BAB VIII
FILSAFAT
KONTEMPORER
A. Wilayah Kajian Posmodernisme
1.
Arti Posmodernisme
Istilah postmodernist,
pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939 lewat bukunya yang
terkenal berjudul Study of History Toynbee yakin benar bahwa
sebuah era sejarah baru telah dimulai. Sampai saat ini belum ada kesepakatan
dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil
menarik perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960, untuk
pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak
pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut (Septian, 2007).
Menurut Muzairi
(2009:148) menyatakan bahwa secara etimologis post modern terdiri dari dua kata
yaitu post dan modern. Kata post yang
berarti
(later or after) dan modern. Selain itu, menurut kubu
postmodernisme lainnya post berarti melampaui kematian modernism.
Sedangkan
menurut Aceng dkk (2011:104) secara terminologis postmodern merupakan kritik
atas masyarakat modern dan kegagalanya memenuhi janji-janjinya. Postmodern
cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu
akumulasi pengalaman peradaban Barat. Postmodernisme merupakan
aliran pemikiran yang menjadi paradigma baru sebagai antithesis dari
modernisme yang dianggap gagal dan tidak lagi relevan dengan perkembangan
zaman.
Alwi Shihab
(1999:201) menyatakan
bahwa postmodernisme adalah suatu gerakan kultural intelektual baru akibat rasa
cemas terhadap janji–janji gerakan modern yang dianggap gombal. Gerakan posmodern
secara tidak langsung menghidupkan kembali pamor agama, namun gerakan ini
mencakup spektrum luas dari berbagai kelompok yang ragam pemikiran, walaupun
bersatu pada rasa kecemasan terhadap kehidupan masa kini. Sisi gelap dari
gerakan ini menggambarkan rasa putus asa, yang berbicara tentang kehancuran
yang tak terelakkan dan kebenaran serta kepastian yang tidak mungkin dicapai.
Sisi cerah dari gerakan ini tetap melihat celah-celah optimisme dalam kehidupan
masa depan.
Sedangkan
menurut Rachman (2001:152) menyatakan
bahwa postmodernisme didominasi pengertian-pengertian dan konsep-konsep
mengenai pluralisme, fragmentaris, heteroganitas, indeterminasi, skeptisisme,
dekonstruksi perbedaan-perbedaan, ambiguitas dan ketidakpastian dalam
usaha-usaha sintesis berbagai pemikiran kontemporer.
Ahmed (1996:107) mencoba mendefenisikan postmodernisme dengan
terlebih dahulu memahami modernisme yang akan memungkinkan mengukur
postmodernisme. Akber S. Ahmed dalam bukunya, Postmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, modernisme diartikan
sebagai fase terkini sejarah dunia ditandai dengan percaya pada sains,
perencanaan, sekularisme dan kemajuan. Keinginan untuk simetri dan tertib,
keinginan akan keseimbangan dan otoritas, telah juga menjadi karakternya.
Periode ini ditandai
oleh keyakinannya terhadap masa depan, sebuah keyakinan bahwa utopia bisa
dicapai. Gerakan menuju industrialisasi dan kepercayaan yang fisik, membentuk
ideologi yang menekankan materialisme sebagai pola hidup. Formulasi kontemporer
postmodernisme menurut Ahmed merupakan fase khusus menggantikan modernisme,
berakar pada dan diterangkan sejarah terakhir barat yang berada pada inti
dominasi peradaban global abad ini.
Terhadap hal
ini Ahmed (1996:109) mencoba mengidentifikasikan beberapa ciri
utama postmodernisme dengan menekankan watak sosiologisnya. Ciri-ciri utamanya
adalah sebagai berikut:
a.
Berusaha
memahami era postmodernisme berarti mengasumsikan pertanyaan tentang, hilangnya
kepercayaan pada modernitas, semangat pluralisme, skeptisisme terhadap ortodoksi
tradisional, dan akhirnya penolakan terhadap pandangan bahwa dunia adalah
sebuah totalitas universal, pendekatan terhadap harapan akan solusi akhir dan
jawaban sempurna.
b.
Postmodernisme
bersamaan dengan era media, dalam banyak cara yang bersifat mendasar, media
adalah dinamika sentral, ciri pendefenisi dari postmodernisme.
c.
Kaitan
postmodernisme dengan revivalisme etno religius atau fundalisme perlu ditelaah
oleh ilmuan sosial dan politik.
d.
Walaupun
apokaliptiknya klaim itu, kontinuitas dengan masa lalu tetap merupakan ciri
kuat postmodernisme.
e.
Karena sebagian
penduduk menempati wilayah perkotaan, dan sebagian lebih besar lagi masih
dipengaruhi oleh ide-ide yang berkembang dari wilayah ini. Maka metropolis
menjadi sentral bagi postmodernisme.
f.
Terdapat elemen
kelas dalam postmodernisme dan demokrasi adalah syarat mutlak bagi
perkembangannya.
g.
Postmodernisme
memberikan peluang bahkan mendorong penjajaran wacana, eklektisme
berlebih-lebihan, percampuran berbagai citra.
h.
Ide tentang
bahasa sederhana terkadang terlewatkan oleh posmodenis, meskipun mereka
mengklaim dapat menjangkaunya.
Berdasarkan
ciri-ciri utama postmodernisme, maka dapat dilihat bahwa kecenderungan yang
ditekankan dalam literatur postmodernisme adalah rasa anarkinya,
ketidakmenentuan dan keputusasaannya. Namun perlu bagi kita untuk
menginterpretasikan postmodernisme dari segi positifnya yang berupa
keberagamaan, kebebasan meneliti dan kemungkinan untuk mengetahui dan memahami
satu sama lain.
Postmodernisme
tidak perlu dipandang sebagai kesombongan intelektual, diskusi akademik yang
jauh dari kehidupan nyata, tetapi sebagai fase historis manusia yang menawarkan
kemungkinan yang belum ada sebelumnya kepada banyak orang, sebuah fase yang
memberikan kemungkinan lebih mendekatkan beragam orang dan kultur ketimbang
sebelumnya.
Dari beberapa
pengertian di atas dapat pula diartikan bahwa postmodernisme merupakan suatu
paham yang mengkritisi dan melampaui nilai-nilai dan pandangan yang
diusung oleh zaman sebelumnya terkhusus pada modernism yang dinilai gagal dan
sebagai bentuk reaksi pemberontakan dan kritik atas janji modernisme.
2.
Tokoh Posmodernisme
a.
Jean Francois Lyotard (1924-1998)
1)
Riwayat Jean Francois Lyotard
Jean Francois Lyotard lahir pada t ahun
1924 di Versailles di sebuah kota kecil di Paris bagian selatan.Setelah
berakhir Perang Dunia ke II, ia belajar filsafat di Sorbonne dan mendapat gelar
agre‘gation de philosophie tahun 1950. Dari tahun 1950-1960 ia dikenal sebagai
seorang aktivis yang beraliran Marxis, akan tetapi sejak tahun 1980-an ia
dikenal sebagai pemikir posmodernisme non-Marxis yang terkemuka, (Anonim, 2009).
Pada awal tahun
1970 Lyotard mulai mengajar di Universitas Paris VIII, Vincennes sampai 1987 ketika ia memasuki masa
pensiun sebagai Professor atau Emeritus. Lyotard berulang-kali menegaskan
tentang pemikiran Postmodern didalam eseiesei yang terkumpul dalam bahasa
Inggris sebagai The Postmodern Explained to Children, Toward the
Postmodern , dan Postmodern Fables.
PadaTahun 1998,
selagi bersiap-siap menghadapi suatu konferensi conference
on Postmodernism and Media Theory,ia meninggal dengan tak diduga-duga
karena leukemia yang telah mengendap dengan cepat. Ia
dikuburkan di Le Père Lachaise
Cemetery di Paris, (Anonim, 2012).
Jean Francois
Lyotard merupakan pemikir postmodern yang penting karenaia memberikan
pendasaran filosofis pada gerakan postmodern. Penolakannnya terhadap konsep
Narasi Besar serta pemikirannya yang mengemukakan konsep perbedaan dan
language game sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity).
Berikut ini kara-karya dari Jean Francois
Lyotard: The Postmodern Condotion: A
Report On Knowledge, The Differend:
Phrase in Dispute, The Inhuman: Reflections on Time, The Postmodern
Explained to Children: Correpondence 1982-1985, ( Septian, 2007 ) .
2)
Ajaran Pemikiran Filsafat Jean Francois Lyotard
a)
Penolakan Grand- Naratives
Meta-narrative berasal dari dua kata: meta dan narrative Meta-disini berarti transcending,
encompassing , overarching. Dan narrative secara sederhana
berarti cerita atau kisah. Kalau digabung, meta-narrative berarti sebuah
kisah yang melingkupi semuanya (the overarching story). Atau,
dalam pengkalimatan yang lebih baik, meta-narrative adalah sebuah ide yang
menjelaskan secara ringkas suatu pengalaman, sejarah, atau kisah tertentu.
Karena itulah, meta-narrative dapat disebut pula master narrative atau grand narrative
(Septian, 2007).
Bagi Lyotard penolakan posmodern terhadap
narasi agung sebagai salah satu ciri utama dari postmodern, dan menjadi dasar
baginya untuk melepaskan diri dari Grand- Narative (Narasi Agung, Narasi
besar, Meta Narasi), (Fahmi, 2013).
Grand- Naratives (Meta-narasi) adalah teori-teori atau
konstruksi dunia yang mencakup segala hal dan menetapkan kriteria kebenaran dan
objektifitas ilmu pengetahuan. Dengan konsekuensi bahwa narasi-narasi lain
diluar narasi besar dianggap sebagai narasi nonilmiyah. Sebagaimana di
jelaskan sebelumnya bahwa sains modern berkembang sebagai pemenuhan
keinginan untuk keluar dari penjalasan pra ilmiah seperti kepercayaan dan
mitos-mitos yang dipakai masyarakat primitif.
Grand Narrative narasi besar seperti kebebasan, kemajuan,
emansipasi kaum proletar dan sebagainya. Menurut Lyotard, narasi-narasi besar
ini telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya
sepertireligi, negara-kebangsaan, kepercayaan tentang keunggulan Barat dan
sebagainya, yaitu mereka pun kini menjadi sulit untuk dipercaya (Fahmi, 2013).
Namun dalam pandangan kaum postmodernis
termasuk Lyotard bahwa sains ternyata tidak mampu menghilangkan mitos-mitos
dari wilayah ilmu pengetahuan. Sejak tahun 1700-an (abad pencerahan) dua
narasi besar telah muncul untuk melegitimasi ilmu pengetahuan, yaitu :
kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan dapat membawa umat manusia pada
kemajuan (progress).
Namun era modern telah membuktikan banyak hal
yang tidak rasional dan bertentangan
dengan narasi besar itu seperti Perang Dunia ke- II, pembunuhan sekitar 6
(enam) juta yahudi oleh Nazi Jerman, hal ini menurut Lyotard merupakan bukti
dari kegagalan proyek modernitas (Ummy, 2007).
Dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge Lyotar diminta
untuk menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi
informasi terhadap ilmu pengetahuan pada akhir abadke-20 tersebut. Ia
mengatakan bahwa telah terjadi perkembangan dan perubahan yang luar biasa pada
pengetahuan, sains dan pendidikan pada masyarakat informasi.
Perkembangan dan perubahan tersebut telah
menggiring masyarakat tersebut pada suatu kondisi yang dia sebut sebagai
postmodern. Selama empat puluh tahun terakhir ilmu dan teknologi yang
terdepan menjadi semakin terkait erat dengan bahasa, teori-teori linguistik,
masalah komunikasi dan sibernetik, komputer dan bahasanya, persoalan
penerjemahan, penyimpanan informasi, dan bank data. Transformasi teknologi
berpengaruh besar pada pengetahuan. Miniaturisasi dan komersialisasi mesin
telah merubah cara memperoleh, klasifikasi, penciptaan, dan ekspoitasi
pengetahuan.
Lyotard percaya bahwa sifat pengetahuan tidak
mungkin tidak berubah di tengah konteks transformasi besar ini. Status
pengetahuan akan berubah ketika masyarakat mulai memasuki apa yang disebut
zaman postmodern. Pada tahap lebih lanjut, pengetahuan tidak lagi menjadi
tujuan dalam dirinya sendiri namun pengetahuan hanya ada danhanya akan
diciptakan untuk dijual, (Akhyar, 2007).
b) Language games
Lyotard membatasi ilmu pengetahuan sebagai permainan
bahasa dan mengungkapkan konsep Language games yang mengacu pada
keanekaragaman penggunaaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, dimana
masing-masing bahasa menggunakan aturannya sendiri-sendiri. Lyotard mengembangkan konsep perbedaan difference.
Sesuai dengan konsep pluralitas budaya,
pluralitas permainan bahasa, ada banyak genres dediscours (wacana maka
postmodern menghargai adanya perbedaan, membuka suara bagi yang lain (the
other), penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada
masalah sejarah, seni, politik, dan masyarakat. Penelitian yang bersifat
lokal, etnik, menghasilkan deskripsi atau narasi khas dengan rezim frasedan
genre diskursus masing-masing, (Fahmi, 2013).
c)
Antifundasionalisme
Antifundasionalisme dalam teori sosial budaya
dan filsafat menegaskan bahwa metanarasi (metode, humanisme, sosialisme,
universalisme) yang dijadikan fundasi dalam modernitas barat dan hak-hak
istimemewanya adalah cacat. Karena itu kita harus mencoba menghasilkan model
pengetahuan yang lebih sensitif terhadap berbagai bentu perbedaan.
Hal ini dimungkinkan ketika para
intektual menggantikan peran mereka sebagai legislator kepercayaan-kepercayaan
menjadi seorang interpreter. Karena itu Postmodernis lebih menerima metode
interpretasi (hermeneutika) dari pada pendekatan logika atau metode linear yang
dominan pada era modern, (Surya, 2010).
Secara ringkas Pemahaman pemikiran postmodernis
menurut Jean Francois Lyotard menjadi penting untuk memahami berbagai
perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang tak lagi memadai untuk
dianalisis hanya berdasarkan paradigm ilmiah modern yang lebih menekankan
kesatuan,homogenitas, pobjektivitas, dan universalitas. Sementara ilmu
pengetahuan dalam pandangan postmodernis lebih menekankan pluralitas,
perbedaan, heterogenitas, budaya local/etnis, dan pengalaman hidup sehari-hari,
(Surya, 2010).
b.
Jacques Derrida (1930-2004)
1)
Riwayat Jacques Derrida
Derrida yang
mempunyai nama
lengkap Jacques
Derrida ini adalah seorang keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar, salah satu
wilayah Aljazair yang agak terpencil, pada 15 Juli 1930.
Setelah meraih gelar kesarjanaannya yang
pertama, Derrida resmi mengajar di Husserl Archive. Pada 1960, dia
diminta untuk mengajar filsafat di Universitas Sorbonne.
Tahun1967, Derrida mulai dikenal sebagai tokoh
penting dalam pemikiran Prancis melalui dua karyanya, yakni: Pertama, La
Voix et le Phenomene, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Speech
and Phenomena (1973) oleh David Allison. Karya ini ditujukan untuk menganalisis
gagasan Husserl tentang tanda. Kedua, De la Gramatologie, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Of Gramatology (1976) oleh
Gayatri Spivak. Masih pada tahun yang sama, dia juga menerbit an
L’ecriture et la Difference yang kemudian diterjemahkan menjadi
Writing And Difference (Anonim, 2012).
Derrida seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi
sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme. Istilah dekonstruksi sama sekali tidak
menghancurkan metafisika lama. Ia justru berniat untuk menggali dan menghimpun
konsep-konsep, metaphor-metafor atau makna laten (tersembunyi) di dalam
keseluruhan narasi metafisika sehingga menjadi makna-makna penting dan sentral
di dalam narasi tersebut, (Anonim, 2012).
2)
Ajaran Filsafat
Jacques Derrida
a)
Dekonstruksi
Dalam modernisme rasio dipandang sebagai
kekuatan tunggal dan menentukan, baik dalam mengatur arah dan gerak sejarah,
mengontrol kekuatan social ekonomi dan bahasa, maupun dalam berbagai aktivitas
manusia lainnya. Sejarah atau peradaban tidak selalu ditentukan oleh
rasiotetapi juga ada kuasa diluar control rasio. Hal tersebut terbukti dengan
mengangkat ke permukaan peranan manusia-manusia marginal,
manusia pinggiran atau manusia ”Irrasional” dalam lingkungan manusia yang
”rasional”.
Menurut Muzairi, (2009:240) Dekonstruksi merupakan sebuah
gebrakan untuk menentang teori strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa
semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks
(hasil sastra) dapatdibaca dan dimengerti secara universal. Dekonstruksi, dalam hal ini,menganggap bahwa
tidaklah benar demikian.
Makna tidaklah terdapat dalam teks, tetapi
pemaknaan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak
langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulistidak dapat menuntut
haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semuaorang boleh membaca teks
tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.
b)
Difference
Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida
berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dangramatologi lebih penting dan
bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran
diri (presence-to-self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan
lisan atau ujaran. Difference adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya
persis sama dengan kata difference.
Kata-kata ini berasal dari kata differer-differance-difference
yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan atau menunda”. Kata-kata
ini berasal dari kata, tidak hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya
sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata
ini, hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa tulisan lebih unggul
ketimbang ujaran (Septian, 2007).
Proses differance ini menolak adanya
petanda absolut atau “makna absolute” makna transendental, dan makna universal,
yang diklaim ada oleh pemikiran modern pada umumnya. Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan
(spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya
hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Celah ini membuat pencarian makna absolut
mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi
jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya (Praja, 2005).
c.
Roman Osipocich Jakobson (1896-1982)
1)
Riwayat Roman Osipocich Jakobson (1896-1982)
Jakobson adalah seorang linguis, ahli sastra, semiotikus, lahir di Rusia
(1896-1982). Ia juga pendiri Lingkaran Linguistik Moskow (1915) dan Lingkaran
Linguistik Praha (1962). Karya- karyanya Roman Osipocich Jakobson didasarkan atas linguistik Saussure,
fenomenologi Husserl, dan perluasan teori semiotika Pierce. Pusat
perhatian Jakobson sesungguhnya adalah integrasi bahasa dan sastra. Sesuai
dengan judul salah satu tulisannya ‘Lingustik and Poetics’ (1987: 66-71).
Jakobson menaruh perhatian besar terhadap
integrasi antara bahasa dan sastra. Jakobson melukiskan antar hubungan
tersebut, dengan mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa, yang
disebutnya sebagai Poetic function of language. Sama dengan Pierce,
pikiran-pikiran Jakobson masih sangat kental menampilkan model analisis, Strukturalisme, tetapi
pikiran tersebut dapat mengarahkan bagaimana bahasa sebagai sistem model
pertama berperan sekaligus berubah ke dalam taataran bahasa sebagai sistem
model yang kedua, (Hadiwijono, 1980).
Kritikan tajam yang
kemudian dikemukakan oleh Riffaterre dan Pratt, misalnya menunjukkan bahwa
peranan pembaca tidak boleh dilupakan, sekaligus merayakan lahirnya teori
sastra dan estetika sastra postrukturalisme. Makna sebuah puisi tidak
ditentukan oleh linguis melainkan oleh pembaca, dengan cara mempertentangkan
antara arti (meaning) pada level mimetik dengan makna (significance),
sebagai penyimpangan level mimetik itu sendiri.
Lebih tegas, melalui pendekatan
sosiolinguistik melalu teori tindak kata, Pratt mengkritik Jakobson yang
terlalu menonjolkan fungsi puitika. Tidak ada ragam bahasa yang khas. Wacana sastra adalah
pemakaian bahasa tertentu, bukan ragam bahasa tertentu (Anonim, 2012).
2)
Ajaran Filsafat
Posmodernisme Roman Osipocich Jakobson (1896-1982)
Ajaran Kefilsafatan Roman Osipocich Jakobson yaitu,
hubungan antara bahasa dengan sastra, ciri-ciri khas bahasa dan sastra,
ciri-ciri yang membedakan antara bahasa sastra dengan bahasa nonsastra, telah
banyak dibicarakan. Secara garis besar ada dua pendapat. Pertama,
pendapat yang mengatakan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa biasa,
bahasa sehari-hari. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa bahasa sastra
sama dengan bahasa sehari-hari. Pendapat pertama bertolak dari kekhasan bahasa
sastra sebagaimana terkandung dalam puisi, sedangkan pendapat kedua bertolak
dari bahasa prosa. Dalam sastra kontemporer kelompok formalislah yang paling
serius mencoba menemukan ciri-ciri bahasa sastra tersebut, yang disebut sebagai
literariness (Anonim, 2012).
d.
Charles Sanders Pierce
1)
Riwayat Charles
Sanders Pierce
Charles Sanders Pierce, 10 September 1839 adalah seorang filsuf,
ahli logika semiotika, matematika dan ilmuan Amerika Serikat yang lahir di
Cambridge, Massachusetts.
Karya-Karya
Charles Sanders Pierce diantaranya :
a.
Collected
Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited by Charles Hartshorne,
Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University Press,Cambridge,
Massachusetts, 1931-1958).2)
b.
The Essential
Peirce, 2 vols. Edited by Nathan Houser, Christian Kloesel, and the Peirce
Edition Project ( Indiana University Press, Bloomington, Indiana,
1992,1998).3),
(Syadali, at all. 1997).
2)
Ajaran Filsafat
Charles Sanders Pierce
Pada dasarnya Pierce, tidak banyak mempermasalahkan estetika dalam
tulisan-tulisannya. Meskipun demikian, teori-torinya mengenai tanda mendasari
pembicaraan estetika generasi berikutnya. Menurut Pierce, makna tanda yang
sesungguhnya adalah mengemukakan sesuatu. Dengan kata lain, tanda mengacu
kepada sesuatu.
Tanda harus diinterpretasikan sehingga dari tanda yang orisinal akan
berkembang tanda-tanda yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya,
tanda-tanda bersifat konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada
tanda-tanda yang bebas konteks. Tanda selalu bersifat Plural (jamak), tanda-tanda hanya berfungsi hanya kaitannya dalam
kaitannya dengan tanda yang lain. Contoh tanda merah dalam lalu lintas, selain
dinyatakan melalui warna merah, juga ditempatkan pada posisi paling tinggi
(Anonim, 2012).
Dalam pengertian Pierce. fungsi refresial didefenisikan melalui triadik
ikon, indeks, dan simbol. Tetapi interpretasi holistik harus juga
mempertimbangkan tanda sebagai perwujudan gejala umum, sebagai representamen (qualisign, sisign, dan lesisign), dan tanda-tanda baru yang
terbentuk dalam batin penerima, sebagai interpretant
(rheme, dicent, dan argument)
dengan kalimat lain, diantara objek, representamen,
dan interpretan, yang paling sering
dibicarakan adalah objek (ikon, indeks dan simbol) (Anonim, 2012)
Jadi, apa yang
dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di depan”
tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena,
satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau
permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari
kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang
ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.
Selain itu,
Derrida mengkritik adanya oposisi biner (Binary Opposition) yang
selalu memberikan dikotomisasi dalam segala hal. Adanya dikotomi baik atau
buruk, makna atau bentuk, jiwa atau badan, transcendental atau imanen, maskulin
atau feminin, benar atau salah, lisan atau tulisan, dan sebagainya. Dikotomisasi
seperti ini pada akhirnya akan memunculkan hirarki, yang menjadikan satudiatas
dari yang lain.
Misalnya,
maskulin lebih baik dari feminim, lisan lebih baik dari tulisan, dan
sebagainya. Oleh karena itu menurut Derrida, yang harus dilakukan adalah pembalikan
(inverse). Maksudnya, segala sesuatu dalamdekonstruksi harus dianggap
satu. Tidak ada lagi oposis biner yang memisah-misahkan, (Annona, 2013).
e. Roland Barthes (1915-1980)
1) Riwayat Roland Barthes (1915-1980)
Barthes adalah seorang ahli
semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi. Barthes lahir di Cherbourg,
Prancis (1915-1980). Dalam bidang semiotika, di samping Levi Strauss, Foucault,
dan Lacan, Barthes banyak memanfaatkan teori-teori struktural Saussurean. Sebagai
seorang semiotikus ia juga mengakui bahwa proses pemaknaan tidk terbatas pada
bahasa, melainkan harus diperluas meliputi seluruh bidang kehidupan.
Barthes dan dengan
demikian para pengikutnya menolak dengan keras pandangan tradisional yang
menganggap bahwa pengarang sebagai asal-usul tunggal karya seni. Jelas bahwa
paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis, makna karya sastra
terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya, (Sugiharto, 2000).
Barthes-lah yang
membuat karya sastra memperoleh kekuatan baru, memperoleh kebebasan, khususnya
dari segi penafsiran pembaca. Klimaks pemikiran ini dikemukakan dalam
tulisannya yang berjudul The Pleasure of The Text (1973), dengan
membedakan teks menjadi dua macam, yaitu: teks pleasure (plaisir) dan
teks bliss (jouissance), (Anonim, 2012).
2) Ajaran Filsafat Roland
Barthes (1915-1980)
Ajaran Roland Barthes yaitu seperti pada karyanya The Pleasure of The
Text (1973), bahwa dengan adanya kebebasan yang dimilikinya, maka pembaca
akan merasakan kenikmatan (pleasure) dan kebahagiaan (bliss),
yang seolah-olah mirip dengan kenikmtan seksual (orgasme). Meskipun
demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca teks memilikia arti yang
lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan estetis.
Teks pleasure menyajikan kesenangan berupa pengetahuan, kepercayaan,
dan harapan, sedangkan teks bliss justru menyajikan semacam kehilangan,
keputusasaan, dan kegelisahan. Teks pleasure merupakan milik kebudayaan
tertentu, sebaliknya teks bliss tidak memiliki asumsi historis,
kebudayaan, dan psikologis. Teks pleasure menyajikan kesesuaian hubungan
antara pembaca dengan medium yang relatif stabil, teks bliss justru
merupakan krisis (Muntansyir, at, all. 2004).
Contoh teks pleasure yaitu membaca sebuah buku seperti buku
pelajaran akan menimbulkan pengetahuan sedangkan teks bliss seperti buku- buku novel atau cerita rakyat yang menimbulkan suatu asumsi historis (sejarah)
seperti cerita Malin Kundang, (Anonim, 2012).
f.
Umberto Eco
1)
Riwayat Umberto Eco
Eco adalah seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan
jurnalis, lahir di Piedmont, Italia (1932). Di samping itu ia juga mendalami
estetika dan filsafat abad pertengahan yang kemudian diterbitkan daam bukunya
yang berjudul Art and beauty in the Middle Ages.
Dua buah novelnya yang
terkenal berjudul The Name of the Rose dan Foucault Pendulum.
Sebagai ahli semiotika ia menghasilkan dua buah buku yaitu A Theory of
Semiotics (1976) dan Semiotics and the Philosophy of Language
(1984), (Hadiwijono, H.
1980).
Karya –karya Umberto Eco yaitu
membuat buku yang berjudul Art and beauty in the Middle Ages. Dua buah
novelnya yang terkenal berjudul The Name of the Rose dan Foucault
Pendulum. Sebagai ahli semiotika ia menghasilkan dua buah buku yaitu A
Theory of Semiotics (1976) dan Semiotics and the Philosophy of Language
(1984).
Secara eksplisit A Theory of Semiotics mendeskripsikan teori
semiotika umum yang terdiri atas teori kode dan teori produksi tanda, sebagai
perbedaan antara kaidah dan proses atau antara potensi dan tindakan menurut
Aristoteles. Salah satu tema yang dikemukakan dalam Semiotics and the
Philosophy of language adalah perbedaan antara struktur kamus dengan
ensiklopedia.
Kamus dianggap sebagai pohon porphyrian (model, definisi,
terstruktur melalui genre, spesies, dan pembaca) sebaliknya,
ensiklopedia merupakan jaringan tanpa pusat. Kamus bermakna tetapi cakupannya
terbatas, atau cakupannya tak terbatas tetapi tidak mampu memberikan makna
tertentu. Ensiklopedia sejajar dengan jaringan rhizomatic. Strukturnya
mirip dengan peta, bukan pohon yang tersusun secara hierarkhis (Anonim, 2012).
2)
Ajaran Filsafat Postmodernisme Umberto Eco
Sebagai ilmu yang imperial, memiliki ruang lingkup hampir seluruh bidang
kehidupan, maka Eco membedakan semiotika menjadi 18 bidang, termasuk estetika.
Menurut Eco, semua bidang dapat dikenal sebagai kode sejauh mengungkapkan
fungsi estetik setiap unsurnya. Sama dengan Pierce, esensi tanda adalah
kesanggupannya dalam mewakili suatu tanda. Setiap kode memiliki konteks,
sebagai konteks sosiokultural.
Oleh karena itulah, teori tanda harus mampu menjelaskan mengapa sebuah
tanda memiliki banyak makna, dan akhirnya bagaimana makna-makna baru bisa
terbentuk. Dalam hubungan inilah dibedakan dua unsur, pertama, unsur
yang dapat disesuaikan atau diramalkan oleh kode, seperti simbol dalam
pengertian Pierce. Kedua, adalah unsur yang tidak bisa disesuaikan
dengan mudah, misalnya, ikon dalam pengertian Pierce. Unsur pertama disebut
rasio facilis, sedangkan unsur yang kedua disebut rasio defacilis.
Oleh karena itu, menurut Eco, proses pembentukan tanda harus dilakukan melalui
sejumlah tahapan, yaitu:
a. kerja fisik,
b. pengenalan,
c. penampilan,
d. replika, dan
e. penemuan,
Contoh tanda silang ( ) memiliki banyak arti dan makna yaitu bisa dijabarkan
dengan sebagai simbol perkalian dalam Matematika, tanda silang jawaban salah,
atau tanda bahya/ larangan di makanan,
minuman dan obat, (Abidin, 2006:35).
Ajaran filsafat posmodernisme tentang manusia sebetulnya
hampir mirip sama dengan filsafat strukturalisme. Kedua aliran ini boleh
disebut anti-humanisme, jika humanisme dipahami sebagai pengakuan atas
keberadaan dan dominasi “aku” yang terlepas atau independen dari sistem situasi
atau kondisi yang mengitari hidupnya. Faktanya tidak ada dan tidak mungkin ada
“aku” atau “ego” yang unik dan mandiri, karena ia selalu hidup di dalam, dan
ditentukan oleh, sejarah dan situasi sosial budaya yang mengungkapnya, (Abidin,
2006:35).
Akan tetapi Posmodernisme masuk kedalam aspek- aspek
kehidupan manusia yang lebih beragam dan aktual. Para Posmodernis menentang
bukan hanya dominasi (aku) yang seolah- olah bebas dan mampu melepaskan diri
dari sistem sosial budayanya, tetapi menafikan dominasi sistem sosial, budaya,
politik, kesenian, ekonomi, arsitektur, dan bahkan gender yang bersifat timpang
dan menyeragamkan umat manusia, (Abidin, 2003:288).
Menurut pandangan posmodernis, telah terjadi dominasi atau
“kolonialisasi yang halus dan diam- diam” dalam semua aspek kehidupan manusia.
“Pelakunya” adalah sistem- sistem besar yang bersifat tunggal (the One) terhadap sistem- sistem kecil
yang bersifat jamak (the Plurals). The One identik dengan Kebudayaan Barat,
sedangkan The Plurals dengan
Kebudayan Timur.
Misalnya
saja dominasi nilai kesenian Barat yang dianggap adi luhung terhadap kesenian
yang berasal dari bangsa- bangsa timur dan/atau negara- negara berkembang:
Hanya musik klasik dari Bach, Beethoven, Mozart, misalnya yang layak disebut
indah (bernilai seni tinggi), sedangkan musik- musik tradisional seperti
angklung, dangdut, gamelan dianggap tidak indah atau kampungan (bernilai seni
rendah), (Abidin, 2006: 35-36).
Para Posmodernis
menentang dominasi nilai- nilai yang demikian Melalui proyek dekonstruksi,
mereka coba menunjukkan betapa rapuh dan lemahnya the One dan betapa penting dan berharganya the Plurals sehingga tidak bisa meremehkan yang satu oleh yang
lain. Menurut Posmodernis, the Plurals harus
diperhatikan, diungkap ke permukaan, karena memiliki nilai yang penting yang
tidak bisa diukur oleh nilai- nilai yang terkandung dalam the One, (Abidin, 2006: 36).
3.
Latar Belakang Lahirnya Posmodernisme
Pada tahun
1970-an Jean Francois Lyotard lewat karyanya The Postmodern Condition: A
Report and Knowlage menolak ide dasar filsafat modern. Menurut Lyotard,
aliran modernism dianggap bergantung dan terpaku pada grand
narrative (cerita-cerita besar) dari kemapanan filsafat yang hanya
mengandalkan akal. Lyotard menolak keras bentuk metanarasi, dan
tidak percaya adanya kebenaran tunggal yang universal, sebab menurutnya
kebenaran adalah kebenaran (Aceng dkk. 2011: 94).
Charles Jencks dengan bukunya “The Language of Postmodern” .
Architecture (1975) menyebut postmodern sebagai upaya untuk mencari pluralisme
gaya arsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu gaya. Pada sore hari di
bulan juli 1972, bangunan yang mana melambangkan kemodernisasian di ledakkan
dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini menandai kematian modern dan menandakan
kelahiran posrmodern.
Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam modern
tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu tetapi lebih merupakan
sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal modern. Postmodern ini merupakan
sebuah kritik atas realitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam
melanjutkan proyek pencerahan. Nafas
utama dari posmodern adalah penolakan atas narasi- narasi besar yang muncul
pada dunia modern dengan ketunggalan gangguan terhadap akal budi dan mulai
memberi tempat bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar dan beraneka ragam
untuk untuk bersuara dan menampakkan dirinya ( Ernest, G.
1994).
“The Grand
Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa
Modernitas. Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah disinggung menjadi
penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan
berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berpikir dan menjadi
ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berpikir akibat ketidakjelasan akan
membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Pada dasarnya,
postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah
tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang
berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas dan mencapai
puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal memiliki cita-cita yang
tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness, progress dan
iberty, (Muzairi, 2009).
Semangat ini
harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang
kehidupan dalam waktu yang relatif singkat. Nampaknya, mimpi untuk
memiliki dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil terwujud.
Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak
negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat
membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak
lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah
berjalan sesuai harapan, (Muzairi, 2009).
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif,
kenyataan atau realita adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak
bersambungan satu sama lain. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh
keinginan, penalaran digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih
dari konstruk sosial, kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan.
Rasionalitas
modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan
terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah manusia.Teknologi juga tidak
memberikan waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat dan menikmati hidup.
Di masa lampau, ketika hanya ada alat-alat tradisional yang kurang efektif,
semua orang mengharapkan teknologi canggih akan memperingan tugas manusia
sehingga seseorang dapat menikmati waktu senggang.
Saat ini,
teknologi telah berhasil menciptakan alat-alat yang memudahkan kerja manusia.
Seharusnya, semua orang lebih senggang dibanding dulu, tetapi kenyataannya, justru
semua orang lebih sibuk dibanding dulu. Teknologi instan yang ada saat
ini justru menuntut pribadi-pribadi untuk lebih bekerja keras untuk
mendapatkan hasil yang maksimal dari efektifitas yang diciptakan. Ironis, (Budhy, 2001).
Berangkat dari
perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah postmodern muncul dan
berkembang. Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai
bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan
sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernitas. Apa
yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, kanapa yang dahulu
dipandang rendah, sekarang justru dihargai, (Budhy, 2001).
Secara umum latar belakang lahirnya postmodernisme adalah sebagai berikut:
1) Sebagai bentuk protes
akan anggapan kurangnya ekspresi dalam aliran
modernisme;
2) Karena terjadinya
krisis kemanusiaan modern dalam aliran modernisme.
Sedangkan menurut Pauline Rosenau adalah:
a) Modernisme gagal
mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung
fanatiknya;
b) Ilmu pengetahuan modern
tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan
otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului
hasil penelitian;
c) Ada semacam kontradiksi
antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
d) Ada semacam keyakinan yang
sesungguhnya tidak berdasar bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan
segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya, dan ternyata
keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan,
serta kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
e) Ilmu-ilmu modern kurang
memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu
menekankan pada atribut fisik individu, (Anonim, 2012).
4.
Ajaran Pemikiran Filsafat Posmodernisme
Filsafat
Posmodernisme tentang manusia sebetulnya hampir mirip sama dengan filsafat
strukturalisme. Kedua aliran ini boleh disebut anti-humanisme, jika humanisme
dipahami sebagai pengakuan atas keberadaan dan dominasi “aku” yang terlepas
atau independen dari sistem situasi atau kondisi yang mengitari hidupnya.
Faktanya tidak ada dan tidak mungkin ada “aku” atau “ego” yang unik dan
mandiri, karena ia selalu hidup di dalam, dan ditentukan oleh, sejarah dan
situasi sosial budaya yang mengungkapnya, (Abidin, 2006:35).
Akan tetapi
Posmodernisme masuk kedalam aspek- aspek kehidupan manusia yang lebih beragam
dan aktual. Para Posmodernis menentang bukan hanya dominasi (aku) yang seolah-
olah bebas dan mampu melepaskan diri dari sistem sosial budayanya, tetapi
menafikan dominasi sistem sosial, budaya, politik, kesenian, ekonomi,
arsitektur, dan bahkan gender yang bersifat timpang dan menyeragamkan umat
manusia, (Abidin, 2003:288).
Menurut
pandangan posmodernis, telah terjadi dominasi atau “kolonialisasi yang halus
dan diam- diam” dalam semua aspek kehidupan manusia. “Pelakunya” adalah sistem-
sistem besar yang bersifat tunggal (the
One) terhadap sistem- sistem kecil yang bersifat jamak (the Plurals). The One identik dengan Kebudayaan Barat, sedangkan The Plurals dengan Kebudayan Timur.
Misalnya saja
dominasi nilai kesenian Barat yang dianggap adi luhung terhadap kesenian yang
berasal dari bangsa- bangsa timur dan/atau negara- negara berkembang: Hanya
musik klasik dari Bach, Beethoven, Mozart, misalnya yang layak disebut indah
(bernilai seni tinggi), sedangkan musik- musik tradisional seperti angklung,
dangdut, gamelan dianggap tidak indah atau kampungan (bernilai seni rendah)
(Abidin, 2006: 35-36).
Para
Posmodernis menentang dominasi nilai- nilai yang demikian Melalui proyek
dekonstruksi, mereka coba menunjukkan betapa rapuh dan lemahnya the One dan betapa penting dan
berharganya the Plurals sehingga
tidak bisa meremehkan yang satu oleh yang lain. Menurut Posmodernis, the Plurals harus diperhatikan, diungkap
ke permukaan, karena memiliki nilai yang penting yang tidak bisa diukur oleh
nilai- nilai yang terkandung dalam the
One (Abidin,2006: 36).
5.
Sumbangan Filsafat Posmodernisme Terhadap Perkembangan Ilmu
Pengetahan Masakini
a. Postmodern Dalam Bidang
Agama
Sumbangsih postmodernisme bagi agama, yakni paradigma berpikir dancara
beragama yang baru, manusia mempunyai hubungan dengan realitas tertinggi yakni Allah.
Sebab, modernisme melupakan sisi manusia yang lainyakni kesadaran akan kekuatan
yang diluar dirinya.Identitas manusia, ditentukan oleh dimensi hubungannya
dengan Tuhan dan hubungannya dengan sesama.
Dalam hal ini agama dan sains bekerja sama dalam membangun dan
membuat manusia sejahtera. Manusia seharusnya menghargai nilai-nilai kemanusiaan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi berdasakan kemanusiaan sehingga nyata damai dan sejahtera bagi
kehidupan manusia, manusia membutuhkan kepastian dari agama dipegang orang
sebab pertanyaan yang selalu diperhadapkan kepada manusia dari manakah hakikat
asalanya dan kemana akan pergi.
Kepastian yang dinyatakan melalui pernyataan-pernyataan kitab suci dan
simbol-simbol memperkuat keyakinan orang akan apa yang dipegangnya untuk
menyatakan kesejahteraan dan kedamaian bukan peperangan karena kebenaran,
penekanan saat ini adalah bagaimana hidup berdampingan untuk menyatakan
kerajaan Allah yakni kehidupan tanpa penindasan dan kekerasan.
Lihatlah kepada Yesus manusia yang sempurna tanpa dosa, di mana Ia menjaga
hubungan yang akrab dengan sesama dan Allah dan telah mengorbankan diri-Nya
sebagai rasa solidaritas-Nya atas keadaan manusia melalui salib, hubungan
manusia dan sesama pulih, serta hubungan manusia dengan Allah, (Hadiwijono, H. 1980).
b. Postmodern Dalam Bidang
Ilmu Pengetahuan
Sumbangsih filsafat postmodernisme terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi di jelaskan
oleh Toffler yang manggambarkan peradaban pasca-modern itu sebagai datangnya
industri-industri baru yang didasarkan padakomputer, elektronik, informasi,
bioteknologi.
Ini memungkinkan pabrikasi yang fleksibel, pasar lokal, meluasnya pekerjaan paruh-waktu, dan de-masivisasi media, dan mengambarkan
fusi baru antara produser dan konsumer danterbentuknya apa yang disebut sebagai
prosumer. Ini menggambarkan pergeseran pekerjaan ke rumah dan
perubahan-perubahan dalam bidang politik dan sistem pemerintahan (Muntansyir
dkk, 2004).
c. Postmodern Dalam Bidang
Seni
Arsitektur modern tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti Clement Greenberg
menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya seni sebelumnya. Kaum
modern menemukan identitas dirinya dengan membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya. Dengan cara ini, para
seniman modern mengatakan bahwa
hasil karya seni mereka bersifat "murni" (orisinal). Kecenderungan modern
dalam bidang seni sama dengan bidang arsitektur, yaitu:"univalence". Sebaliknya seni
postmodern berangkat dengan kesadaran adanya hubungan erat antara
miliknya dan milik orang lain. Karena itulah, seni postmodern menganut
keanekaragaman gaya atau "multivalence", (Jalaluddin, R. 1998).
Kalau modern menyukai "murni." maka postmodern menyukai "tidak
murni." Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif dan sempit tetapi berbauran
(sintetis). Karya seni tersebut dengan bebas memasukkan berbagai macam kondisi,
pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada. Karya ini tidak
melukiskan pengalaman tunggal dan utuh. Justru yang hendak dicapai adalah
keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaanelemen, penafsiran,
dan respons. Banyak seniman postmodern menggabungkan keanekaragaman dengan teknik pencampuradukan.
Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai adalah "collage".
Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang campur") menegaskan collage
sebagai bentuk utama dari wacana postmodern. Perlahannamun pasti, "collage"
menarik para pecinta seni ke dalam makna yang dihasilkan "collage"
tersebut. Karena " collage " bersifat heterogen, maka makna yang dihasilkannya
tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik
para pecinta seni untuk selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya (Muzairi, 2009).
d. Postmodern Dalam Bidang
Teater
Teater adalah wujud penolakan postmodern terhadap modern yang
paling jelas. Kaum modern melihat jelas sebuah karya seni sebagai karya
yang tidak terikat waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi waktu. Etos
postmodern menyukai tragedi, dan tragedi selalu ada dalam setiap karya seni. Kaum postmodern melihat hidup ini
seperti sebuah kumpulan cerita sandiwara yang terpotong- potong.
Maka teater adalah sarana terbaik untuk menggambarkan tragedi
dan pertunjukan. Teater postmodern menampilkan usulan-usulan para ahli di atas. Mereka membuat berbagai elemen
dalam teater, seperti suara, cahaya, musik, bahasa, latar belakang, dan gerakan
saling berbenturan. Dengan demikian, teater postmodern sedang
menggunakan teori tertentu yang disebut dengan estetika ketiadaan (berbeda
dengan estetika kehadiran), (Muzairi, 2009).
Teori estetika ketiadaan menolak adanya konsep kebenaran yang
mendasari dan mewarnai setiap penampilan. Yang ada dalam setia penampilan adalah kekosongan ("empty presence").
Seperti etos postmodern, makna sebuah penampilan hanya bersifat sementara, tergantung dari situasi
dan konteksnya. Postmodern dalam bidang tulisan-tulisan fiksi seperti gaya postmodern umumnya, tulisan fiksi postmodern menggunakan teknik
pencampuradukan.
Beberapa penulis mengambil elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya
secara berantakan untuk menyampaikan suatu ironi mengenai topik-topik yang
biasa dibahas. Bahkan beberapa penulis lainnnya mencampurkan kejadian
nyata dan khayalan. Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi
tersebut (Muzairi, 2009).
Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh
khayalan dengan segala perilakunya. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh khayalan itu adalah tokoh-tokoh
yang nyata dalam sejarah manusia. Beberapa penulis postmodern mencampuradukkan
yang nyata dan yang khayal dengan menyisipkan diri mereka ke dalam cerita itu. Bahkan mereka
punturut membicarakan berbagai masalah dan proses yang diceritakannya.
Melalui ini, sang penulis mencampurkan yang nyata dan yang fiksi. Teknik
ini menekankan hubungan
yang erat antara penulis dan tulisan fiksinya.
Teknik pencampuradukan ini digunakan untuk menunjukkan sikap anti-
modernisme. Tujuan para penulis modern adalah memperoleh makna tunggal. Sebaliknya, kaum postmodern ingin
mengetahui bagaimana kenyataan-kenyataan yang amat berbeda, dapat berjalan
dan saling bercampur (Sugiharto, 2000).
e. Postmodernisme Dalam
Bidang Pendidikan
Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai
peneguhan proses transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai
oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang
sebagai dewa dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat.
Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru.
Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang
bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu
melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah, (Sugiharto, 2000).
Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi adalah
bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus
dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan betapa sekolah
justru seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai)
serta transfer of knowledge (transformasi pengetahuan).
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga
beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif
postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral,
krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan
rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan persoalan
yang cukup berat menimpa masyarakat modern. Dalam kondisi yang
demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses
pendidikan yang harus dijalankan ( Sugiharto, 2000).
f.
Postmodernisme Dalam Budaya
Sebuah fenomena dalam budaya pop keterbukaan kepada etos postmodern melalui budaya pop adalah ciri
khas postmodern. Ciri khas lainnya adalah tidak mau menempatkan "seni
klasik tinggi" di atas budaya "pop." Postmodern unik karena
ia menjangkau bukankelas elite tetapi kelas masyarakat biasa, masyarakat yang
terbiasa dengan budaya pop dan media massa.
Hasil karya postmodern juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengansebuah
bahasa dan menggunakan elemen-elemen yang dapat diterima olehorang-orang awam
ataupun seniman dan arsitek handal. Dengan cara demikian, postmodernisme
berhasil menyatukan dua alam yang berbeda, yaitu profesional dan populer, (Muzairi, 2009:242).
g. Pembuatan Film Sebagai
Dasar Pijakan Budaya Postmodern
Perkembangan teknologi membantu penyebaran postmodern ke dalam sisi-sisi
penting dan budaya pop. Salah satu sisi terpenting adalah industri film. Teknologi pembuatan
film sangat cocok dengan etos postmodern, yakni: film menggambarkan yang
tidak ada menjadi seolah-olah ada. Sekilas lalu, film adalah sebuah cerita
utuh yang ditampilkan oleh para aktor dan aktris. Kenyataannya, film
adalah rekayasa teknologi dengan bantuan ahli-ahli spesialis dari berbagai bidang
yang tidak jarang kelihatan dalam film. Adanya kesatuan dalam sebuah film
sebenarnya adalah ilusi, (Sugiharto, 2000).
Film berbeda dengan teater. Film tidak pernah berisi penampilan sekelompok aktor/aktris
sekaligus secara utuh dan berkesinambungan. Apa yang penonton lihat
"berkesinambungan" adalah semacam sisa dari berbagai adegan dalam proses pembuatan
film itu sendiri, yang tidak saling berhubungan baik secara waktu maupun
tempat. Alur cerita sebuah film
hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berhubungan"atau
"berkesinambungan" sebenarnya hanyalah kumpulan adegan yang
diambil pada waktu dan tempat yang berbeda-beda.
Alur sebuah film yang kita lihat,ternyata tidak seperti demikian alurnya
pada waktu film berada dalam proses pembuatan tersebut. Yang menyatukan
adegan-adegan yang terpecah-pecah itu adalah seorang editor. Dialah yang menyambungkan adegan-adegan yang
tidak ada hubungannya satu sama lain. Kemampuan seorang sutradara menggabungkan berbagai potongan menjadi sebuah film yang utuh,
memungkinkannya untuk melenyapkan perbedaan antara kebenaran dan dongeng,
kenyataan dan khayalan. Sutradara-sutradara postmodern menggunakan
kesempatan ini untuk mewujudnyatakan etos postmodern, (Sugiharto, 2000).
h. Televisi
Dan Penyebaran Budaya Postmodern
Televisi merupakan sarana yang lebih efisien untuk menyebarkan
etos postmodern ke seluruh lapisan masyarakat. Karena inilah televisi
telah menjadi kriteria untuk membedakan yang nyata dan tidak. Televisi mampu menayangkan fakta secara langsung
dan mampu menyebutkan produksi-produksi film. Kemampuan ganda
demikian membuat televisi memiliki kekuatan yang unik. Ia mampu mencampurkan
"kebenaran" (apa yang orang banyak anggap sebagai kejadian nyata)
dengan "fiksi" (apa yang orang banyak anggap sebagai khayalan yang
tidak pernah terjadi dalam kenyataan).
Televisi mencampuradukkan masa lalu dan masa kini, yang jauh dan yangdekat,
segala sesuatunya dibawa menjadi kini dan di sini, di hadapan pemirsa televisi. Dengan cara
ini, televisi memperlihatkan dua ciri khas postmodern: menghapus batas antara
masa lalu dan masa kini, dan menempatkan pemirsa dalam ketegangan
terus-menerus, (Sugiharto, 2000).
i.
Sumbangsih Posmodern kepada negara-negara berkernbang
1) Memberi kesempatan
negara berkembang untuk maju sederajat dengan negara-negara maju;
2) Dalam percaturan
politik dunia, menjadi penseimbang politik dan memiliki HAM yang sama seperti
yang tertuang dalam Human Right Declaration;
3) Dengan faham bahwa
tidak ada kebenaran yang mutlak, maka ada kesempatan untuk saling berbagi dalam
semua aspek hidup termasuk agama;
4) Belajar menjadi dewasa
dalam berpikir, bersuara dan memberikan pendapat;
5) Belajar menghargai
pendapat sesama yang berbeda;
6) Tidak lagi mengejar
yang bersifat struktural oleh karena sudah berada dalam era poststruktural;
7) Yang menjadi tekanan
dalam dunia pastoral adalah mengajar sesama untuk menjadi dewasa dan dapat
menolong dirinya sendiri;
8) Tetap menekankan kepada
kebebasan yang bertanggung jawab;
9) Setiap orang ditantang
untuk mempersiapkan diri memasuki hari tua agar tetap bisa berprestasi karena
terjadinya kesejangan antara orang tua dan muda;
10) Perlu dipikirkan sebuah
cara atau kegiatan pastoral untuk mengembalikan keharmonisan keluarga;
11) Ketakutan memasuki hari
tua hanya dapat diatasi melalui sebuah keyakinan bahwa hari tua adalah hari
yang indah dan ketika menjadi tuapun masih bisa berprestasi;
12) Tuhan akan menyertai
sampai akhir hayat manusia;
13) Dunia ini harus
dikembalikan kepada pemilik-Nya yaitu Allah
14) Tugas manusia adalah
memelihara ciptaan Tuhan dalam konteks memelihara lingkungan hidup secara
bertanggung jawab;
15) Karakter perorangan
harus menjadi satu dalam karakter komunitas;
16) Dalarn konteks dunia
semacam ini komunikasi atau pemberitaan Firman harus disampaikan secara
holisiik dan dilakukan meialui kehadiran orang-orang beragama di tengah
masyarakat;
17) Dampak positif dan
negatif yang dihasiikan oleh gerakan postmodern masih dapat dikelola dengan
wajar;
18) Ternyata postmodern
bukan sesuatu yang menakutkan dan harus ditolak, tetapi harus diterima secara
kritis;
19) Posmodern lebih
bersifat kebudayaan dari pada pergerakan, (Anonim, 2012).
B.
Keunggulan dan Kekurangan Filsafat Posmodernisme
1.
Keunggulan Lahirnya Filsafat Posmodernisme
a.
Pengingkaran
atas semua jenis ideology. Konsep berfilsafat dalam era postmodernisme
adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis fondasi pemikiran. Mereka tidak
mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk fondasi pemikiran filsafat
tertentu.
b.
Menggantikan peran cerita-cerita besar menuju
cerita-cerita kecil, dimana aliran
modernism dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative dari kemapanan
filsafat yang hanya mengandalkan akal, dialektika roh, emansipasi
subjek yang rasional, dan sebagainya.
c.
Aliran ini
tidak meniru sesuatu yang ada (pemikiran) tetapimenggunakan sesuatu yang sudah
ada dengan gaya baru.
d.
Adanya kediktatoran pemaknaan
e.
Kebebasan beragama merupakan jaminan terhadap martabat manusia yang
terpenting.
f.
Adanya teknologi canggih (kedokteran, ilmu pengetahuan) yang berkembang di
zaman sekarang akibat pengaruh dari kebudayaan barat
g.
Pengakuan the Plurals harus diperhatikan, diungkap ke permukaan, karena
memiliki nilai yang penting yang tidak bisa diukur oleh nilai- nilai yang
terkandung dalam the One, (Anonim,
2012).
Dalam perkembangan
selanjutnya, maka dekonstruksi yang semula dikaitkan dengan narasi- narasi
metafisika itu kemudian diperluas penerapannya, baik oleh Derrida sendiri
maupun oleh para Posmodernis lainnya, pada bidang yang lebih luas, yakni pada
setiap gejala (budaya, politik, sosial, arsitektur, gender dll) atau peristiwa
(sejarah) apapun.
Akan tetapi maknanya tidak
berubah, yakni masih tetap sebagai suatu cara untuk menemukan dan mengungkap ke
permukaan apa yang semula tidak atau kurang diperhatikan oleh modernisme. Dengan perkataan lain
dekonstruksi adalah usaha kaum Posmodernis untuk menemukan dan menjadikan
penting apa yang semula tidak penting, atau hanya dianggap sebagai The Others, oleh Modernisme (Abidin,
2003:228).
2.
Kekurangan Filsafat Posmodernisme
a. Postmodernisme tidak memiliki asas-asa yang
jelas (universal dan permanen). Bagaimana mungkin akal sehat manusia dapat
menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan landasannya? Jika jawaban mereka
positif, jelas sekali hal itu bertentangan dengan pernyataan mereka
sendiri, sebagaimana postmodernisme selalu menekankan untuk mengingkari bahkan menentang
hal-hal yang bersifat universal dan permanen.
b. Segala pemikiran yang hendak merevisi
modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan
dengan memperbaharui premis-premis modern di sana-sini saja. Ini
dimaksudkan lebih merupakan "kritik imanen" terhadap modernisme
dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya. Misalnya, mereka tidak
menolak sains pada dirinya sendiri, melainkan hanya sains sebagai ideologi dan scientism
saja di mana kebenaran ilmiahlah yang dianggap kebenaran yang paling sahih dan
meyakinkan.
c. Pemikiran-pemikiran yang terkait erat pada
dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik. Kata
kunci yang paling populer dan digemari oleh kelompok ini adalah
"dekontruksi".
d. Posmodernisme, buta terhadap
kenyataan bahwa narasi kecil mengandung banyak kebutuhan.
e. Posmodernisme tidak
membedakan antara idiologi di satu pihak, dan prinsip-prinsip universal etika
terbuka di lain pihak.
f. Posmodernisme menuntut
untuk menyingkirkan narasi-narasi besar demi narasi-narasi kecil, padahal
narasi-narasi kecil sendiri merupakan narasi besar dengan klaim universal,
(Anonim, 2012).
Oleh karena itu dalam kekurangannya posmodernisme haruslah paham dalam
narasi kecil yaitu menghargai budaya tradisional, supaya budaya tradisonal ini
mampu bersiang di negara maju dan sederajat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar