesuatu yang berdiri
sendiri.
Hal
ini sesuai dengan metode dialektika yang tanpa ragu-ragu ditunjukkan dalam
teologi yaitu bahwa teologi harus memberikan tempat bagi semua bukti-bukti.
Dengan demikian, dalam teologi iman hampir kehilangan tempat (Anonim, 2011).
Sumbangan
filsafat yang diberikan oleh Peter Abaelardus terhadap perkembangan ilmu berupa
berdirinya universitas-universitas dan perserikatan-perserikatan biarawan yang
ikut serta menyelenggarakan ilmu.
Perkembangan filsafat skolastik awal menerima
perhatian yang sangat besar dari pemikiran para tokoh dizaman pertengahan.
Diantaranya universitas di Eropa. Universitas-universitas ini merupakan sumber
dan pusat ilmu serta kebudayaan termasuk ilmu sains (Suriasumantri,
2009: 83).
3. Sumbangan
Filsafat Skolastik Awal terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Sumbangan pada zaman skolastik
awal adanya perkembangan di Eropa mengalami kemajuan yang luar biasa, karena
berdirinya universitas-universitas dan perserikatan-perserikatan biarawan yang
ikut serta menyelenggarakan ilmu.
Perkembangan filsafat skolastik
awal menerima perhatian yang sangat besar dari pemikiran para tokoh dizaman
pertengahan. Diantaranya universitas di Eropa dan Oxford.
Universitas-universitas ini merupakan sumber dan pusat ilmu serta kebudayaan
termasuk ilmu sains (Suriasumantri, 2009: 83).
Menurut Anonim (2011) sumbangan zaman skolastik
awal terhadap perkembangan ilmu salah
satunya peran dari Boethius yang menterjemahkan logika Aristoteles ke
dalam bahasa latin dan menulis beberapa traktat logika Aristoteles.
Kaisar Karel
Agung membangun pendidikan
yang terdiri dari tiga jenis yaitu pendidikan yang digabungkan
dengan biara, pendidikan yang ditanggung biayanya, dan pendidikan yang dibangun
raja atau kerabat kerajaan.
C. Zaman
Kejayaan Skolastik
1. Faktor
Pendorong Kejayaan Skolastik
Zaman skolastik mencapai puncak kejayaan pada abad XIII. Di masa
ini filsafat masih dikaitkan dengan teologi. Hal ini disebabkan oleh dibukanya
universitas-universitas baru dan disebarluaskannya karya-karya filsafat Yunani.
Periode puncak perkembangan skolastik
dipengaruhi oleh Aristoteles akibat kedatangan ahli filsafat Arab dan Yahudi.
Filsafat Aristoteles memberikan warna dominan
pada alam pemikiran abad pertengahan. Universitas-universitas pertama didirikan
di Bologna (1158), Paris (1170), Oxford (1200), dan masih banyak lagi
universitas yang mengikutinya (Surajiyo, 2010: 86).
Hal serupa
diungkapkan Hadiwijono (2001: 120) pada masa ini
kejayaan skolastik berlangsung dari abad 1200-1300 M yang disebut juga dengan
masa berbunga karena bersamaan dengan munculnya beberapa universitas dan
ordo-ordo yang menyelenggarakan pendidikan ilmu pengetahuan. Pada Abad ke-13
dianggap sebagai zaman kejayaan dalam filsafat dan teologi skolastik.
Menurut
Muzairi (2009: 95) Skolastik mencapai kejayaan karena bersamaan dengan
munculnya beberapa universitas dan ordo-ordo yang secara bersama-sama
menyelengarakan atau memajukan ilmu pengetahuan. Disamping itu juga peranaan
universitas sebagi sumber atau pusat lmu pengetahuan dan kebudayaan.
Faktor
pendorong kejayaan filsafat skolastik sebagaimana dijelaskan Simon (2004: 102)
adalah sebagai berikut:
a.
Adanya pengaruh
Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, sejak abad ke-12 sampai ke-13 telah tumbuh
menjadi ilmu pengetahuan yang luas.
b.
Tahun 1200 didirikan
Universitas Almamater di Prancis. Ini merupakan gabungan dari beberapa sekolah.
Almamater inilah sebagai awal berdirinya Universitas di Paris, di Oxford, Mont
pellier, Cambridge dan lain-lain.
c.
Berdirinya
ordo-ordo. Ordo inilah yang muncul karena banyaknya perhatian orang terhadap
ilmu pengetahuan sehingga menimbulkan dorongan yang kuat untuk memberikan
suasana yang semarak pada abad ke-13.
2. Ajaran Tokoh Filosof
Zaman Kejayaan Skolistik
Penulis menuturkan
tokoh-tokoh filsafat skolastik pada zaman kejayaan sebagaimana dijelaskan
Asmoro (1995: 71) diantaranya Albertus Magnus (1203-1280 M), Thomas Aquinas
(1225-1274 M), dan Yohanes Duns Scotus (1266-1308 M).
a.
Albertus Magnus (1203-1280 M)
Menurut Simon (2004: 102) Albertus Magnus lahir
dengan nama Albertus Von Bollstadt yang juga dikenal sebgai doktor universitas dan doktor magnus, kemudian
bernama Albertus Magnus (Albert the Great). Ia mempunyai kepandaian luar biasa.
Di universitas Padua ia belajar artes liberales, belajar teologi di
Bulogna.
Menurut Albertus, secara hakiki iman harus dibedakan dengan
pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Dalam pengetahuan, suatu kebenaran
diterima karena kejelasannya yang dikuatkan dengan bukti-bukti. Tidaklah
demikian dengan keadaan iman.
Pada iman, tiada kejelasan yang berdasarkan
akal. Kebenaran diterima iman bukan karena kejelasan kebenaran itu. Perbuatan
iman lebih berdasarkan atas perasaan dari pada
atas pertimbangan akal. Maka isi kebenaran iman tidak dapat dibuktikan
(Hadiwijono, 2001:
102).
Pemikiran
filsafat
Albertus Magnus tentang jiwa dipengaruhi
oleh teori Plato yang melihat jiwa sebagai suatu bentuk yang mampu berdiri
sendiri. Albertus beragumen bahwa jiwa adalah penyebab adanya badan, dan jiwa bertanggung
jawab pada eksistensi tubuh sebagaimana halnya Allah
sebagai pencipta
dunia. Jiwa manusia merupakan subtansi yang tidak bertubuh (Anonim,
2011).
Karya-karya Albertus Magnus diterbitkan
pada tahun 1651 di Lyon dan terdiri atas 21 jilid. Diantara isinya adalah komentar-komentar terhadap Aristoteles. Karena
komentar-komentarnya terhadap filsafat Aristoteles ini ia merupakan pelopor
yang membawa filsafat Aristoteles ke dalam agama Katolik. Ia menganjurkan
adanya pemisahan antara agama dan filsafat.
Agama berdasarkan
wahyu dan filsafat berdasarkan akal, karena itu agama mengatasi akal manusia.
Agama harus diperkuat dengan akal supaya dapat dimengerti dengan lebih mendalam. Agar kepercayaan menjadi lebih berharga dan dapat dipertahankan
terhadap serangan-serangan orang yang tidak percaya maka
dianjurkan agar filsafat sedapat mungkin menjadi abdi agama (Anonim, 2011).
b.
Thomas
Aquinas (1225-1274 M)
Thomas Aquinas lahir di Roccasecca,
Italia pada tahun 1225 dari keluarga Bangsawan baik Bapakanya maupun Ibunya.
Melalui gurunya (Albertinus Magnus), Aquinas belajar tentang alam. Ia
berfilsafat lebih empiris daripada orang-orang yang diikutinya (Suriasumantri,
2009: 159).
Puncak kejayaan masa skolastik sebagaimana dijelaskan Syadali dan Mudzakir
(1999: 80-81) dicapai melalui pemikiran Thomas Aquinas (1225-1274
M). Ia mendapat
gelar “The Angelic Doctor”, karena
banyak pemikirannya terutama dalam “Summa Theologia” menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari gereja. Menurutnya pengetahuan berbeda
dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui indera dan diolah akal. Namun akal tidak mampu mencapai realitas
tertinggi yang ada pada daerah adikodrati.
Aquinas mengajarkan Tuhan adalah
“dzat tertinggi”
yang mempunyai keadaan yang paling tinggi. Tuhan adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat
Aristoteles dalam pandangannya. Hidup manusia terbagi atas dua tingkat yaitu
tingkat adikodrati dan kodrati (tingkat atas dan tingkatan bawah). Tingkat
bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati
ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup
rahmat (adikodrati) (Tafsir, 2013: 97).
Sumbangan
filsafat yang diberikan Aquinas terhadap
perkembangan ilmu yaitu dia
membagi pengetahuan menjadi tiga bagian berupa Fisika,
Matematika, dan Metafisika. Dari yang ketiga
pengetahuan tersebut (Metafisika) inilah yang mendapat banyak perhatian darinya.
Menurut pendapatnya dia dapat menyajikan abstraksi tingkat tertinggi (Suriasumantri, 2009:
160).
Doktrin pengetahuan Aquinas adalah realis moderat. Ia tidak
sependapat dengan Plato yang mengajarkan bahwa alam semesta ini menpunyai
eksistensi yang objektif. Ia mengajarkan bahwa alam semesta ini berada dalam
tiga cara yaitu: pertama, sebagai sebab-sebab didalam pemikiran Tuhan; kedua, sebagai idea dalam pemikiran
manusia; dan ketiga, sebagai esensi
sesuatu (Anonim,
2012).
Menurut Tafsir (2013: 104) Thomas memberi 5 (lima) bukti adanya Tuhan, yaitu:
1) Adanya gerak didunia mengharuskan kita menerima bahwa
ada penggerak pertama yaitu Tuhan.
2)
Di
dunia yang diamati terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau
yang berdaya guna.
3)
Di alam
semesta terdapat hal-hal yang mungkin ada dan tidak ada.
4)
Diantara
segala yang ada terdapat ha-hal yag lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar
dan lain sebagainya.
5)
Segala
sesuatu yang tidak berakal seperti berbuat sesuatu menuju pada akhirnya.
c.
Yohanes Duns Scotus
(1266-1308 M)
Yohanes Duns Scotus sebagaiamana
dijelaskan Salam (1995: 191)
adalah seorang skot dari ordo Fransiskan. Ia belajar di Cambridge, Oxford dan
Paris yang kemudian menjabat menjadi guru besar di Paris. Tulisan-tulisannya
sukar dimengerti, karena gaya bahasanya yang singkat. Ia adalah seorang ahli pikir tajam yang menyusun
pembuktian-pembuktiannya dengan ketajaman yang mencolok dan mengupas
argumentasi lawannya.
Duns
Scotus berpendapat bahwa
ada hubungan yang selaras antara iman dan pengetahuan. Menurut Duns Scotus
nisbah antara teologi dan filsafat keduanya adalah dua ilmu yang berdampingan,
yang masing-masing memiliki pangkal keberangkatan serta metodenya
sendiri-sendiri.
Menurut Duns
Scotus, kehendak lebih penting daripada akal. Sebab kehendaklah yang
menentukan, sedangkan akal hanya dapat mengemukakan bermacam-macam kemungkinan
kepada kehendak, agar bisa ditentukan yang mana yang harus dilakukan (Anonim,
2013).
3.
Sumbangan
Zaman Kejayaan Skolastik terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Karakteristik pada zaman kejayaan skolastik ditandai dengan munculnya universitas-universitas
dan ordo-ordo yang secara bersama-sama ikut menyelenggarakan atau memajukan
ilmu pengetahuan.
Disamping
itu juga
peranan universitas sebagai sumber atau pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Asmoro, 1995: 71).
Penulis
menambahkan pada zaman kejayaan ini terbukalah kesempatan bagi para pemikir Kristiani abad pertengahan untuk
mempelajari filsafat Yunani secara lebih lengkap dan lebih menyeluruh daripada
sebelumnya. Hal ini
semakin didukung dengan adanya biara-biara yang berfungsi untuk menterjemahkan,
menyalin, dan memelihara karya sastra.
Abad ke-13 sebagaimana dijelaskan Hakim (2008: 137) menjadi abad kejayaan
skolastik. Mulai
abad ke-12 hubungan-hubungan baru mulai bermunculan dengan dunia pemikiran Yunani dan dunia
pemikiran Arab. Melalui karya orang-orang Arab dan Yahudi Eropa Barat mulai lebih
mengenal karya-karya Aristoteles melalui karya para Bapak Gereja Timur.
Selain itu muncul pula universitas-universitas yang bergabung membentuk persekutuan antara
dosen dan mahasiswa dari satu jurusan sehingga keduanya mewujudkan suatu
kesatuan yang menyeluruh. Kesatuan ini disebut universitas magistrorum et scolarum.
Menurut Anonim (2012) pada zaman kejayaan skolastik
muncul pula
ordo-ordo baru diantaranya Ordo Fransiskan dan
Dominikan. Ordo Fransiskan didirikan oleh Fransiskus pada tahun 1209 M sedangkan ordo Dominikan didirikan oleh Dominikus
de guzman pada tahun 1215 M. Salah
satu aturan hidup yang diajarkan bagi anggota ordo dominikus ialah bahwa mereka
wajib mencurahkan tenaganya dalam bidang studi teologi.
D.
Zaman Akhir Skolastik
1.
Faktor Penyebab Berakhirnya Zaman
Skolastik
Zaman skolastik akhir terjadi pada abad ke 14-15 yang ditandai dengan pemikiran Islam yang
berkembang kearah nominalisme yaitu aliran yang berpendapat bahwa universalisme
tidak memberi petunjuk tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya
sesuatu hal.
Kepercayaan orang pada kemampuan rasio memberi jawaban
atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan
pengetahuan tidak dapat disatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan
ajaran gereja, hanya iman yang dapat menerimanya (Anonim, 2012).
Faktor penyebab berakhirnya zaman Skolastik,
ditandai dengan adanya rasa jenuh
terhadap segala macam pemikiran filsafat yang menjadi kiblatnya,
sehingga memperlihatkan stagnasi atau kemandegan (Muzairi, 2009: 100). Faktor
lain dari penyebab berakhirnya zaman Skolastik antara lain:
a.
Timbulnya
kejenuhan terhadap segala macam pemikiran filsafat.
b. Munculnya
beberapa kelompok diantaranya adalah aliran Thomisme, Scotisme, Viaantiqua (jalan kuna) dan Via moderna
(jalan modern). Aliran via antiqua merupakan kelompok lebih kecil dan lebih
lemah dimana mereka adalah pengikut dari Augustinus dan Albertus Magnus yang tidak memiliki pemikiran baru. Berbanding terbalik
deangan aliran via moderna yang menolak pemikiran metafisis yang kontruktif.
Selain
itu aliran via moderna lebih memperhatikan kepada hal-hal yang ilmiah dan
positif, bukankepada persoalan-persoalan filsafat. Oleh karena
itu dibidang teologia yang diperhatikan adalah persoalan gereja dan politik yang konkrit (Anonim, 2013).
c. Pada tahap akhir masa skolastik
terdapat filosof yang berbeda pandangan dengan Thomas Aquinas, yaitu
William Occam (1285-1349). Tulisan- tulisannya menyerang kekuasaan gereja dan
teologi Kristen.
William
Occam merasa membela agama dengan menceraikan ilmu dari teologi.Tuhan harus diterima atas dasar
keimanan, bukan dengan pembuktian. Karena kepercayaan teologis tidak dapat didemonstrasikan (Suriasumantri, 2009:156).
2.
Tokoh Filosof Skolastik Arab (Islam)
Zaman akhir skolastik ditandai dengan
munculnya tokoh-tokoh filosof skolastik Arab. Sebagaimana dijelaskan Salam
(1995: 191) berkat pengaruh Helenisme, filsafat Yunani hidup terus di Siria dan
dikembangkan lebih lanjut oleh filosof-filosof Arab yang kemudian diteruskan
kembali ke Eropa melalui Spanyol.
Tokoh-tokoh yang termasuk para ahli pikir Islam
(pemikir Arab atau Islam pada masa skolastik) diantaranya Al-Kindi, Al-Farabi,
Ibnu Sina, Al-Ghazali, & Ibnu Rusyd.
a.
Al- Kindi (801- 865M)
Nama lengkapnya Abu
Yusuf Ya’kub bin Ishak Al-Sabbah bin Imran bin Al-Asha’ath bin Kays Al-Kindi.
Beliau lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah keturunan dari suku Kays, dengan
gelar Abu Yusuf ayahnya menjabat gubernur di Kufah pada masa pemerintahan
Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas.
Al-Kindi merupakan nama yang
diambil dari nama sebuah suku yaitu Banu
Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang berlokasi di daerah
selatan Jazirah Arab dan mereka mempunyai kebudayaan yang tinggi (Anonim,
2012).
Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat adalah
ilmu tentang kebenaran atau ilmu yang paling mulia dan paling tinggi
martabatnya. Sedangkan agama merupakan ilmu mengenai kebenaran.
Filsafat bagi al-Kindi ialah
pengetahuan tentang yang benar. Disinilah terdapat persamaan filsafat dan
agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik,
demikian halnya dengan filsafat.
Agama
mempergunakan akal dan filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama bagi
al-Kindi ialah Tuhan dan filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang
Tuhan. Bahkan al-Kindi berani mengatakan bagi orang yang menolak filsafat
berarti telah mengingkari kebenaran dan menggolongkannya kepada kafir (Atiyeh,
1983: 87).
Unsur filsafat yang dapat diketahui dari pemikiran Al-Kindi ialah:
1)
Aliran Pythagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah
filsafat.
2)
Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan
metafisika.
3)
Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.
4)
Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal
etika.
5)
Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang
berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifatNya.
6)
Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan
dalam menakwilkan ayat-ayat Qur’an (Anonim, 2013).
Menurut
Atiyeh (1983: 92) sebagai seorang ilmuwan yang kaya dengan pengetahuan, maka
al-Kindi membuat sebuah karya tulis ilmiah, dan membuat terjemahan buku-buku
Yunani dan sekaligus melakukan koreksi serta perbaikan atas terjemahan orang
lain. Sebagai
seorang pakar ilmuan di kala itu, kita dapat melihat beberapa hasil tulisan
yang dibuat oleh Al Kindi, yakni sebagai berikut:
1)
Bidang Filsafat seperti kitab Fi
al-falsafat al-‘Ula, Kitab al-Hassi’ala Ta’allum al-Falsafat, Risalat ila
al-Ma’mun fi al-illat wa Ma’lul, Risalat fi Ta’lif al-A’dad, Kitab al-Falsafat
al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma Fauqa
al-Thabi’iyyat, Kammiyat Kutub Aristoteles, dan Fi al-Nafs (Anonim, 2013).
2)
Bidang Astronomi seperti Risalah fi Masa’il Su’ila anha min Ahwal al-Kawatib
(jawaban dari pertanyaan tentang planet), Risalah fi Jawab Masa’il Thabi’iyah
fi Kayfiyyat Nujumiah (pemecahan soal-soal fisik tentang sifat-sifat
perbintangan), Risalah fi anna Ru’yat al
Hilal la Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl fiha bi at-Taqrib (bahwa
pengamatan astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan dengan ketetapan, dan Fi
asy-Syu’at (tentang sinar bintang),(Anonim, 2012).
3)
Ilmu
Pengobatan seperti Risalah
fi’illat Naftcad-Damm (tentang hemoptesis yakni; batuk darah dari saluran
pernapasan), Risalah
fi Adhat al-Kalb al-Kalib (tentang rabies).
4)
Ilmu
Hitung seperti Risalah
fi al-Kammiyat al-Mudhafah (tentang jumlah relatif) dan Risalah fi at-Tajhid
min Jihat al-’Adad (tentang keesaan dari segi angka-angka) (Anonim,
2013).
Karya-karya
yang disebutkan di atas merupakan sebagian terkecil dari sekian banyak karya
Al-Kindi. Karya Al-Kindi disusun oleh Ibnu An-Nadim yang menyebutkan tidak
kurang dari 242 buah karya Al-Kindi, sedangkan sumber lain menyebutkan 265
buah, dan membaginya menurut pokok persoalannya menjadi filsafat, logika, ilmu
hitung, sferika, ilmu kedokteran, astrologi, polemik, psikologi, politik,
meteorologi, dan ramalan (Atiyeh, 1983: 102).
b.
Al-Farabi (850-950
M)
Menurut Anonim (2011) Al-Farabi dengan nama lengkapnya Abu
Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama
kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Ayahnya keturunan
Iran dan ibunya keturunan Turkestan.
Sejak
kecilnya, Al-Farabi suka belajar
dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang
dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkistan, dan Kurdistan.
Al-Farabi dikenal
dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya
dalam memahami filsafat Aristoteles
yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat.
Dia adalah
filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh
mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta
berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu (Asmoro,
2005: 97).
Menurut Al-Farabi akal yang dikonsepsikannya yaitu ‘Uqul Mufariqah (akal yang
terlepas dari benda) merupakan makhluk rohani murni. Roh itu pula
yang menggerakkan benda-benda langit dan mengatur alam dibawah bulan.
Meskipun
Al-Farabi telah banyak mengambil dari Plato, Aristoteles dan Plotinus, namun ia
tetap memegangi kepribadian, sehingga pikiran-pikiranya tersebut merupakan
filsafat Islam yang berdiri sendiri bukan filsafat stoa, atau peripatetik atau Neo Platonisme (Anonim, 2012).
Filsafat al-Farabi
merupakan campuran antara filsafat Aritoteles dan Neo Platonisme dengan
pikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syiah Imamiyah. Al-Farabi
berkeyakinan penuh bahwa antara agama dan filsafat tidak terdapat pertentangan
karena sama-sama membawa kepada kebenaran.
Namun demikian, ia tetap berhati-hati atau bahkan khawatir kalau
filsafat membuat iman seseorang menjadi
rusak, dan oleh karena itu ia berpendapat disamping dirumuskan dengan bahasa yang
samar-samar, filsafat juga hendaknya jangan sampai bocor ke tangan orang awam (Anonim, 2011).
Al-Farabi sebagaimana dijelaskan Petrus (2004: 87) memiliki pengetahuan yang luas dan
dalam. Sumbangan filsafat yang diberikan Al-Farabi dalam perkembangan ilmu
adalah berupa karangan kitab-kitabnya yaitu Aghradlu ma Ba’da at-Thabi’ah, Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan pendapat kedua filosof yakni Plato dan Aristoteles), Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan), ‘Uyun
al-Masail (Pokok-Pokok
persoalan), Ara-u Ahlil Madinah al-Fadhilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama
Negeri Utama) dan Ih-sha’u al-Ulum (Statistik
Ilmu).
c.
Ibnu Sina(980-1037M)
Menurut Anonim (2012) Ibnu
Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khilafah Abbasiyah mengalami
kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah
tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad
sendiri sebagai pusat pemerintahan khilafah Abbasiyah yang dikuasai oleh
golongan Bani Buwaih pada tahun 334 H.
Nama lengkap Ibnu
Sina sebagaimana dijelaskan Syadali dan Mudzakir (2004: 173-174) ialah Abu Ali Husain
Ibnu Abdillah Ibnu Sina, dibarat dikenal dengan nama Avicenna. Sealain dikenal
sebagai ahli di bidang masanya tahun 340 H (980 M) di suatu tempat yang
bernama Afsyana, daerah Bukhara.
Ibnu
Sina dilahirkan dan dibesarkan di Bukhara ia menghafal Qur’an dan belajar
ilmu-ilmu agama serta ilmu astronomi, sedangkan usianya baru sepuluh tahun.
Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah
itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya (Anonim, 2013).
Belum
lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran
sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru
kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran tetapi melakukan
praktek dan mengobati orang-orang sakit. Sebenarnya hidup Ibnu Sina tidak
pernah mengalami ketenangan, dan usianya pun tidak panjang.
Meskipun
banyak kesibukan-kesibukannya dalam urusan politik, sehingga ia tidak banyak
mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah berhasil meninggalkan
berpuluh-puluh karangan (Petrus, 2004: 90).
Mengenai
wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu Sina mengatakan
bahwa akal mempunyai dua sifat yaitu sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari
Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul wujudul lighairi dan Mumkinul
wujudul lidzatihi).
Dengan
demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran Tuhan yaitu dirinya sebagai wajib
wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya (Nasution, 1973: 35).
Menurut
Syadali dan Mudzakir (2004: 175) Ibnu Sina memberikan perhatian yang khusus terhadap
pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang
khusus untuk soal-soal kejiwaan ataupun buku-buku yang berisi campuran berbagai
persoalan filsafat.
Ibnu Sina mengatakan
bahwa Tuhan itu adalah Al-aqlu (akal),
ia memikirkan diri-Nya sendiri lalu memikirkan sesuatu di luar diri-Nya
menyebabkan timbulnya akal lain yang dinamkan akal pertama (Al-Aqlu Awwal),
akal pertama ini berpikir pula dan mengeluarkan akal kedua dan seterusnya.
Karya-karya Ibnu Sina Ibnu Sina yang terkenal antara lain
Asy-Syifa yang merupakan buku filsafat
yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, dan terdiri dari empat bagian
yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). An-Najat yang merupakan ringkasan buku
as-Syifa, Al-Isyarat wat-Tanbihat, Al-Hikmat al-Masyriqiyyah, dan
Al-Qanun, atau Canon of
Medicine tentang kedokteran (Anonim, 2012).
d. Al-Ghazali (1058-1085 M)
Al-Ghazali sebagaimana
dijelaskan Lavine (2002: 95) memiliki nama asli
adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang bergelar
Hujjatul Islam. Beliau lahir tahun 450 H
di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Al-Ghazali pertama kali belajar
agama di kota Tus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada
Imam al-Juwaini,sampai yang terakhir ia wafat tahun 478 H atau 1085 M.
Tahun 483 H atau 1090 M, ia
diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu
dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad selain mengajar
ia juga mengadakan bantahan-bantahan
terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah, Isma’iliyyah, golongan filsafat
dan lain-lain.
Pengaruh al-Ghazali di
kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan orang-orang
ahli ketimuran (Orientalis), agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum
Muslimin berpangkal pada konsepsi al-Ghazali (Anonim, 2011).
Al-Ghazali
adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya dan mempunyai nafas panjang
dalam karangan-karangannya. Sumbangan filsafat yang telah diberikan al-Ghazali
terhadap perkembangan ilmu berupa puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi
berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi Islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam
(Fiqih), Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan adab kesopanan, kemudian autobiografi
(Lavine, 2002: 103).
Al-Ghazali mempelajari
karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah
mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa
mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan (Nasution, 1973: 52).
Al-Ghazali menjelaskan bahwa
jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat
sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan
bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu
logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para
filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh
pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak
sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf (Anonim,
2011).
Mengenai kejadian alam dan
dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak)
tuhan semata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang
diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu
pihak merupakan undang-undang, dan dilain pihak merupakan zarah-zarah
(atom-atom) yang masih abstrak (Lavine, 2002: 108).
Karyanya yang terbesar yaitu Ihya‘Ulumuddin yang artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu
Agama” berisi tentang paduan yang indah antara fiqih, tasawuf dan filsafat,
bukan saja terkenal di kalangan kaum Muslimin, tetapi juga di kalangan dunia
Barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), berisi
sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir
terhadap beberapa macam ilmu serta jalan untuk mencapai Tuhan (Anonim, 2013).
d.
Ibnu Rusyd (1126-1198
M)
Ibnu Rusyd sebagaimana
dijelaskan Lavine (2002: 98) memiliki nama lengkap Abul Walid Muhammad bin
Ahmad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H. Ia berasal dari kalangan
keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di
Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim dan kakeknya yang terkenal dengan sebutan
“Ibnu Rusyd kakek” (al-Jadd) adalah kepala hakim di Cordova.
Syadali dan Mudzakir (2004: 183-184)
menjelaskan bahwa menurut Ibnu Rusyd tugas filsafat ialah tidak lain dari
berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada dan Al-Qur’an
menyuruh supaya manusia berpikir tentang wajud dan alam sekitarnya untuk
mengetahui Tuhan.
Menurut Anonim (2012) pemikiran
Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan
waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan
berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya.
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak
sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan
Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa
persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim
tersebut.
Dalam kitabnya Fash al Maqal , Ibnu Rusyd
berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar
argumentasi bahwa filsafat tidak ubahnya
mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran atau hikmah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan
Sang Maha Pencipta.
Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang
maujud atau tentang ciptaan Tuhan, maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati
pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan
mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi
ciptaan-ciptaan-Nya (Nasution, 1973: 96)
Ibnu Rusyd
adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat
Aristoteles. Sumbangan filsafat yang diberikan oleh
Ibnu Rusyd terhadap perkembnagan ilmu berupa karangan-karangan kitab yang meliputi
berbagai ilmu seperti fiqih, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik,
akhlak, dan filsafat.
Tidak kurang
dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah buku-buku
karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina,
al-Ghazali, dan Ibnu Bajah (Anonim, 2013).
Menurut Lavine
(2002: 107) buku-buku Ibnu Rusyd yang lebih penting dan sampai kepada kita ada
empat yaitu Bidayatul Mujtahid berupa ilmu fiqih yang berisi
perbandingan mazhabi (aliran-aliran) dalam fiqih dengan menyebutkan alasannya
masing-masing.
Faslul-Maqal fi
ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-Ittisal (ilmu kalam) berisi persesuaian
antara filsafat dan syari’at. Manahijul
Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah tentang ilmu kalam. Buku ini menguraikan tentang pendirian
aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya. Tahafut at-Tahafut suatu buku yang
terkenal dalam lapangan filsafat dan ilmu kalam.
3.
Zaman Peralihan Skolastik
Setelah abad
pertengahan berakhir sampailah pada masa peralihan yang diisi dengan gerakan
kerohanian yang bersifat pembaharuan. Zaman peralihan ini merupakan embrio masa
modern. Masa peralihan ini ditandai dengan munculnya renaissance, humanisme,
dan reformasi yang berlangsung antara abad ke-14 hingga abad ke-16 (Anonim,
2012).
a. Renaissance
Renaissance atau kelahiran kembali Eropa merupakan suatu gelombang kebudayaan dan
pemikiran yang dimulai di Italia, kemudian Perancis, Spanyol, dan selanjutnya
hingga menyebar ke seluruh Eropa. Di antara tokoh- tokohnya adalah Leonardo da
Vinci, Michaelangelo,
Machiavelli, dan Giordano Bruno (Lavine, 2002: 110)
b. Humanisme
Humanisme pada mulanya dipakai
sebagai suatu pendirian ahli pikir Renaissance yang mencurahkan perhatiannya
terhadap pengajaran kesusastraan Yunani dan Romawi, serta perikemanusiaan.
Humanisme berubah fungsinya menjadi gerakan untuk kembali melepaskan ikatan
dari gereja dan berusaha menemukan kembali sastra Yunani atau Romawi. (Anonim,
2011).
c. Reformasi
Reformasi merupakan revolusi
keagamaan di Eropa Barat pada abad ke-16. Revolusi
tersebut dimulai dari gerakan terhadap perbaikan keadaan gereja Katolik.
Kemudian berkembang menjadi asas-asas Protestantisme. Para tokoh Reformasi antara lain Jean
Calvin dan Martin Luther, (Anonim. 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar