Jumat, 18 September 2015

Wilayah Kajian Posmodernisme



BAB VIII
FILSAFAT KONTEMPORER

A. Wilayah Kajian Posmodernisme
1.      Arti Posmodernisme
Istilah postmodernist, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939 lewat bukunya yang terkenal berjudul Study of History Toynbee yakin   benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai. Sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik  perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik  pada pemikiran tersebut (Septian, 2007).
Menurut Muzairi (2009:148) menyatakan bahwa secara etimologis post modern terdiri dari dua kata yaitu post  dan modern. Kata post yang berarti
(later or after) dan modern. Selain itu, menurut kubu postmodernisme lainnya post berarti melampaui kematian modernism.
Sedangkan menurut Aceng dkk (2011:104) secara terminologis postmodern merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalanya memenuhi janji-janjinya. Postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu akumulasi pengalaman peradaban Barat. Postmodernisme merupakan aliran pemikiran yang menjadi paradigma baru sebagai antithesis dari modernisme yang dianggap gagal dan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.
Alwi Shihab (1999:201) menyatakan bahwa postmodernisme adalah suatu gerakan kultural intelektual baru akibat rasa cemas terhadap janji–janji gerakan modern yang dianggap gombal. Gerakan posmodern secara tidak langsung menghidupkan kembali pamor agama, namun gerakan ini mencakup spektrum luas dari berbagai kelompok yang ragam pemikiran, walaupun bersatu pada rasa kecemasan terhadap kehidupan masa kini. Sisi gelap dari gerakan ini menggambarkan rasa putus asa, yang berbicara tentang kehancuran yang tak terelakkan dan kebenaran serta kepastian yang tidak mungkin dicapai. Sisi cerah dari gerakan ini tetap melihat celah-celah optimisme dalam kehidupan masa depan.
Sedangkan menurut Rachman (2001:152) menyatakan bahwa postmodernisme didominasi pengertian-pengertian dan konsep-konsep mengenai pluralisme, fragmentaris, heteroganitas, indeterminasi, skeptisisme, dekonstruksi perbedaan-perbedaan, ambiguitas dan ketidakpastian dalam usaha-usaha sintesis berbagai pemikiran kontemporer.
Ahmed (1996:107) mencoba mendefenisikan postmodernisme dengan terlebih dahulu memahami modernisme yang akan memungkinkan mengukur postmodernisme. Akber S. Ahmed dalam bukunya, Postmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, modernisme diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia ditandai dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme dan kemajuan. Keinginan untuk simetri dan tertib, keinginan akan keseimbangan dan otoritas, telah juga menjadi karakternya.
Periode ini ditandai oleh keyakinannya terhadap masa depan, sebuah keyakinan bahwa utopia bisa dicapai. Gerakan menuju industrialisasi dan kepercayaan yang fisik, membentuk ideologi yang menekankan materialisme sebagai pola hidup. Formulasi kontemporer postmodernisme menurut Ahmed merupakan fase khusus menggantikan modernisme, berakar pada dan diterangkan sejarah terakhir barat yang berada pada inti dominasi peradaban global abad ini.
Terhadap hal ini Ahmed (1996:109)  mencoba mengidentifikasikan beberapa ciri utama postmodernisme dengan menekankan watak sosiologisnya. Ciri-ciri utamanya adalah sebagai berikut:
a.       Berusaha memahami era postmodernisme berarti mengasumsikan pertanyaan tentang, hilangnya kepercayaan pada modernitas, semangat pluralisme, skeptisisme terhadap ortodoksi tradisional, dan akhirnya penolakan terhadap pandangan bahwa dunia adalah sebuah totalitas universal, pendekatan terhadap harapan akan solusi akhir dan jawaban sempurna.
b.      Postmodernisme bersamaan dengan era media, dalam banyak cara yang bersifat mendasar, media adalah dinamika sentral, ciri pendefenisi dari postmodernisme.
c.       Kaitan postmodernisme dengan revivalisme etno religius atau fundalisme perlu ditelaah oleh ilmuan sosial dan politik.
d.      Walaupun apokaliptiknya klaim itu, kontinuitas dengan masa lalu tetap merupakan ciri kuat postmodernisme.
e.       Karena sebagian penduduk menempati wilayah perkotaan, dan sebagian lebih besar lagi masih dipengaruhi oleh ide-ide yang berkembang dari wilayah ini. Maka metropolis menjadi sentral bagi postmodernisme.
f.       Terdapat elemen kelas dalam postmodernisme dan demokrasi adalah syarat mutlak bagi perkembangannya.
g.       Postmodernisme memberikan peluang bahkan mendorong penjajaran wacana, eklektisme berlebih-lebihan, percampuran berbagai citra.
h.      Ide tentang bahasa sederhana terkadang terlewatkan oleh posmodenis, meskipun mereka mengklaim dapat menjangkaunya.
Berdasarkan ciri-ciri utama postmodernisme, maka dapat dilihat bahwa kecenderungan yang ditekankan dalam literatur postmodernisme adalah rasa anarkinya, ketidakmenentuan dan keputusasaannya. Namun perlu bagi kita untuk menginterpretasikan postmodernisme dari segi positifnya yang berupa keberagamaan, kebebasan meneliti dan kemungkinan untuk mengetahui dan memahami satu sama lain.
Postmodernisme tidak perlu dipandang sebagai kesombongan intelektual, diskusi akademik yang jauh dari kehidupan nyata, tetapi sebagai fase historis manusia yang menawarkan kemungkinan yang belum ada sebelumnya kepada banyak orang, sebuah fase yang memberikan kemungkinan lebih mendekatkan beragam orang dan kultur ketimbang sebelumnya.
Dari beberapa pengertian di atas dapat pula diartikan bahwa postmodernisme merupakan suatu paham yang mengkritisi dan melampaui nilai-nilai dan pandangan yang diusung oleh zaman sebelumnya terkhusus pada modernism yang dinilai gagal dan sebagai bentuk reaksi pemberontakan dan kritik atas janji modernisme.
2.      Tokoh Posmodernisme
a.      Jean Francois Lyotard (1924-1998)
1)      Riwayat  Jean Francois Lyotard
                                     Jean Francois Lyotard lahir pada t             ahun 1924 di Versailles di sebuah kota kecil di Paris bagian selatan.Setelah berakhir Perang Dunia ke II, ia belajar filsafat di Sorbonne dan mendapat gelar agre‘gation de philosophie tahun 1950. Dari tahun 1950-1960 ia dikenal sebagai seorang aktivis yang beraliran Marxis, akan tetapi sejak tahun 1980-an ia dikenal sebagai pemikir  posmodernisme non-Marxis yang terkemuka, (Anonim, 2009).
Pada awal tahun 1970 Lyotard mulai mengajar di Universitas Paris VIII, Vincennes sampai 1987 ketika ia memasuki masa pensiun sebagai Professor atau Emeritus. Lyotard berulang-kali menegaskan tentang pemikiran Postmodern didalam eseiesei yang terkumpul dalam bahasa Inggris sebagai The Postmodern Explained to Children, Toward the Postmodern , dan Postmodern Fables.
PadaTahun 1998, selagi bersiap-siap menghadapi suatu konferensi conference on Postmodernism and Media Theory,ia meninggal dengan tak diduga-duga karena leukemia yang telah mengendap dengan cepat. Ia dikuburkan di Le Père Lachaise Cemetery di Paris, (Anonim, 2012).
Jean Francois Lyotard merupakan pemikir postmodern yang penting karenaia memberikan pendasaran filosofis pada gerakan postmodern. Penolakannnya terhadap konsep Narasi Besar serta pemikirannya yang mengemukakan konsep perbedaan dan language game sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity).
Berikut ini kara-karya dari Jean Francois Lyotard: The Postmodern  Condotion: A Report On Knowledge,  The Differend: Phrase in Dispute, The Inhuman: Reflections on Time, The Postmodern Explained to Children: Correpondence 1982-1985, Septian, 2007 ) .
2)      Ajaran Pemikiran Filsafat Jean Francois Lyotard
a)      Penolakan Grand- Naratives
Meta-narrative berasal dari dua kata: meta  dan narrative Meta-disini berarti transcending, encompassing , overarching. Dan narrative secara sederhana berarti cerita atau kisah. Kalau digabung, meta-narrative berarti sebuah kisah yang melingkupi semuanya (the overarching story). Atau, dalam pengkalimatan yang lebih baik, meta-narrative adalah sebuah ide yang menjelaskan secara ringkas suatu pengalaman, sejarah, atau kisah tertentu. Karena itulah, meta-narrative dapat disebut pula master narrative atau grand narrative (Septian, 2007).
Bagi Lyotard penolakan posmodern terhadap narasi agung sebagai salah satu ciri utama dari postmodern, dan menjadi dasar baginya untuk melepaskan diri dari Grand- Narative (Narasi Agung, Narasi besar, Meta Narasi), (Fahmi, 2013).
Grand- Naratives (Meta-narasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia yang mencakup segala hal dan menetapkan kriteria kebenaran dan objektifitas ilmu pengetahuan. Dengan konsekuensi bahwa narasi-narasi lain diluar narasi besar dianggap sebagai narasi nonilmiyah. Sebagaimana di jelaskan sebelumnya bahwa sains modern berkembang sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari penjalasan pra ilmiah seperti kepercayaan dan mitos-mitos yang dipakai masyarakat primitif.
Grand Narrative narasi besar seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar dan sebagainya. Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya sepertireligi, negara-kebangsaan, kepercayaan tentang keunggulan Barat dan sebagainya, yaitu mereka pun kini menjadi sulit untuk dipercaya (Fahmi, 2013).
Namun dalam pandangan kaum postmodernis termasuk Lyotard bahwa sains ternyata tidak mampu menghilangkan mitos-mitos dari wilayah ilmu pengetahuan. Sejak tahun 1700-an (abad pencerahan) dua narasi besar telah muncul untuk melegitimasi ilmu pengetahuan, yaitu : kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan dapat membawa umat manusia pada kemajuan (progress).
Namun era modern telah membuktikan banyak hal yang  tidak rasional dan bertentangan dengan narasi besar itu seperti Perang Dunia ke- II, pembunuhan sekitar 6 (enam) juta yahudi oleh Nazi Jerman, hal ini menurut Lyotard merupakan bukti dari kegagalan proyek modernitas (Ummy, 2007).
Dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge Lyotar diminta untuk menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi informasi terhadap ilmu pengetahuan pada akhir abadke-20 tersebut. Ia mengatakan bahwa telah terjadi perkembangan dan perubahan yang luar biasa pada pengetahuan, sains dan pendidikan pada masyarakat informasi.
Perkembangan dan perubahan tersebut telah menggiring masyarakat tersebut pada suatu kondisi yang dia sebut sebagai postmodern. Selama empat puluh tahun terakhir ilmu dan teknologi yang terdepan menjadi semakin terkait erat dengan bahasa, teori-teori linguistik, masalah komunikasi dan sibernetik, komputer dan bahasanya, persoalan penerjemahan, penyimpanan informasi, dan bank data. Transformasi teknologi berpengaruh besar pada pengetahuan. Miniaturisasi dan komersialisasi mesin telah merubah cara memperoleh, klasifikasi, penciptaan, dan ekspoitasi pengetahuan.
Lyotard percaya bahwa sifat pengetahuan tidak mungkin tidak berubah di tengah konteks transformasi besar ini. Status pengetahuan akan berubah ketika masyarakat mulai memasuki apa yang disebut zaman postmodern. Pada tahap lebih lanjut, pengetahuan tidak lagi menjadi tujuan dalam dirinya sendiri namun pengetahuan hanya ada danhanya akan diciptakan untuk dijual, (Akhyar, 2007).
b)     Language games
Lyotard membatasi ilmu pengetahuan sebagai permainan bahasa dan mengungkapkan konsep Language games yang mengacu pada keanekaragaman penggunaaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, dimana masing-masing bahasa menggunakan aturannya sendiri-sendiri. Lyotard mengembangkan konsep perbedaan difference.
Sesuai dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, ada banyak genres dediscours (wacana maka postmodern menghargai adanya perbedaan, membuka suara bagi yang lain (the other), penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, dan masyarakat. Penelitian yang bersifat lokal, etnik, menghasilkan deskripsi atau narasi khas dengan rezim frasedan genre diskursus masing-masing, (Fahmi, 2013).
c)      Antifundasionalisme
Antifundasionalisme dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan bahwa metanarasi (metode, humanisme, sosialisme, universalisme) yang dijadikan fundasi dalam modernitas barat dan hak-hak istimemewanya adalah cacat. Karena itu kita harus mencoba menghasilkan model pengetahuan yang lebih sensitif terhadap berbagai bentu perbedaan.
Hal ini dimungkinkan ketika  para intektual menggantikan peran mereka sebagai legislator kepercayaan-kepercayaan menjadi seorang interpreter. Karena itu Postmodernis lebih menerima metode interpretasi (hermeneutika) dari pada pendekatan logika atau metode linear yang dominan pada era modern, (Surya, 2010).
Secara ringkas Pemahaman pemikiran postmodernis menurut Jean Francois Lyotard menjadi penting untuk memahami berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang tak lagi memadai untuk dianalisis hanya berdasarkan paradigm ilmiah modern yang lebih menekankan kesatuan,homogenitas, pobjektivitas, dan universalitas. Sementara ilmu pengetahuan dalam pandangan postmodernis lebih menekankan pluralitas, perbedaan, heterogenitas, budaya local/etnis, dan pengalaman hidup sehari-hari, (Surya, 2010).
b.      Jacques Derrida  (1930-2004)
1)      Riwayat  Jacques Derrida 
Derrida yang mempunyai nama
lengkap Jacques Derrida ini adalah seorang keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair yang agak terpencil, pada 15 Juli 1930.
Setelah meraih gelar kesarjanaannya  yang  pertama, Derrida resmi mengajar di Husserl Archive. Pada 1960, dia diminta untuk mengajar filsafat di Universitas Sorbonne.
Tahun1967, Derrida mulai dikenal sebagai tokoh penting dalam pemikiran Prancis melalui dua karyanya, yakni: Pertama, La Voix et le Phenomene, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Speech and Phenomena (1973) oleh David Allison. Karya ini ditujukan untuk menganalisis gagasan Husserl tentang tanda. Kedua, De la Gramatologie, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Of Gramatology (1976) oleh Gayatri Spivak. Masih pada tahun yang sama, dia juga menerbit an  L’ecriture et la Difference yang kemudian diterjemahkan menjadi Writing And Difference (Anonim,  2012).
Derrida seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme. Istilah dekonstruksi sama sekali tidak menghancurkan metafisika lama. Ia justru berniat untuk menggali dan menghimpun konsep-konsep, metaphor-metafor atau makna laten (tersembunyi) di dalam keseluruhan narasi metafisika sehingga menjadi makna-makna penting dan sentral di dalam narasi tersebut, (Anonim, 2012).
2)      Ajaran Filsafat Jacques Derrida 
a)      Dekonstruksi
Dalam modernisme rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal dan menentukan, baik dalam mengatur arah dan gerak sejarah, mengontrol kekuatan social ekonomi dan bahasa, maupun dalam berbagai aktivitas manusia lainnya. Sejarah atau peradaban tidak selalu ditentukan oleh rasiotetapi juga ada kuasa diluar control rasio. Hal tersebut terbukti dengan mengangkat ke permukaan peranan manusia-manusia marginal, manusia pinggiran atau manusia ”Irrasional” dalam lingkungan manusia yang ”rasional”.
Menurut Muzairi, (2009:240) Dekonstruksi merupakan sebuah gebrakan untuk menentang teori strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapatdibaca dan dimengerti secara universal. Dekonstruksi, dalam hal ini,menganggap bahwa tidaklah benar demikian.
Makna tidaklah terdapat dalam teks, tetapi pemaknaan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca teks. Secara tidak langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulistidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semuaorang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan penafsiran masing-masing.
b)      Difference
Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dangramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to-self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran. Difference adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference.
Kata-kata ini berasal dari kata differer-differance-difference yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan atau menunda”. Kata-kata ini berasal dari kata, tidak hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa tulisan lebih unggul ketimbang ujaran (Septian, 2007).
Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh pemikiran modern pada umumnya.  Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya (Praja, 2005).
c.       Roman Osipocich Jakobson (1896-1982)
1)      Riwayat Roman Osipocich Jakobson (1896-1982)
Jakobson adalah seorang linguis, ahli sastra, semiotikus, lahir di Rusia (1896-1982). Ia juga pendiri Lingkaran Linguistik Moskow (1915) dan Lingkaran Linguistik Praha (1962). Karya- karyanya Roman Osipocich Jakobson didasarkan atas linguistik Saussure, fenomenologi Husserl, dan perluasan teori semiotika Pierce. Pusat perhatian Jakobson sesungguhnya adalah integrasi bahasa dan sastra. Sesuai dengan judul salah satu tulisannya ‘Lingustik and Poetics’ (1987: 66-71).
 Jakobson menaruh perhatian besar terhadap integrasi antara bahasa dan sastra. Jakobson melukiskan antar hubungan tersebut, dengan mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa, yang disebutnya sebagai Poetic function of language. Sama dengan Pierce, pikiran-pikiran Jakobson masih sangat kental menampilkan    model analisis, Strukturalisme, tetapi pikiran tersebut dapat mengarahkan bagaimana bahasa sebagai sistem model pertama berperan sekaligus berubah ke dalam taataran bahasa sebagai sistem model yang kedua, (Hadiwijono, 1980).
Kritikan tajam yang kemudian dikemukakan oleh Riffaterre dan Pratt, misalnya menunjukkan bahwa peranan pembaca tidak boleh dilupakan, sekaligus merayakan lahirnya teori sastra dan estetika sastra postrukturalisme. Makna sebuah puisi tidak ditentukan oleh linguis melainkan oleh pembaca, dengan cara mempertentangkan antara arti (meaning) pada level mimetik dengan makna (significance), sebagai penyimpangan level mimetik itu sendiri.
Lebih tegas, melalui pendekatan sosiolinguistik melalu teori tindak kata, Pratt mengkritik Jakobson yang terlalu menonjolkan fungsi puitika. Tidak ada ragam bahasa yang khas. Wacana sastra adalah pemakaian bahasa tertentu, bukan ragam bahasa tertentu (Anonim, 2012).
2)      Ajaran Filsafat Posmodernisme Roman Osipocich Jakobson (1896-1982)
Ajaran Kefilsafatan Roman Osipocich Jakobson yaitu, hubungan antara bahasa dengan sastra, ciri-ciri khas bahasa dan sastra, ciri-ciri yang membedakan antara bahasa sastra dengan bahasa nonsastra, telah banyak dibicarakan. Secara garis besar ada dua pendapat.  Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa biasa, bahasa sehari-hari. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa bahasa sastra sama dengan bahasa sehari-hari. Pendapat pertama bertolak dari kekhasan bahasa sastra sebagaimana terkandung dalam puisi, sedangkan pendapat kedua bertolak dari bahasa prosa. Dalam sastra kontemporer kelompok formalislah yang paling serius mencoba menemukan ciri-ciri bahasa sastra tersebut, yang disebut sebagai literariness (Anonim, 2012).
d.      Charles Sanders Pierce
1)      Riwayat Charles Sanders Pierce
Charles Sanders Pierce, 10 September 1839 adalah seorang filsuf, ahli logika semiotika, matematika dan ilmuan Amerika Serikat yang lahir di Cambridge, Massachusetts.
Karya-Karya Charles Sanders Pierce diantaranya :
a.      Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University Press,Cambridge, Massachusetts, 1931-1958).2)
b.      The Essential Peirce, 2 vols. Edited by Nathan Houser, Christian Kloesel, and the Peirce Edition Project ( Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1992,1998).3),
(Syadali, at all. 1997).
2)      Ajaran Filsafat Charles Sanders Pierce
Pada dasarnya Pierce, tidak banyak mempermasalahkan estetika dalam tulisan-tulisannya. Meskipun demikian, teori-torinya mengenai tanda mendasari pembicaraan estetika generasi berikutnya. Menurut Pierce, makna tanda yang sesungguhnya adalah mengemukakan sesuatu. Dengan kata lain, tanda mengacu kepada sesuatu.
Tanda harus diinterpretasikan sehingga dari tanda yang orisinal akan berkembang tanda-tanda yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya, tanda-tanda bersifat konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada tanda-tanda yang bebas konteks. Tanda selalu bersifat Plural (jamak), tanda-tanda hanya berfungsi hanya kaitannya dalam kaitannya dengan tanda yang lain. Contoh tanda merah dalam lalu lintas, selain dinyatakan melalui warna merah, juga ditempatkan pada posisi paling tinggi (Anonim, 2012).
Dalam pengertian Pierce. fungsi refresial didefenisikan melalui triadik ikon, indeks, dan simbol. Tetapi interpretasi holistik harus juga mempertimbangkan tanda sebagai perwujudan gejala umum, sebagai representamen (qualisign, sisign, dan lesisign), dan tanda-tanda baru yang terbentuk dalam batin penerima, sebagai interpretant (rheme, dicent, dan argument) dengan kalimat lain, diantara objek, representamen, dan interpretan, yang paling sering dibicarakan adalah objek (ikon, indeks dan simbol) (Anonim, 2012)
Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di depan” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.
Selain itu, Derrida mengkritik adanya oposisi biner (Binary Opposition) yang selalu memberikan dikotomisasi dalam segala hal. Adanya dikotomi baik atau buruk, makna atau bentuk, jiwa atau badan, transcendental atau imanen, maskulin atau feminin, benar atau salah, lisan atau tulisan, dan sebagainya. Dikotomisasi seperti ini pada akhirnya akan memunculkan hirarki, yang menjadikan satudiatas dari yang lain.
Misalnya, maskulin lebih baik dari feminim, lisan lebih baik dari tulisan, dan sebagainya. Oleh karena itu menurut Derrida, yang harus dilakukan adalah pembalikan (inverse). Maksudnya, segala sesuatu dalamdekonstruksi harus dianggap satu. Tidak ada lagi oposis biner yang memisah-misahkan, (Annona, 2013).
e.       Roland Barthes (1915-1980)
1)      Riwayat Roland Barthes (1915-1980)
 Barthes adalah seorang ahli semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi. Barthes lahir di Cherbourg, Prancis (1915-1980). Dalam bidang semiotika, di samping Levi Strauss, Foucault, dan Lacan, Barthes banyak memanfaatkan teori-teori struktural Saussurean. Sebagai seorang semiotikus ia juga mengakui bahwa proses pemaknaan tidk terbatas pada bahasa, melainkan harus diperluas meliputi seluruh bidang kehidupan.
Barthes dan dengan demikian para pengikutnya menolak dengan keras pandangan tradisional yang menganggap bahwa pengarang sebagai asal-usul tunggal karya seni. Jelas bahwa paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis, makna karya sastra terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya, (Sugiharto, 2000).
Barthes-lah yang membuat karya sastra memperoleh kekuatan baru, memperoleh kebebasan, khususnya dari segi penafsiran pembaca. Klimaks pemikiran ini dikemukakan dalam tulisannya yang berjudul The Pleasure of The Text (1973), dengan membedakan teks menjadi dua macam, yaitu: teks pleasure (plaisir) dan teks bliss (jouissance), (Anonim, 2012).
2)      Ajaran Filsafat Roland Barthes (1915-1980)
Ajaran Roland Barthes yaitu seperti pada karyanya The Pleasure of The Text (1973), bahwa dengan adanya kebebasan yang dimilikinya, maka pembaca akan merasakan kenikmatan (pleasure) dan kebahagiaan (bliss), yang seolah-olah mirip dengan kenikmtan seksual (orgasme). Meskipun demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca teks memilikia arti yang lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan estetis.
Teks pleasure menyajikan kesenangan berupa pengetahuan, kepercayaan, dan harapan, sedangkan teks bliss justru menyajikan semacam kehilangan, keputusasaan, dan kegelisahan. Teks pleasure merupakan milik kebudayaan tertentu, sebaliknya teks bliss tidak memiliki asumsi historis, kebudayaan, dan psikologis. Teks pleasure menyajikan kesesuaian hubungan antara pembaca dengan medium yang relatif stabil, teks bliss justru merupakan krisis (Muntansyir, at, all. 2004).
Contoh teks pleasure yaitu membaca sebuah buku seperti buku pelajaran akan menimbulkan pengetahuan sedangkan teks bliss seperti buku- buku novel atau cerita rakyat yang  menimbulkan suatu asumsi historis (sejarah) seperti cerita Malin Kundang, (Anonim, 2012).
f.        Umberto Eco
1)      Riwayat Umberto Eco
Eco adalah seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan jurnalis, lahir di Piedmont, Italia (1932). Di samping itu ia juga mendalami estetika dan filsafat abad pertengahan yang kemudian diterbitkan daam bukunya yang berjudul Art and beauty in the Middle Ages.
Dua buah novelnya yang terkenal berjudul The Name of the Rose dan Foucault Pendulum. Sebagai ahli semiotika ia menghasilkan dua buah buku yaitu A Theory of Semiotics (1976) dan Semiotics and the Philosophy of Language (1984), (Hadiwijono, H. 1980).
Karya –karya Umberto Eco  yaitu membuat buku yang berjudul Art and beauty in the Middle Ages. Dua buah novelnya yang terkenal berjudul The Name of the Rose dan Foucault Pendulum. Sebagai ahli semiotika ia menghasilkan dua buah buku yaitu A Theory of Semiotics (1976) dan Semiotics and the Philosophy of Language (1984).
Secara eksplisit A Theory of  Semiotics mendeskripsikan teori semiotika umum yang terdiri atas teori kode dan teori produksi tanda, sebagai perbedaan antara kaidah dan proses atau antara potensi dan tindakan menurut Aristoteles. Salah satu tema yang dikemukakan dalam Semiotics and the Philosophy of language adalah perbedaan  antara struktur kamus dengan ensiklopedia.
Kamus dianggap sebagai pohon porphyrian (model, definisi, terstruktur melalui genre, spesies, dan pembaca) sebaliknya, ensiklopedia merupakan jaringan tanpa pusat. Kamus bermakna tetapi cakupannya terbatas, atau cakupannya tak terbatas tetapi tidak mampu memberikan makna tertentu. Ensiklopedia sejajar dengan jaringan rhizomatic. Strukturnya mirip dengan peta, bukan pohon yang tersusun secara hierarkhis (Anonim, 2012).
2)      Ajaran Filsafat Postmodernisme Umberto Eco
Sebagai ilmu yang imperial, memiliki ruang lingkup hampir seluruh bidang kehidupan, maka Eco membedakan semiotika menjadi 18 bidang, termasuk estetika. Menurut Eco, semua bidang dapat dikenal sebagai kode sejauh mengungkapkan fungsi estetik setiap unsurnya. Sama dengan Pierce, esensi tanda adalah kesanggupannya dalam mewakili suatu tanda. Setiap kode memiliki konteks, sebagai konteks sosiokultural.
Oleh karena itulah, teori tanda harus mampu menjelaskan mengapa sebuah tanda memiliki banyak makna, dan akhirnya bagaimana makna-makna baru bisa terbentuk. Dalam hubungan inilah dibedakan dua unsur, pertama, unsur yang dapat disesuaikan atau diramalkan oleh kode, seperti simbol dalam pengertian Pierce. Kedua, adalah unsur yang tidak bisa disesuaikan dengan mudah, misalnya, ikon dalam pengertian Pierce. Unsur pertama disebut rasio facilis, sedangkan unsur yang kedua disebut rasio defacilis. Oleh karena itu, menurut Eco, proses pembentukan tanda harus dilakukan melalui sejumlah tahapan, yaitu:
a.       kerja fisik,
b.      pengenalan,
c.       penampilan,
d.      replika, dan
e.       penemuan,
            Contoh tanda silang ( ) memiliki banyak arti dan makna yaitu bisa dijabarkan dengan sebagai simbol perkalian dalam Matematika, tanda silang jawaban salah, atau tanda bahya/ larangan di makanan,  minuman dan obat, (Abidin, 2006:35).
            Ajaran filsafat posmodernisme tentang manusia sebetulnya hampir mirip sama dengan filsafat strukturalisme. Kedua aliran ini boleh disebut anti-humanisme, jika humanisme dipahami sebagai pengakuan atas keberadaan dan dominasi “aku” yang terlepas atau independen dari sistem situasi atau kondisi yang mengitari hidupnya. Faktanya tidak ada dan tidak mungkin ada “aku” atau “ego” yang unik dan mandiri, karena ia selalu hidup di dalam, dan ditentukan oleh, sejarah dan situasi sosial budaya yang mengungkapnya, (Abidin, 2006:35).
            Akan tetapi Posmodernisme masuk kedalam aspek- aspek kehidupan manusia yang lebih beragam dan aktual. Para Posmodernis menentang bukan hanya dominasi (aku) yang seolah- olah bebas dan mampu melepaskan diri dari sistem sosial budayanya, tetapi menafikan dominasi sistem sosial, budaya, politik, kesenian, ekonomi, arsitektur, dan bahkan gender yang bersifat timpang dan menyeragamkan umat manusia, (Abidin, 2003:288).
            Menurut pandangan posmodernis, telah terjadi dominasi atau “kolonialisasi yang halus dan diam- diam” dalam semua aspek kehidupan manusia. “Pelakunya” adalah sistem- sistem besar yang bersifat tunggal (the One) terhadap sistem- sistem kecil yang bersifat jamak (the Plurals). The One identik dengan Kebudayaan Barat, sedangkan The Plurals dengan Kebudayan Timur.
            Misalnya saja dominasi nilai kesenian Barat yang dianggap adi luhung terhadap kesenian yang berasal dari bangsa- bangsa timur dan/atau negara- negara berkembang: Hanya musik klasik dari Bach, Beethoven, Mozart, misalnya yang layak disebut indah (bernilai seni tinggi), sedangkan musik- musik tradisional seperti angklung, dangdut, gamelan dianggap tidak indah atau kampungan (bernilai seni rendah), (Abidin, 2006: 35-36).
            Para Posmodernis menentang dominasi nilai- nilai yang demikian Melalui proyek dekonstruksi, mereka coba menunjukkan betapa rapuh dan lemahnya the One dan betapa penting dan berharganya the Plurals sehingga tidak bisa meremehkan yang satu oleh yang lain. Menurut Posmodernis, the Plurals harus diperhatikan, diungkap ke permukaan, karena memiliki nilai yang penting yang tidak bisa diukur oleh nilai- nilai yang terkandung dalam the One, (Abidin, 2006: 36).
3.      Latar Belakang Lahirnya Posmodernisme
Pada tahun 1970-an Jean Francois Lyotard lewat karyanya The Postmodern Condition: A Report and Knowlage menolak ide dasar filsafat modern. Menurut Lyotard, aliran modernism dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative (cerita-cerita besar) dari kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal. Lyotard menolak keras bentuk metanarasi, dan tidak percaya adanya kebenaran tunggal yang universal, sebab menurutnya kebenaran adalah kebenaran (Aceng dkk. 2011: 94).
Charles Jencks dengan bukunya “The Language of Postmodern” . Architecture (1975) menyebut postmodern sebagai upaya untuk mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu gaya. Pada sore hari di bulan juli 1972, bangunan yang mana melambangkan kemodernisasian di ledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini menandai kematian modern dan menandakan kelahiran posrmodern.
Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam modern tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal modern. Postmodern ini merupakan sebuah kritik atas realitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek  pencerahan. Nafas utama dari posmodern adalah penolakan atas narasi- narasi besar yang muncul pada dunia modern dengan ketunggalan gangguan terhadap akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar dan beraneka ragam untuk untuk bersuara dan menampakkan dirinya ( Ernest, G. 1994).
The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa Modernitas. Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berpikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berpikir akibat ketidakjelasan akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak  pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal memiliki cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness, progress dan iberty, (Muzairi, 2009).
Semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat. Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal pengetahuan berhasil terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan, (Muzairi, 2009).
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan atau realita adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari konstruk sosial, kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan.
Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah manusia.Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat dan menikmati hidup. Di masa lampau, ketika hanya ada alat-alat tradisional yang kurang efektif, semua orang mengharapkan teknologi canggih akan memperingan tugas manusia sehingga seseorang dapat menikmati waktu senggang.
Saat ini, teknologi telah berhasil menciptakan alat-alat yang memudahkan kerja manusia. Seharusnya, semua orang lebih senggang dibanding dulu, tetapi kenyataannya, justru semua orang lebih sibuk dibanding dulu. Teknologi instan yang ada saat ini justru menuntut pribadi-pribadi untuk lebih bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari efektifitas yang diciptakan. Ironis, (Budhy, 2001).
Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah postmodern muncul dan berkembang. Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, kanapa yang dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai, (Budhy, 2001).
Secara umum latar belakang lahirnya postmodernisme adalah sebagai berikut:
1)      Sebagai bentuk protes akan anggapan kurangnya ekspresi dalam aliran   modernisme;
2)      Karena terjadinya krisis kemanusiaan modern dalam aliran modernisme.
Sedangkan menurut Pauline Rosenau adalah:
a)      Modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya;
b)      Ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian;
c)      Ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
d)      Ada semacam keyakinan yang sesungguhnya tidak berdasar bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya, dan ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, serta kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e)      Ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu, (Anonim, 2012).
4.      Ajaran Pemikiran Filsafat Posmodernisme
Filsafat Posmodernisme tentang manusia sebetulnya hampir mirip sama dengan filsafat strukturalisme. Kedua aliran ini boleh disebut anti-humanisme, jika humanisme dipahami sebagai pengakuan atas keberadaan dan dominasi “aku” yang terlepas atau independen dari sistem situasi atau kondisi yang mengitari hidupnya. Faktanya tidak ada dan tidak mungkin ada “aku” atau “ego” yang unik dan mandiri, karena ia selalu hidup di dalam, dan ditentukan oleh, sejarah dan situasi sosial budaya yang mengungkapnya, (Abidin, 2006:35).
Akan tetapi Posmodernisme masuk kedalam aspek- aspek kehidupan manusia yang lebih beragam dan aktual. Para Posmodernis menentang bukan hanya dominasi (aku) yang seolah- olah bebas dan mampu melepaskan diri dari sistem sosial budayanya, tetapi menafikan dominasi sistem sosial, budaya, politik, kesenian, ekonomi, arsitektur, dan bahkan gender yang bersifat timpang dan menyeragamkan umat manusia, (Abidin, 2003:288).
Menurut pandangan posmodernis, telah terjadi dominasi atau “kolonialisasi yang halus dan diam- diam” dalam semua aspek kehidupan manusia. “Pelakunya” adalah sistem- sistem besar yang bersifat tunggal (the One) terhadap sistem- sistem kecil yang bersifat jamak (the Plurals). The One identik dengan Kebudayaan Barat, sedangkan The Plurals dengan Kebudayan Timur.
Misalnya saja dominasi nilai kesenian Barat yang dianggap adi luhung terhadap kesenian yang berasal dari bangsa- bangsa timur dan/atau negara- negara berkembang: Hanya musik klasik dari Bach, Beethoven, Mozart, misalnya yang layak disebut indah (bernilai seni tinggi), sedangkan musik- musik tradisional seperti angklung, dangdut, gamelan dianggap tidak indah atau kampungan (bernilai seni rendah) (Abidin, 2006: 35-36).
Para Posmodernis menentang dominasi nilai- nilai yang demikian Melalui proyek dekonstruksi, mereka coba menunjukkan betapa rapuh dan lemahnya the One dan betapa penting dan berharganya the Plurals sehingga tidak bisa meremehkan yang satu oleh yang lain. Menurut Posmodernis, the Plurals harus diperhatikan, diungkap ke permukaan, karena memiliki nilai yang penting yang tidak bisa diukur oleh nilai- nilai yang terkandung dalam the One (Abidin,2006: 36).
5.      Sumbangan Filsafat Posmodernisme Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahan Masakini
a.      Postmodern Dalam Bidang Agama
Sumbangsih postmodernisme bagi agama, yakni paradigma berpikir dancara beragama yang baru, manusia mempunyai hubungan dengan realitas tertinggi yakni Allah. Sebab, modernisme melupakan sisi manusia yang lainyakni kesadaran akan kekuatan yang diluar dirinya.Identitas manusia, ditentukan oleh dimensi hubungannya dengan Tuhan dan hubungannya dengan sesama.
Dalam hal ini agama dan sains bekerja sama dalam membangun dan membuat manusia sejahtera. Manusia seharusnya menghargai nilai-nilai kemanusiaan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi berdasakan kemanusiaan sehingga nyata damai dan sejahtera bagi kehidupan manusia, manusia membutuhkan kepastian dari agama dipegang orang sebab pertanyaan yang selalu diperhadapkan kepada manusia dari manakah hakikat asalanya dan kemana akan pergi.
Kepastian yang dinyatakan melalui pernyataan-pernyataan kitab suci dan simbol-simbol memperkuat keyakinan orang akan apa yang dipegangnya untuk menyatakan kesejahteraan dan kedamaian bukan peperangan karena kebenaran, penekanan saat ini adalah bagaimana hidup berdampingan untuk menyatakan kerajaan Allah yakni kehidupan tanpa penindasan dan kekerasan.
Lihatlah kepada Yesus manusia yang sempurna tanpa dosa, di mana Ia menjaga hubungan yang akrab dengan sesama dan Allah dan telah mengorbankan diri-Nya sebagai rasa solidaritas-Nya atas keadaan manusia melalui salib, hubungan manusia dan sesama pulih, serta hubungan manusia dengan Allah, (Hadiwijono, H. 1980).
b.      Postmodern Dalam Bidang Ilmu Pengetahuan
Sumbangsih filsafat postmodernisme terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi di jelaskan oleh Toffler yang manggambarkan peradaban pasca-modern itu sebagai datangnya industri-industri baru yang didasarkan padakomputer, elektronik, informasi, bioteknologi.
Ini memungkinkan pabrikasi yang fleksibel, pasar lokal, meluasnya pekerjaan paruh-waktu, dan de-masivisasi media, dan mengambarkan fusi baru antara produser dan konsumer danterbentuknya apa yang disebut sebagai prosumer. Ini menggambarkan pergeseran pekerjaan ke rumah dan perubahan-perubahan dalam bidang politik dan sistem pemerintahan (Muntansyir dkk,  2004).
c.       Postmodern Dalam Bidang Seni
Arsitektur modern tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti Clement Greenberg menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya seni sebelumnya. Kaum modern menemukan identitas dirinya dengan membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya. Dengan cara ini, para seniman modern mengatakan bahwa hasil karya seni mereka bersifat "murni" (orisinal). Kecenderungan modern dalam bidang seni sama dengan bidang arsitektur, yaitu:"univalence". Sebaliknya seni postmodern berangkat dengan kesadaran adanya hubungan erat antara miliknya dan milik orang lain. Karena itulah, seni postmodern menganut keanekaragaman gaya atau "multivalence", (Jalaluddin, R. 1998).
Kalau modern menyukai "murni." maka postmodern menyukai "tidak murni." Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif dan sempit tetapi berbauran (sintetis). Karya seni tersebut dengan bebas memasukkan berbagai macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada. Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal dan utuh. Justru yang hendak dicapai adalah keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaanelemen, penafsiran, dan respons. Banyak seniman postmodern menggabungkan keanekaragaman dengan teknik pencampuradukan.
Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai adalah "collage". Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang campur") menegaskan collage sebagai bentuk utama dari wacana postmodern. Perlahannamun pasti, "collage" menarik para pecinta seni ke dalam makna yang dihasilkan "collage" tersebut. Karena " collage " bersifat heterogen, maka makna yang dihasilkannya tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik para pecinta seni untuk selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya (Muzairi, 2009).
d.      Postmodern Dalam Bidang Teater
Teater adalah wujud penolakan postmodern terhadap modern yang paling jelas. Kaum modern melihat jelas sebuah karya seni sebagai karya yang tidak terikat waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi waktu. Etos postmodern menyukai tragedi, dan tragedi selalu ada dalam setiap karya seni. Kaum postmodern melihat hidup ini seperti sebuah kumpulan cerita sandiwara yang terpotong- potong.
Maka teater adalah sarana terbaik untuk menggambarkan tragedi dan pertunjukan. Teater postmodern menampilkan usulan-usulan para ahli di atas. Mereka membuat berbagai elemen dalam teater, seperti suara, cahaya, musik, bahasa, latar belakang, dan gerakan saling berbenturan. Dengan demikian, teater  postmodern sedang menggunakan teori tertentu yang disebut dengan estetika ketiadaan (berbeda dengan estetika kehadiran), (Muzairi, 2009).
Teori estetika ketiadaan menolak adanya konsep kebenaran yang mendasari dan mewarnai setiap penampilan. Yang ada dalam setia penampilan adalah kekosongan ("empty presence"). Seperti etos postmodern, makna sebuah penampilan hanya bersifat sementara, tergantung dari situasi dan konteksnya. Postmodern dalam bidang tulisan-tulisan fiksi seperti gaya postmodern umumnya, tulisan fiksi postmodern menggunakan teknik pencampuradukan.
Beberapa penulis mengambil elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk menyampaikan suatu ironi mengenai topik-topik yang biasa dibahas. Bahkan beberapa penulis lainnnya mencampurkan kejadian nyata dan khayalan. Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut (Muzairi, 2009).
Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh khayalan dengan segala perilakunya. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh khayalan itu adalah tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah manusia. Beberapa penulis postmodern mencampuradukkan yang nyata dan yang khayal dengan menyisipkan diri mereka ke dalam cerita itu. Bahkan mereka punturut membicarakan berbagai masalah dan proses yang diceritakannya.
Melalui ini, sang penulis mencampurkan yang nyata dan yang fiksi. Teknik ini menekankan hubungan yang erat antara penulis dan tulisan fiksinya. Teknik  pencampuradukan ini digunakan untuk menunjukkan sikap anti- modernisme. Tujuan para penulis modern adalah memperoleh makna tunggal. Sebaliknya, kaum postmodern ingin mengetahui bagaimana kenyataan-kenyataan yang amat berbeda, dapat berjalan dan saling bercampur (Sugiharto, 2000).
e.       Postmodernisme Dalam Bidang Pendidikan
Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai dewa dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat.
Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah, (Sugiharto, 2000).
Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya dalam melakukan  transfer of value (transformasi nilai) serta transfer of  knowledge (transformasi pengetahuan).
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan  kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern. Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan ( Sugiharto, 2000).
f.        Postmodernisme Dalam Budaya
Sebuah fenomena dalam budaya pop keterbukaan kepada etos postmodern melalui budaya pop adalah ciri khas postmodern. Ciri khas lainnya adalah tidak mau menempatkan "seni klasik tinggi" di atas budaya "pop." Postmodern unik karena ia menjangkau bukankelas elite tetapi kelas masyarakat biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop dan media massa.
Hasil karya postmodern juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengansebuah bahasa dan menggunakan elemen-elemen yang dapat diterima olehorang-orang awam ataupun seniman dan arsitek handal. Dengan cara demikian, postmodernisme berhasil menyatukan dua alam yang berbeda, yaitu profesional dan populer, (Muzairi, 2009:242).
g.      Pembuatan Film Sebagai Dasar Pijakan Budaya Postmodern
Perkembangan teknologi membantu penyebaran postmodern ke dalam sisi-sisi penting dan budaya pop. Salah satu sisi terpenting adalah industri film. Teknologi pembuatan film sangat cocok dengan etos postmodern, yakni: film menggambarkan yang tidak ada menjadi seolah-olah ada. Sekilas lalu, film adalah sebuah cerita utuh yang ditampilkan oleh para aktor dan aktris. Kenyataannya, film adalah rekayasa teknologi dengan bantuan ahli-ahli spesialis dari berbagai bidang yang tidak jarang kelihatan dalam film. Adanya kesatuan dalam sebuah film sebenarnya adalah ilusi, (Sugiharto, 2000).
Film berbeda dengan teater. Film tidak pernah berisi penampilan sekelompok aktor/aktris sekaligus secara utuh dan berkesinambungan. Apa yang penonton lihat "berkesinambungan" adalah semacam sisa dari berbagai adegan dalam proses pembuatan film itu sendiri, yang tidak saling berhubungan baik secara waktu maupun tempat. Alur cerita sebuah film hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berhubungan"atau "berkesinambungan" sebenarnya hanyalah kumpulan adegan yang diambil pada waktu dan tempat yang berbeda-beda.
Alur sebuah film yang kita lihat,ternyata tidak seperti demikian alurnya pada waktu film berada dalam proses pembuatan tersebut. Yang menyatukan adegan-adegan yang terpecah-pecah itu adalah seorang editor. Dialah yang menyambungkan adegan-adegan yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Kemampuan seorang sutradara menggabungkan berbagai potongan menjadi sebuah film yang utuh, memungkinkannya untuk melenyapkan perbedaan antara kebenaran dan dongeng, kenyataan dan khayalan. Sutradara-sutradara postmodern menggunakan kesempatan ini untuk mewujudnyatakan etos postmodern, (Sugiharto, 2000).
h.      Televisi Dan Penyebaran Budaya Postmodern
Televisi merupakan sarana yang lebih efisien untuk menyebarkan etos postmodern ke seluruh lapisan masyarakat. Karena inilah televisi telah menjadi kriteria untuk membedakan yang nyata dan tidak. Televisi mampu menayangkan fakta secara langsung dan mampu menyebutkan produksi-produksi film. Kemampuan ganda demikian membuat televisi memiliki kekuatan yang unik. Ia mampu mencampurkan "kebenaran" (apa yang orang banyak anggap sebagai kejadian nyata) dengan "fiksi" (apa yang orang banyak anggap sebagai khayalan yang tidak pernah terjadi dalam kenyataan).
Televisi mencampuradukkan masa lalu dan masa kini, yang jauh dan yangdekat, segala sesuatunya dibawa menjadi kini dan di sini, di hadapan pemirsa televisi. Dengan cara ini, televisi memperlihatkan dua ciri khas postmodern: menghapus batas antara masa lalu dan masa kini, dan menempatkan pemirsa dalam ketegangan terus-menerus, (Sugiharto, 2000).

i.        Sumbangsih Posmodern kepada negara-negara berkernbang
1)      Memberi kesempatan negara berkembang untuk maju sederajat dengan negara-negara maju;
2)      Dalam percaturan politik dunia, menjadi penseimbang politik dan memiliki HAM yang sama seperti yang tertuang dalam Human Right Declaration;
3)      Dengan faham bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, maka ada kesempatan untuk saling berbagi dalam semua aspek hidup termasuk agama;
4)      Belajar menjadi dewasa dalam berpikir, bersuara dan memberikan pendapat;
5)      Belajar menghargai pendapat sesama yang berbeda;
6)      Tidak lagi mengejar yang bersifat struktural oleh karena sudah berada dalam era poststruktural;
7)      Yang menjadi tekanan dalam dunia pastoral adalah mengajar sesama untuk menjadi dewasa dan dapat menolong dirinya sendiri;
8)      Tetap menekankan kepada kebebasan yang bertanggung jawab;
9)      Setiap orang ditantang untuk mempersiapkan diri memasuki hari tua agar tetap bisa berprestasi karena terjadinya kesejangan antara orang tua dan muda;
10)  Perlu dipikirkan sebuah cara atau kegiatan pastoral untuk mengembalikan keharmonisan keluarga;
11)  Ketakutan memasuki hari tua hanya dapat diatasi melalui sebuah keyakinan bahwa hari tua adalah hari yang indah dan ketika menjadi tuapun masih bisa berprestasi;
12)  Tuhan akan menyertai sampai akhir hayat manusia;
13)  Dunia ini harus dikembalikan kepada pemilik-Nya yaitu Allah
14)  Tugas manusia adalah memelihara ciptaan Tuhan dalam konteks memelihara lingkungan hidup secara bertanggung jawab;
15)  Karakter perorangan harus menjadi satu dalam karakter komunitas;
16)  Dalarn konteks dunia semacam ini komunikasi atau pemberitaan Firman harus disampaikan secara holisiik dan dilakukan meialui kehadiran orang-orang beragama di tengah masyarakat;
17)  Dampak positif dan negatif yang dihasiikan oleh gerakan postmodern masih dapat dikelola dengan wajar;
18)  Ternyata postmodern bukan sesuatu yang menakutkan dan harus ditolak, tetapi harus diterima secara kritis;
19)  Posmodern lebih bersifat kebudayaan dari pada pergerakan, (Anonim, 2012).
B.   Keunggulan dan Kekurangan Filsafat Posmodernisme
1.      Keunggulan Lahirnya Filsafat Posmodernisme
a.       Pengingkaran atas semua jenis ideology. Konsep berfilsafat dalam era postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis fondasi pemikiran. Mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk fondasi pemikiran filsafat tertentu.
b.      Menggantikan  peran cerita-cerita besar menuju cerita-cerita kecil,  dimana aliran modernism dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative dari kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal, dialektika roh, emansipasi subjek yang rasional, dan sebagainya.
c.       Aliran ini tidak meniru sesuatu yang ada (pemikiran) tetapimenggunakan sesuatu yang sudah ada dengan gaya baru. 
d.      Adanya kediktatoran pemaknaan
e.       Kebebasan beragama merupakan jaminan terhadap martabat manusia yang terpenting.
f.       Adanya teknologi canggih (kedokteran, ilmu pengetahuan) yang berkembang di zaman sekarang akibat pengaruh dari kebudayaan barat
g.       Pengakuan  the Plurals harus diperhatikan, diungkap ke permukaan, karena memiliki nilai yang penting yang tidak bisa diukur oleh nilai- nilai yang terkandung dalam the One, (Anonim, 2012).
Dalam perkembangan selanjutnya, maka dekonstruksi yang semula dikaitkan dengan narasi- narasi metafisika itu kemudian diperluas penerapannya, baik oleh Derrida sendiri maupun oleh para Posmodernis lainnya, pada bidang yang lebih luas, yakni pada setiap gejala (budaya, politik, sosial, arsitektur, gender dll) atau peristiwa (sejarah) apapun.
Akan tetapi maknanya tidak berubah, yakni masih tetap sebagai suatu cara untuk menemukan dan mengungkap ke permukaan apa yang semula tidak atau kurang diperhatikan oleh modernisme. Dengan perkataan lain dekonstruksi adalah usaha kaum Posmodernis untuk menemukan dan menjadikan penting apa yang semula tidak penting, atau hanya dianggap sebagai The Others, oleh Modernisme (Abidin, 2003:228).
2.      Kekurangan Filsafat Posmodernisme
a.       Postmodernisme tidak memiliki asas-asa yang jelas (universal dan permanen). Bagaimana mungkin akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan landasannya? Jika jawaban mereka positif, jelas sekali hal itu bertentangan dengan pernyataan mereka sendiri, sebagaimana postmodernisme selalu menekankan untuk mengingkari bahkan menentang hal-hal yang bersifat universal dan permanen.
b.      Segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbaharui premis-premis modern di sana-sini saja. Ini dimaksudkan lebih merupakan "kritik imanen" terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi negatifnya. Misalnya, mereka tidak menolak sains pada dirinya sendiri, melainkan hanya sains sebagai ideologi dan scientism saja di mana kebenaran ilmiahlah yang dianggap kebenaran yang paling sahih dan meyakinkan.
c.       Pemikiran-pemikiran yang terkait erat pada dunia sastra dan banyak  berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang paling populer dan digemari oleh kelompok ini adalah "dekontruksi".
d.      Posmodernisme, buta terhadap kenyataan bahwa narasi kecil mengandung banyak kebutuhan.
e.       Posmodernisme tidak membedakan antara idiologi di satu pihak, dan prinsip-prinsip universal etika terbuka di lain pihak.
f.       Posmodernisme menuntut untuk menyingkirkan narasi-narasi besar demi narasi-narasi kecil, padahal narasi-narasi kecil sendiri merupakan narasi besar dengan klaim universal, (Anonim, 2012).
Oleh karena itu dalam kekurangannya posmodernisme haruslah paham dalam narasi kecil yaitu menghargai budaya tradisional, supaya budaya tradisonal ini mampu bersiang di negara maju dan sederajat.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar