Jumat, 18 September 2015

FILSAFAT ISLAM



BAB V
FILSAFAT ISLAM

A.       FILSAFAT ISLAM

1.      Faktor Yang Mendorong Timbulnya Filsafat Di Dunia Islam
a.    Faktor Internal
Perkembangan masyarakat Islam sepeninggal Rasulullah SAW sangat pesat sekali. Pesatnya  perkembangan itu juga diikuti dengan masalah-masalah keagamaan yang menyertai. Jika dahulu dimasa kepemimpinan Rasulullah dengan mudah memecahkan segala permasalah yang terjadi pada ummat Islam, karena selain wahyu yang pada saat itu masih diturunkan,  ijtihad Rasulpun adalah sangat terjamin keshahihannya karena beliau adalah manusia yang terjaga dari kesalahan (Tafsir, 1990 : 208).
Faktor internal pendorong tumbuhnya filsafat di dunia Islam adalah pengaruh dari Al-Quran dan hadits yang memotivasi umat Islam berfikir tentang diri manusia, hewan dan alam semesta serta meneliti terhadap apa saja yang ada di dalam alam ini. Al-qur’an sendiri merupakan salah satu jawaban dimana Al’quran menghargai akal dan hati. Sedangkan kitab suci kristen memang tidak memberi tempat bagi penggunaan akal.
Akal dan hati (iman) memang terjadi juga didalam Islam tetapi tidak sehebat di barat. Di timur filosof dan sufi sama-sama beriman, di barat filosof ada yang mengambil paham materialisme dan atau ateisme. Didalam Islam perbedaan antara filosof dan sufi hanyalah perbedaan visi dalam menafsirkan kitab suci. Orang-orang filsafat umumnya menggunakan takwil, tetapi kearah rasa. Perkembangan itu tidak menyebabkan gejolak yang berarti didalam Islam (Tafsir, 1990 : 208).



b.    Faktor Eksternal
Faktor eksternal sebagai motivasi tumbuhnya filsafat di dunia Islam, yaitu
warisan filsafat Yunani kuno, dan yang paling dominan warisan filsafat Yunani klasik, misalnya pemikiran plato (rasionalisme) dan Aristoteles (empirisme). Filsafat Yunani banyak mempengaruhi perkembangan filsafat sains dalam Islam. Filsafat dan sains Yunani mulai bertkembang sejak kurang lebih tahun 600 SM. Pada masa Aristoteles (384-322 SM), jadi kira-kira hanya 300 tahun sejak Thales, filsafat dan sains sudah berkembang pesat, baik objek bahasan maupun kedalamannya. Islam lahir pada tahun 600-an.
Filsafat dalam Islam berkembang secara intensif sejak tahun 800-an. Plato (477 SM-347 SM), Ia seorang filsuf Yunani terkenal, gurunya Aristoteles, ia sendiri berguru kepada Socrates. Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles (381SM-322SM), mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (Ahmadi, 2001: 2).
Masuknya filsafat dan sains Yunani kedalam islam lebih banyak terjadi melalui Irak dibandingkan dengan melalui daerah-daerah lain. Disanalah timbulnya gerakan penerjemahan karya-karya Yunani kedalam bahas Arab, atas dorongan khalifah Al-Manshur, kemudian khalifah Harun Al-Rasyid, dilanjut oleh putranya, khalifah Al-Ma’mun.
Bait Al-Hikmah didirikannya selain sebagai pusat penerjemahan, masjid juga menjadi pusat pengembangan filsafat dan sains yang ditinggalkan oleh Yunani tadi. Selain itu, buku-buku Yunani, buku-buku Parsi dan India yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Dari India terutama diambil astronomi dan matematika, dari Persia diambil sastra dan seni. Gerakan penerjemahan ini terjadi dari tahun 750 sampai tahun 900 M.
Didalam perkembangan filsafat dan sains itu pengaruh yang terbesar memang berasal dari Yunani. Pengaruh dari asli Persi dan India hanya sedikit. Dalam pengembangan sains dan filsafat itu, jasa orang islam sekurang-kurangnya ada tiga yaitu menerjemahkan, membuat komentar sehingga karya Yunani itu lebih mudah dipahami, dan menambahkan beberapa hal baru, termasuk koreksi-koreksi. Karya-karya itu tresebar ke barat melalui berbagai jalur, namun yang paling utama ialah jalur Cordova.  (Tafsir, 1990: 211)
2.      Sumber Filsafat Islam suatu Pendekatan Holistik
a.    Wahyu
Kata al-wahy yang berarti suara, kecepatan,  api, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab adalah kata arab asli, bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Selanjutnya al-wahy mengandung arti pemberitahuan secara tersebunyi dan dengan cepat. Namun arti yang paling terkenal adalah “apa yang disampaikan  Tuhan  kepada nabi-nabi”. Yakni sabda Tuhan yang disampaikan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada manusia untuk dijadikan pegangan  hidup (Nasution, 1992: 15).
Menurut istilah syariat, wahyu adalah risalah samawi (langit) yang diberikan kepada seorang nabi yang dipilih dari hamba-hamba Allah, agar ia berbuat dengannya dan menyampaikannya kepada kaum di mana ia diutus. Berdasarkan pengertian tersebut wahyu ada bermacam macam. Terkadang berarti ungkapan tentang penyampaian makna ke dalam jiwa dan hati; dan berarti pula pembicaraan di balik tabir.
Al-Qur'an menjelaskan macam-macam wahyu ini di dalam ayat: Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di balik tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. (Qs. AI-Syura: 51), (Hatta, 1982: 37).
Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan. Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi, hal tersebut sesuai dengan Firman Allah sebagai berikut :
Dan tidak bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang ututsan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa dia kehendaki” (QS 42:51).
Sementara itu manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Sedangkan para filosofis sendiri percaya bahwa manusia yang memiliki kemampuan meraih ilmu langsung semacam itu adalah mereka yang dianugerahi Allah dengan Quwwah qudsiyah.
Posisi wahyu dalam Islam sangatlah sentral. Berdasarkan kondisi historis maupun normatif, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasar relasi antara manusia dengan realitas transenden yang diyakininya. Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dengan Tuhannya. Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan”.
Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Atas dasar asumsi inilah, tulisan ini bermaksud mengkaji dimensi-dimensi filsafat dalam wahyu. (Hatta, 1982: 37)
Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan. Kedua aliran ini dengan sendirinya secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber pengetahuan.
Islam sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak memihak atau menolak salah satu aliran itu secara ekstrim. Bahkan, Islam menawarkan satu konsep epistemologi moderat yang sering disebut sebagai epistemologi relasional. Konsep ini bermaksud menggabungkan akal, pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan pola yang tidak pernah putus.
Wahyu sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan kemanusiaan, lahir dalam satu kondisi historitas tertentu. Tesis ini juga dengan sangat optimis dipegang oleh Thaha Hussein yang membagi wahyu kepada dua dimensi: the first massage di satu sisi, dan the second massage, di sisi lain. Semua penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi persoalan kemanusiaan.
Intervensi akal menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam menerjemahkan "kemauan" wahyu yang seringkali atau bahkan selalu turun dengan rumusan-rumusan bahasa langit. Intervensi akal kemanusiaan inilah yang menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitas historis yang dihadapi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri peperangan kelompok Ali dan Mu'awiyah, yang kemudian diselewengkan oleh Muawiyah sebagai bentuk penyerahan kekuasaan oleh Ali kepadanya, menjadi satu bukti historis bahwa wahyu sangat terbuka terhadap interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu menyesatkan. Itulah al-Qur'an, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia menafsirkannya, (Tafsir,1990: 209-210).
Apabila mengingat sejarah filsafat di abad pertengahan, maka yang jelas teringat pertama adalah dominannya eksistensi agama dibandingkan akal, hal ini dikarenakan pada zaman tersebut dahsyatnya gerakan para bapak biarawan (tokoh kristiani) yang menjadikan faham bahwa tingkatan intuisi adalah tingkatan tertinggi dibandingkan akal. Hal tersebut berdasarkan wahyu yang mereka dapat yakni berupa kitab suci mereka yang mana tidak memberikan tempat terhadak keberadaan akal.
Namun berbeda dengan kitab sucu kristen, al-Qur’anul Kariim adalah kitab suci yang di turunkan pada nabi Muhammad sebagai Wahyu penuntun ummat ini sangat menghargai akal.
الَذِيْنَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَذِيْنَ هَدَاهُمُ الله ُوَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو اْلأَلْبَابِ (الزمر. ۱۸)
“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Az Zumar: 18)
Hal ini juga dapat dibuktikan dengan banyaknya kata-kata “aql” yang berarti “berpikir” yang dapat di temukan dalam Al-Qur’an, (Tafsir,1990: 209-210) :

Surat
Lafadz
Ayat
Qaf
Nadzaro
6-7
Al-Thariq
Nadzaro
5-7
Al-Ghasyiyah
Nadzaro
17-20
Shod
Tadabbaro
29
Muhammad
Tadabbaro
24
An-Nahl
Tafakkaro
68-69
Jatsiyah
Tafakkaro
12-13
Selain melihat dari sisi dimana Al-Qur’an memerintahkan penggunaan akal untuk berfikir bagi manusia, dalam al-Qur’an juga berlimpah berbagai sumber ilmu pengetahuan yang sangat tidak terbatas isinya, bahkan banyak sekali ilmuan tang mencoba menggali kajian ilmiah dalam al-Qur’an namun dalam satu firman saja para ilmuan mampu menghabiskan usia mereka hanya untuk mengkajinya akibat dari luasnya cakupan al-Qur’an dalam membahas pola dan segala unsur yang berkaitan dengan kehidupan di alam semesta ini (Tafsir,1990: 209-210).
b.    Akal
Akal sebagai sumber pengetahuan dengan indera, saling berhubungan. Akal budi tidak dapat menyerap sesuatu dan panca indera tidak memikirkan sesuatu. Bila keduanya bergabung maka timbullah pengetahuan. Menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi adalah kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Akal dan indera saling mengisi dalam memperoleh pengetahuan, akal berperan sebagai pengolah apa yang telah diserap oleh indera.
Aktivitas akal sebagai sumber pengetahuan disebut berpikir, berpikir merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya dimuka bumi ini. disini timbul masalah apakah berpikir itu? Secara umum maka setiap perkembangan ide dan konsep dan sebagainya disebut berpikir. Dimana seseorang berpikir sunguh-sungguh takkan membiarkan ide dan konsep yang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun ditujukan pada arah tertentu yaitu pengetahuan, (Nasution, 1986: 12).
Plato mengatakan, bahwa manusia masuk dalam dua dunia yaitu dunia pengalaman dan dunia ide (fungsi akal sebagai sumber pengetahuan). Segala yang ada di dunia ide sifatnya satu dalam macamnya tetapi tak berubah. Ide itu merupakan suatu yang sungguh­sungguh ada. Dalam pandangan Islam, akal berbeda dengan otak, perbedaan tersebut terletak pada pemikiran. Akal berbeda dengan otak, akal merupakan suatu daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal berarti ikatan antara pikiran dan perasaan serta kemauan. Kalau ikatan itu tidak ada maka tidaklah ada akal itu.
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat  dalam pendapat mereka  tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti  Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan  daya berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala (Nasution, 1986: 12).
Di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti  pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang  membuat  seseorang dapat  membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan tugas  moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri, (Nasution, 1986: 12).
Jadi dengan karunia akal, manusia berfikir, merenungkan dan berfikir tentang ke-Maha-anNya, yakni ke-Mahaan yang tidak tertandingi oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang dilengkapi potensi-potensi positif memungkinkan dirinya untuk meniru fungsi ke-Maha-an Nya, sebab dalam diri manusia terdapat fitrah  uluhiyah  atau fitrah suci yang selalu memproyeksikan kebaikan dan keindahan, sehingga tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan dzikir kepadaNya, berarti menjalankan fungsi  al- Quddus (Nasution, 1986: 97-111).
Ketika manusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi al-Ghoniyyu, dan demikian juga dengan sifat-sifat Allah lainnya. Pada tingkat ini, manusia dengan anugerah akal dan seperangkat potensi yang dimiliki, memungkinkannya menggapai dan memerankan fungsi-fungsi sebagai khalifah Allah di bumi.
Akal menjadikan landasan terhadap perkembangan sains dimana dengan kemampuan akal, sains akan semakin berkembang dan hal ini di dukung denganadanya berbagai firman Allah yang memerintahkan manusia untuk berfikir dengan akal dan memulyakannya dengan akal dari makhluk hidup lainnya. Akal juga melambangkan kekuatan manusia. Karena akalnyalah maka manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain di sekitarnya.
Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi kesanggupannya untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan makhluk lain itu. bertambah lemah kekuatan akal manusia bertambah rendah kesanggupannya menghadapai kekuatan-kekuatan lain tersebut  (Nasution, 1986: 97-111).
Ibn Rusyd memberikan perhatian terhadap tatanama akal itu, karena dia melihat bahwa akal manusia tidak berada pada satu tingkatan dalam menyerap sesuatu. Ada akal-akal yang menembus sampai jauh dan menyentuh benang-benang halus untuk mengikat segala sesuatu. Ada pula akal yang tidak mencapai tingkatan tersebut karena terikat dan terhenti pada sifat-sifat yang tampak dan gejala-gejala nyata saja.
Menurut pendapatnya di bawah kedua tingkatan akal tersebut ialah akal yang tidak mengetahui rahasia ikatan-ikatan yang tersembunyi atau yang tampak, kecuali hanya terhenti pada penerimaan kata-kata yang diungkap (resonan) dan kalimat-kaliinat retorik. Ibn Rusyd membagi akal manusia kepada tiga macam: Pertama, akal demonstratif (burhani) yang mampu memahami dalil-dalil yang meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting, dan melahirkan filsafat.
Akal ini hanya diberikan kepada sedikit orang saja. Kedua, akal. logik.(manthiqi) yang sekedar memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga, akal retorik (khithabi) yang hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat dan retorik, tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berfikir sistematik (Hamami, 1976 : 51).
Sejarah telah mencatat ada orang yang rela mati karena mempertahankan hasil dari kerja keras akalnya. Sokrates umpamanya. Ia berhasil merumuskan suatu pengetahuan universal demi melawan kaum sophis yang mengangkatkan issue relativitas ke hadapan pemuda terpelajar . Ia dituduh merusak pemikiran masyarakat dan dihukum mati, dan ia menerima meskipun kesempatan untuk lari ada. Mengapa ia berani? Masih, karena ia kuat. Dan mengapa ia kuat? Karena ia mempunyai akal, (Hamami, 1976 : 52).
c.    Indera
Indera sebagai sumber pengetahuan adalah pengetahuan yang diperoleh manusia melalui kelima inderanya, yakni mata, hidung, perasaan (kulit), telinga dan lidah. Pengetahuan inderawi juga disebut pengetahuan empiris. Dalam sejarah epistemologi barat tokohnya adalah Roger Bacon, John Locke, David Hume dan sejumlah pengikutnya.
Dalam aliran filsafat empirisme dijelaskan, bahwa inderalah yang merupakan satu-satunya instrumen yang dapat menghubungkan kita dengan alam. Tanpa indera, kemungkinan kita memandang alam ini tidak ada atau masih samar. Akal sebagai sumber pengetahuan, tanpa melalui panca indera tidak dapat diresapi. Hal ini sesuai apa yang dikatan John Locke, bahwa pada akal tidak ada sesuatu sebelum itu ada pada alat indera (Nasution, 1986: 14).
Melalui indera-indera eksternal dan intelek, manusia seharusnya lebih dekat dengan TuhanNya melalui adanya tanda-tanda Alam yang nyata. Hal-hal tersebut dapat dilihat dari bukti-bukti Illahi yang berbentuk fisik. Hal tersebut dapat dilihat dari firman Allah sebagai berikut :
Dialah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagianya menjadi minuman, dan sebagainya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dan menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman : zaitun, kurma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sesungguhya pada yang demikian itu ada tanda bagi kaum yang merenung (merefleksi)” (QS. 10: 10-11).
Pengetahuan yang bersumber dari indera, diperoleh manusia sebagai makhluk biotik, berkat inderanya ia mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik vital dan masuk dalam medan intensional, walaupun masih sangat sederhana. Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal yang konkrit material. Indera sebagai sumber pengetahuan bersifat parsial, disebabkan perbedaan indera satu dengan yang lain.
Namun pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan karena merupakan pintu gerbang pertama untuk pengetahuan yang utuh. Selanjutnya, untuk mengetahui jenis-jenis pengetahuan indera, perlu dijelaskan jenis-jenis indera yang dimiliki manusia. Manusia terdiri dari Jasmani dan Rohani, jasmani dalam tubuh manusia dilengkapi dengan faraj, hidung, mata, perasaan (kulit), perut, tangan dan telinga, (Nasution, 1986: 15).
Indera manusia terdiri dari indera dalam dan indera luar, keduanya mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Fungsi indera sebagai sumber pengetahuan terdiri dari :
1)      Indera bersama yang berfungsi untuk menerima kesan-kesan yang diperoleh panca indera luar dan diteruskan ke indera batin.
2)      Indera penggambar berfungsi untuk melepaskan kesan-kesan yang diteruskan ke indera bersama dari materinya.
3)      Indera perangka yang berfungsi mengatur gambar yang telah dilepaskan dari materi dengan memisah-misahkan dan meng­hubungkan satu sama lain.
4)      Indera penggarap yang bertugas menangkap arti yang dikandung gambaran-gambaran itu
5)      Indera pengikat yang berfungsi untuk menyimpan arti yang ditangkap oleh indera penggarap.
d.      Intuisi
Intuisi disebut juga sebagai ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun ia juga tidak terjadi kepada semua orang melainkan hanya jika seseorang itu sudah berfikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya fikirnya dan mengalami tekanan, lalu dia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, maka saat itulah intuisi berkemungkinan akan muncul (Utsmani, 1985: 5).
Secara etimologi, intuisi dalam bahasa Inggris intuition, berasal dari kata latin intueri dari dua kata in yang artinya pada dan tueri yang artinya melihat, yang memiliki pengertian sebagai daya atau kemapuan untuk memiliki pengetahuan segera dan lansung tentang sesuatu tanpa menggunakan rasio. atau dari kata inteurn yang artinya melihat seketika. Secara etimologis intuisi adalah sebuah doktrin kebenaran secara tiba-tiba tanpa konsistensi pemahaman. Intuisi adalah pemahaman yang tiba-tiba tantang sesuatu tanpa melalui proses pemahaman ataupun pembelajaran.
Dalam pandangan para sufi, ini adalah norma terkaji epistemoligis yang merupakan ilmu pengetahuan yang datang langsung dari Allah tanpa mekanisme pemahaman atau pembelajaran, yaitu ilmu yang datang secara tiba-tiba serta tdak diketahui kedatangannya, ilmu yang sering disebut dengan makrifat (gnosis) yang berarti penyinaran atau pencerahan yang datang bagaikan kilat, (Utsmani, 1985: 5).
Dalam tradisi Islam, para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (dzauq) yang berkaitan dengan persepsi batin. Dengan demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dikaruniakan Tuhan kepada seorang dan pada kalbunya sehingga tersingkaplah olehnya sebagian rahasia dan tampak olehnya sebagian realitas.
Melengkapi beberapa deskripsi tentang intuisi, Henry Bergson pelopor aliran intuisionisme dalam dunia Barat, menurutnya intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kenungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera. Hal ini aliran intuisionisme setidaknya tidak mengingkari nilai inderawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalaui intuisi, (Muslih, 2004: 69).
Bagi filosof islam intuisi ini sangat diperhitungan sekali. Sedangkan dikalangan filosof barat ini tidak ada artinya apa-apa.  Sebab, presepsi yang didasarkan pada intuisi langsung tidak bisa diuji. Padahal persepsi-rasa, nalar  dan intuisi merupakan dasar-dasar pengtahuan filsafat. Para Nabipun memiliki intuisi, dimana sumber utama pengetahuan mereka adalah wahyu Tuhan, (Muslih, 2004: 70).
B.     Filosofi Muslim
1.    Ibnu Sina (980-1037 M)
a.    Riwayat Hidup
Nama lengkapnya Abu Ali al-husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370 H (±980M). Ayahnya berasal dari kota balakh kemudian pindah ke bukharah pada masa raja Nuh ibn manshur dan diangkat oleh raja sebagi penguasa di kharmaitsan, satu wilayah di kota bukharah.
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga di usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan aristoteles setelah di bacanya empat puluh kali, kendatipun ia baru memahaminya setelah membaca ulasan Al-Farabi, (Nasution, 1999: 67).
Ibnu Sina mempelajari beberapa bidang ilmu pengetahuan, antara lain:
1)      Ilmu ilmu agama
Dimulainya belajar Qur’an pada tahun 375 H, sewaktu umur baru 5 tahun. Kemudian terus mempelajari ilmu-ilmu islam yamg lainnya seperti tafsir, fikih, ushuluddin, tasawuf dan lainnya.
2)      Ilmu-ilmu filsafat
Setelah umurnya mencapai 10 tahun dia sudah menguasai ilmu-ilmu agama, ayahnya mulai menyuruhnya belajar ilmu falsafah dengan segala cabangnya. Dia di suruh belajar kepada saudagar rempah-rempah untuk mempelajari ilmu hitung india.
3)      Ilmu politik
Tidak kurang pentingnya untuk diketahui, bahwa ilmu politik sudah diperkenalkan kepada ibnu sina pada umur mudanya. Ayahnya adalah tokoh terkemuka dari aliran “isma’iliyah” dari partai syi’ah. Pada waktu itu pemimpin propogandis aliran tersebut yang berpusat di mesir di bawah  pimpinan Fathimiyah, sering kali berkunjung dan berunding dengan ayahnya, untuk meluaska sayap partai itu ke daerah bukhara.
4)       Ilmu kedokteran
Di dalam tingkat terakhir, Ibnu Sina tertarik kepada ilmu kedokteran. Dia mempelajari ilmu itu sewaktu umurnya 16 tahun, dan dalam waktu 18 bulan (1½ tahun) selesailah ilmu itu ia kuasainya. Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya.
Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku-buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan it, (Nasution, 1992: 34).
b.    Ajaran dan Karya Kefilsafatanya
1)   Ajaran
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibnu Sina membagi manusia kedalam empat kelompok:  mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka  yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang.
Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka, (Mustofa, 2005: 189-190).
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya  tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu.
Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya, (Mustofa, 2005: 189-190).
Ajaran yang kedua ialah tentang Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh Ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al,  (Mustofa, 2005: 190).



2)   Karya Filsafatnya
Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan karya-karya cemerlang, dan tidak heran kalau ia menghasilkan 267 karangan di antara karangan nya yang terpenting adalah:
1)      Al – syifa’ latinnya sanatio (penyembuhan), ensiklopedi yang ter diri dari 18 jilid mengenai fisika, metafisika dan matematika. Kitab ini di tulis ketika menjadi mentri di Syams al-Daulah dan selesai masa ala’u al-Daulah di isfahan.
2)       Al- Najah, latinnya salus (penyelamat), keringkasan dari as-Syifa’.
3)      Al-Isyaroh wa al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah.
4)      Al-Qonun fi al-tibb, ensiklopedi medis dan setelah diterjemahkan dalam bahasa Latin menjadi buku pedoman pada Universitas-Universitas di Eropa sampai abad XVII
5)       Al-Hikmah al-‘Arudhiyyah
6)      Hidayah al-Rais li al- Amir
7)      Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiyah
8)        Al-mantiq al-Masyriqiyyin (Logika timur), (Nasution, 1999: 68).
Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zatnya, tentu akan  membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’addud al-qudama).
Selain itu Ibnu Sina mengalami kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya sesuatu yang banyak yang bersifat materi dari sesuatu yang Esa, jauh dari arti banyak, dan jauh dari materi, mahasempurna, dan tidak berkendak apapun (Allah). Untuk memecahkan masalah ini, ia juga mengemukakan penciptaan secara emanasi.
Filsafat emanasi bukan merupakan hasil renungan Ibnu Sina juga Al-Farabi, tetapi berasal dari pemikiran Plotinus yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari yang Esa. Kemudian, filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa “Dari yang satu hanya satu yang melimpah.” Ini diislamkan oleh Ibnu Sina juga Al-Farabi bahwa Allah menciptakan alam ini secara emanasi, (Nasution, 1999: 68).
c.    Sumbangan Filsafat Ibnu Sina terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Salah satu sumbangan filsafatnya dalam ilmu pengetahuan ialah mengenai ilmu pengobatan. Diantaranya adalah  Al-Syifa’ berisi uraian tentang falsafat yang terdiri atas empat bagian: ketuhanan, fisika, matematika dan logika. Al-Najat berisikan ringkasan dari kitab Al-Syifa. Karya tulis ini ditujukan khusus untuk kelompok terpelajar  yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap. Al-Qanun fi Al-Thibb berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lainnya. Al-Isyarat wa Al-Tanbihat isinya mengenai uraian tentang logika dan hikmah, (Mustofa, 2005: 197).
Ibnu Sina dikenal sebagai bapak Dokter Islam. Ia mulai terjun kelapangan sebagai dokter praktek ketika usia remajanya (18 th). Karyanya berupa buku mengenai kedokteran begitu banyak dan salah satu ukunya yang sangat terkenal adaalah “Qanun fi ath-Thibb (Caannon of Medicine)”. Buku ini sejak zaman dinasti Han di Cina telah menjadi buku standar karya-karya medis di Cina.
Teori anatomi dan fisiologi yang terkandung didalam buku yang ia buat telah mendasari sebagian besar analogi manusia terhadap negara, mikro kosmos dan makro kosmos (dunia besar). Misalnya digambarkan bahwasanya surga kayangan adalah bulat bundar sedangkan bumi adalah persegi, dan dengan demikian kepala adalah bulat dn kaki adalah empat persegi.
Terdapat empat musim dan dua belas bulan dalam setahun, dengan begitu manusia memiliki empat tungkai dan lengan (anggota badan) memiliki 12 tulang sendi. Hati adalah pangerannya tubuh manusia, sementara peru-paru adalah mentrinya. Lever merupakan jendralnya sang badan, sedangkan kandung empedu sebagi markas pusatnya limpa dan perut sebagai lumbung sedangkan usus merupakan sistem komunikasi dan sistem pembuangan. Hal ini menunjukkan bahwasanya pola pikir yang dimiliki ibnu Sina sudahlah sangat maju dimana telah mampu mengetahui fungsi setiap organ sehingga ia mampu menganalogikan kedudukan fungsional setiap organnya dengan begitu sederhana (Mustofa, 2005: 197).
Dikatakan pula dalam bukunya bahwasanya “darah mengalir secara terus menerus dalam suatu lingkaran dan tidak pernah berhenti”. Walau memang penemuan tersebut belum dianggap sebagai penemuan siklus darah karena bangsa cina belum atau tidak membedakan atara pembuluh vena dan pembuluh nadi. Dan hal tersebut pula dianalogikan terhadap adanya siklus alam semesta, pergantian musim dan gerak-gerak tubuh dengan tanpa peragaan secara empiris pada keadaan yang sebenarnya.
Buku karangan ibnu sina ini dianggap sebagai “buku suci-nya ilmu kedokteran” dan telah menguasai dunia pengobatan eropa selama kurang lebih 500 tahun lamanya, dan buku ini juga digunakan sebagai buku teks kedokteran di berbagai Universitas di Perancis yang dikenal dengan istilah “Ensiklopedia Kedokteran”. Dalam buku-buku yag ia tulis terdapat banyak keterangan mengenai penyakit syaraf, metode pebedahan yang didalamnya terdapat penjelasan perlunya sterilisasi degan jalan pembersihan luka (disinfection).
Selain Ibnu Sina memiliki andil yang cukup besar dalam dunia kedokteran, iapun memiliki pengetahuan dan sumbangsi besar dan ahli dalam ilmu pengetahuan yang lainnya, diantaranya adalah pada bidang geografi yang mana membahas tentang permasalahan sumber sungai yang sebelumnya belum dapat dpecahkan juga oleh para ilmuan Yunani dan Romawi.
Dia mampu menjelaskan suangai-sungai yang berhubungan dan berasal dari gunung dan lembah bahkan ia mengungkapkan sebuah teori, yaitu: “gunung-gunungyang memang letaknya tinggi, baik karena lingkungannya maupun karena lapisannya dari kulit bumi, maka adakalanya ia diterjang, lalu berganti rupa dikarenakan sungai-sungai yang meruntuhkan pinggiaran-pinggirannya (prinsip erosi). Akibat proses semacam ini, maka terjadilah apa yang disebut sebagai lembah. Hal ini merupakan sebagai penjelasan mengenai adanya sistem sebab akibat dalam setiap unsur kehidupan.
Ibnu Sina juga meninggalkan penemuan yang beranfaat, menurut Reuben Levy, Ibnu Sina telah menerangkan bahwasanya benda-benda logam sebenarnya berbeda dengan satu dan yang lainnya dengan perbedaan yang khusus. Setiap ogam membentuk dengan sendirinya menjadi berbagai jenis dimana masing-masing berbeda dengan satu dan yang lainnya, (Mustofa, 2005: 197).








2.    Ibnu Rusyid (1126-1198)
a.    Riwayat Hidup
Nama asli dari Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd, beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/ 1126 M, 15 tahun setelah kematiannya imam ghazali. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan yang tinggi di Andalusia (Spayol).
Ayahnya adalah seorang hakim, dan neneknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusdyd nenek “(al-jadd) adalah kepala hakim di Cordova. Dia sendiri mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Hingga masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai hakim dan fisikawan, (Hanafi, 1996: 166).
Sepenggal cerita pahit hidupnya, mulanya Ibnu Rusdy mendapat kedudukan yang terbaik dari khalifah Abu Yusuf Al Mansur (masa kekuasaannya:1184-1198) sehingga waktu itu Ibn Rusyd menjadi raja semua fikiran, tidak ada pendapat kecuali pendapatnya, dan tidak ada kata-kata kecuali kata-katanya. Akan tetapi keadaan tersebut segera berubah, karena ia telah diasingkan oleh Al Mansur dan dikurung disuatu kampung yahudi, bernama Alisanah, sebagai akibat fitnah dan tuduhan telah keluar dari Islam, yang dilancarkan oleh golongan penentang filsafat, yaitu para fuqaha’ dimasanya.
Setelah beberapa orang terkemuka dapat menyakinkan Al Mansur tentang kebersihan Ibnu Rusyd dari tuduhan dan fitnahan tersebut, maka baru ia dibebaskan. Akan tetapi tak lama kemudian fitnahan dan tuduhan dilemparkan kembali padanya. Sebagai akibatnya pada kali ini Ia diasingkan ke Negeri Maqribi (Maroko), buku-buku karangannya dibakar, dan ilmu filsafat tidak boleh dipelajari. Sejak saat itu, murid-muridnya bubar.
Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya, agar terbebas dari unsur Platonisme dan filsafat Iskanariyah, (Hanafi, 1996: 166).
Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer atau juru tafsir Aristoteles, hingga pengaruhnya sangat kuat memengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Bahkan pengaruhnya pengasas aliran falsafah Averroisme, yang berpengaruh dalam kemunculan pemikiran sekular di Eropa. Pada gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan menuju puncak pengetahuan. Semangat rasional dan ilmiah inilah yang yang melahirkan renaisans.
Ada tiga masalah filsafat yang menyebabkan kekafiran para filosof menurut Al Ghazali ialah qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui rincian yang terjadi di alam (juz’iyyat), dan kebangkitan jasmani. Untuk mengomentari dan meluruskan hal itu, ia menulis buku Tahafud At Tahafud. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pengkafiran dalam perihal kebangkitan jasmani tidak beralasan, karena masalah ini bagi para filosof adalah persoalan teori.
Sedangkan pengkafiran terhadap filosof yang berpendapat Tuhan tidak mengetahui rincian yang terjadi di alam adalah juga tidak tepat, karena masalah ini tidak menjadi pendapat filosof. Sedangkan penkafiran terkait dengan alam qadim tidak juga tepat, karena pengertian qadimnya alam tidak sama dengan pengertian qadimnya para ulama’ ilmu kalam. Secara panjag lebar bantahan Ibnu Rusyd terhadap al Ghazali tertuang dalam buku Tahafud at-Tahafud, ( Hanafi, 1996: 167).
b.    Ajaran dan Karya Kefilsafatanya
1)   Ajaran
Menurut Ahmad Dauny dalam bukunya Filsafat Islam (1992; 156). Berikut ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap imam ghazali mengenai sebab-akibat yang memang merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan; Terdapat hubungan yang dharuuriiy (pasti ) antara sebab dan akibat. Menurut ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan cirri tertentu yang disebut dengan zatiyah.
Dengan arti bahwasanya untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang telah ada sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang ada ini dengan adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka dengan itu pula kita bisa membedakan antara satu dengan lainnya.
Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang sifat zatiyyah-nya adalah membasahi. Sifat membakar dan membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya dan merupakan pembedan antara api dengan air, jika tidak ada sifat tertentu, tentunya air dan api sama saja, tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang mustahil, (Hanafi, 1996: 165).
Hubungan sebab-akibat dengan adat atau kebiasaan Menurut ibnu rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah jelas dalam mengemukakan pendapatnya mengenai sebab-akibat yang dianggap sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu Rusyd mempertanyakan apakah yang al-ghazali maksud ini adalah adat fa’il (Allah), atau adat maujud, atau juga adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap maujud ini.
Hubungan sebab-akibat dengan akal. Menurut ibnu Rusyd; pengetahuan akal tidak lebih daripada pengetahuan tentang gejala yang mawjud beserta sebab-akibatnya yang menyertainya. Pengingkaran terhadap sebab-akibat berarti pengingkaran terhadap akal dan ilmu pengetahuan. Hubungan sebab-akibat dengan mukjizat.
Di awali dengan pendapatnya imam Ghazali, ketika seseorang percaya akan keniscayaan, maka akan mengakibatkannya tidak percaya terhadap adanya mukjizat nabi. Mengenai hal ini, ibnu rusyd membedakan antara dua mukjizat; mukjizat al-Barraaniy dan mukjizat al-Jawaaniy.
Mukjizat al-Barraaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti tongkat nabi musa yang merumbah menjadi ular, nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati, dan lainnya. Mukjizat seperti ini yang saat itu dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan diluar kebiasaan dan boleh jadi satu waktu dapat diungkapkan oleh pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapkannya, maka ia tidak dipandang sebagai mukjizat lagi.
Mukjizat al-Jawaaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti mukjizatNabi Muhammad yakni al-Quran. Mukjizat seperti inilah yang dipandang oleh ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang sebenarnya, karena al-quran tidak dapat diungkapkan oleh pengetahuan (sains) dimana pun dan kapan pun.
2)   Karya
Karangannya meliputi berbagai macam ilmu pengtahuan, seperti: fikih, usul fikih, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang sudah ditulisnya. Ada kalanya buku filsafat yang dia karang merupakan gagasan dia, atau ulasan dan ringkasan filsafat Aristoteles.
Banyak buku filsafat yang terkait dengan filsafat Aristoteles, maka tidak mengherankan ia dijuluku sebagai Pemerhati Aristoteles. Buku lain yang telah ia ulas juga adalah buka karya Plato, Iskandar Aphrodisias, Platonus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan juga Ibnu Bajah, (Hanafi, 1996: 165).
Karya Ibnu Rusyd mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4 judul tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahu dan sastra. Adapun buku karangan Ibnu Rusyd yang paling fenomenal adalah empat buku:
1.      Bidayah Mujtahid, Ilmu Fikih. Buku itu sangat penting, memuat akan perbandingan madzhab dalam fikih dengan menyertakan alasan masing-masing.
2.      Faslul Maqal fi ma baina al-Hikam was-Syari’at min al-Ittisal, buka yang membahas Ilmu Kalam, menjelaskan adanya kesesuaian antara Agama dan Filsafat.
3.      Manahij al-Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah, pembahasan Ilmu Kalam. Di dalam buku itu Ibnu Rusyd memaparkan tentang pendirian aliran-aliran Ilmu Kalam berserta memuat kelemahan-kelemahan pada setiap aliran tersebut.
4.      Tahafud at-Tahafud, buku yang paling terkenal dalam tataran filsafat dan Ilmu Kalam. Buku ini dibuat untuk membantah Tahafud al-Falasifah karya Ghazali.
c.    Sumbangan Filsafat Ibnu Rusyid Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Setelah menguasai ilmu fikih, ilmu kalam dan sastra arab dengan baik, ia menekuni matamatika, fisika, astronomi, kedokteran dan filsafat. Ia berhasil menjadi ulama dan sekaligus filosof yang tak tertandingi. Salah satu sumbangan karyanya terhadap ilmu pengetahuan masa kini adalah Kulliyat fii ath-Thib yang membicarakan garis besar tentang  ilmu kedokteran yang menjadi pegangan para mahasiswa kedokteran di eropa selama berabad-abad.
Ibnu Rusdi juga menulis tiga buku tentang fisika yaitu: Komentar pendek pada Fisika, komentar pertengahan pada Fisika dan Long Commentary on Fisika . Dia mengambil minat khusus dan tertarik dalam memahami “kekuatan motorik. Averroes juga mengembangkan gagasan bahwa tubuh memiliki ( non - gravitasi ) resistensi melekat pada gerak dalam fisika . Ide ini secara khusus diadopsi oleh Thomas Aquinas dan kemudian oleh Johannes Kepler , yang disebut fakta ini sebagai “Inersia”, yang selanjutnya teori ini berkembang hingga masih digunakan saat ini. Dimana momen Inersia adalah kelembaman suatu benda yang berotasi yang drotasikan terhadap sumbu tertentu.
Momen inersia adalah suatau besaran yang menunjukkan usaha suatu sistem benda untuk menentang gerak rotasinya. Besaran ini dimiliki oleh semua benda apapun bentuknya. Oleh karena itu momen inersia didefinisikan sebagai kecenderungan suatu sistem benda untuk berputar terus atau diam sebagai reaksi gaya torsi dari luar. Selain ia mampu mengkaji tentang ilmu fisika, ia juga sangat ahli dalam ilmu astronomi dan kedokteran.
Karyanya begitu banyak dan sangat terkenal. Ia juga memberikan sumbangsi ilmu pengetahuan tentang psikologi yang mana sangat digunakan sekali dalam proses pembelajaran bagi para calon guru, yakni berkaitan dengan ragam kecerdasan yang dimiliki manusia.ia membaginya menjadi dua yaitu kecerdasan pasif dan kecerdasan aktif.hal inilah yang mendasari pemikiran para psikolog di zaman moderen saat ini, (Hanafi, 1996: 165).




3.      Al-Ghazali
a.      Riwayat Hidup
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali (Mustofa, 2005: 215).
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain.
Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”, (Mustofa, 2005: 215).
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut.Ia kemudian tampil dengan karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul Mustadhhiry.
 Buku Mustadhhiry pun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, sehingga simpati masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali.Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat kekacauan, (Abidin. 1975:40).
Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan dalam Islam.Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia singgahi  dan terobosan yang ia lakukan antara lain:
a.       Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah selama 4 (empat) tahun.
b.      Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
c.       kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem, tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu pertama dari Allah.
d.      tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492 H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.
e.       Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari sana ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang beranama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut kekuasaanya  dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru yang bernama Daulah Muwahhidun.
f.       Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh, madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama (khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat kelahirannya (Sirajuddin.2004:176)
b.         Ajaran Dan Karya Kefilsafatan Al-Ghazali
1)      Ajaran Filsafat Al Ghazali
a)      Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan.Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam (Mustofa, 2005: 228).
b)      Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya.Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu.Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian, (Daudy,1986:97).
c)      Etika
Tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya, (Nasution, 1992:89).
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi.Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan. Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan (Abdullah.2002.58).
Mengenai pandangan al Ghazali, al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT.
Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din.Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat.Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri?Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof.
Al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan yaitu :
(1)   Filosof Materialis (Dhariyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan.Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.
(2)   Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini.Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini.Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit.Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
(3)   Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Ada tiga hal yang bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
(1)    Alam Semesta dan Semua Substansi Qadim.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan.Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya.Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya) (Poerwantana.1988:172).
Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual. ”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk yang Dia kehendaki”.
(2)   Pembangkitan Jasmani Tidak Ada
Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahagiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja.
Badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap.Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali.
 Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di alam. Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles (Poerwantana.1988:174).

d)      Karya Kefilsafatan Al Ghazali
Kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Qur’an, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih, tasawuf, mantiq, falsafat, dan lainnya, (Mustofa, 2005: 215).
(1)   Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama)
Ini merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara syam, Yerussalem, Hijaz dan Yus,dan yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia Barat dan luar Islam.
(2)   Tahafut al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).
(3)   Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
Kedua kitab ini, yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal merupakan kitab yang memuat di dalamnya tentang permasalahan adanya peperangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd), disebabkan sikap al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu :
(a)    Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
(b)   Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja
(c)    Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.
(4)   Al-Iqtashad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam)
(5)   Jawahir Al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an)
(6)   Mizan Al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan),
Dalam buku ini, juga menyepakti bahwa persoalan yang tiga hal dalam kitab Tahafut  al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ‘ala Ghairi Ahlihi, ia mengakui qadimnya alam.
(7)   Al-Maqasshid Al-Asna fi Ma’ani Asma’illah Al-Husna (tentang arti nama-nama Tuhan)
(8)   Al-Khulasahah Al-Mukhtasharah (fiqh)
c.         Sumbangan Filsafat Al Ghazali Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama.
Di dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama.Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia.Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syari’at, (Daudy,  1986:97).
Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :”ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin.
Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf.Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian
1)      Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
2)      Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
3)      Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
4)      Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Kalau dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat.Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran.
Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam, (Mustofa,A. 2005:237-238).
Al-Ghazali adalah seorang tokoh Islam yang mendalami sesuatu ilmu secara terperinci. Beliau terkenal sebagai hujjatul Islam dan Pembaharu iaitu beliau akan membuat pembaharuan atau pemahaman yang lebih jelas mengenai sesuatu ilmu yang diterokainya. Beliau berbeza dengan ulama-ulama lain yang mana usaha mereka menghafal apa yang diterimanya, mengulangi dan menukilnya. Bahkan beliau seorang alim yang aktif, maklumat yang diterimanya diteliti dan diuji sejauh mana kebenaran dan kebatilannya. Oleh itu, ada kalanya beliau menolak, merubah atau menjelaskan dan menghuraikan lalu membuat pembaharuan.
1.      Al-Ghazali Dan Ilmu Kalam
Al-Ghazali memberi sumbangan yang cukup besar dalam perkembangan Ilmu Kalam. Beliau telah mengarang begitu banyak penulisan berkaitan dengan Ilmu Kalam. Dalam penulisan beliau, Al-Ghazali banyak mematahkan hujah-hujah daripada pihak yang keterlaluan ketika membahaskan isu-isu yang timbul daripada perbincangan Ilmu Kalam. Al-Ghazali lebih tertarik membahaskan Ilmu Kalam menurut metodologi para sahabat dan juga Rasulullah. Beliau menguatkan hujah-hujahnya berteraskan Al-Quran, As-Sunah dan perbahasan para sahabat.
Pernah disebut dalam sejarah, Imam Al-Ghazali tidak menyukai majlis-majlis perdebatan berkaitan Ilmu Kalam. Jika dijemput ke majlis seperti itu, beliau hanya berdebat dengan menggunakan metodologi yang tersebut di atas. Beliau berpendapat perdebatan yang diasaskan kepada hujah akal tanpa berpaksikan kepada sumber primer iaitu Al-Quran dan Assunnah hanya akan menambahkan lagi kerisauan dan kecelaruan dalam masyarakat Islam pada ketika itu, (Mustofa, 2005:235-238).
2.      Al-Ghazali Dan Falsafah
Pada mulanya, beliau langsung tidak mengetahui berkaitan dengan ilmu falsafah. Namun atas rasa tanggungjawab membela agama Allah, beliau mempelajari dengan semangat dan ketekunan yang tinggi. Beliau mengkaji penulisan-penulisan yang berkaitan dengan ilmu falsafah terutamanya ilmu falsafah Yunani. Dengan kesibukannya mengajar ilmu-ilmu agama, beliau menggunakan masa terluang untuk mempelajari ilmu falsafah secara individu tanpa berguru dengan mana-mana guru falsafah yang terkenal (Mustofa, 2005:218).
Al-Ghazali memberikan sumbangan yang besar dalam bidang ini khususnya meneroka bidang baru berkaitan falsafah Islam. Setelah menganalisa ilmu falsafah yang dipelajarinya, Al-Ghazali membahagikan golongan yang membahaskan falsafah kepada tiga golongan; pertama, atheis, kedua, natural dan ketiga theologi. Golongan pertama ialah golongan yang mengingkari wujudnya pencipta yang mentadbir seluruh alam ini. Golongan kedua ialah golongan ilmuan yang banyak mengkaji berkaitan dengan tabiat, kejadian dan anatomi manusia, tumbuhan serta haiwan. Golongan ketiga adalah ahli theologi iaitu ahli yang membincangkan soal-soal ketuhanan seperti Plato, Aristotle dan Sokratus (Abdullah, 2002: 62).
Selain itu, Al-Ghazali adalah orang pertama yang mengklasifikasikan semula ilmu falsafah kepada enam bahagian iaitu matematik, mantiq, fizik, ketuhanan, siasah dan akhlak. Matematik menurut Al-Ghazali ialah berkaitan dengan ilmu hisab dan kejuruteraan. Ia tidak berkaitan dengan perbahasan dari sudut agama. Mantiq pula ialah ilmu yang berkaitan dengan logik akal dan bagaimana akal sebagai agen penyusun hujah-hujah yang dikemukakan. Ilmu fizik pula berkaitan dengan kajian alam, langit, bintang-bintang, air, udara dan alam seluruhnya.
Selain itu, ilmu ketuhanan dalam falsafah mengkaji aspek ketuhanan dari perspektif akal. Ilmu ketuhanan ini didasari oleh perbincangan mantiq dan logik. Ilmu ini menurut Al-Ghazali tersimpang daripada falsafah ketuhanan yang sebenar. Siasah menurut Al-Ghazali adalah perkara yang berkaitan dengan unsur-unsur keduniaan yang membantu manusia menjalani kehidupan seharian dengan lebih baik. Ilmu yang terakhir dalam ilmu falsafah menurut Al-Ghazali ialah akhlak iaitu ilmu yang berkaitan bagaimana seseorang menjalani kehidupan seharian dengan sikap dan peribadi yang mulia. (Abdullah.2002: 65).
Abu Hassan An-Nadawi juga menyifatkan Al-Ghazali sebagai seorang yang istimewa seperti yang diungkapkannya di dalam salah satu penulisannya ( “ ….dan kaum muslimin sangat memerlukan kepada pengarang dan pengkaji seperti ini, yang akan menghadapi falsafah dengan penuh keimanan dan kepercayaan, berfikiran bebas dan mempunyai keberanian ‘ilmiah untuk mengingkari kemaksuman falsafah, kequdusan dan kegeniusannya dan kedudukan mereka mengatasi kedudukan akal dan fikiran manusia biasa. Sifat ini dipunyai oleh Al-Ghazali seperti dalam kitabnya Tahafut Al-Falasifah, maka beliau datang pada waktunya dan memenuhi hajat zamannya”.)
3.      Al-Ghazali Dan Tasawwuf
Kita telah ketahui bahawa Al-Ghazali telah menjadi ahli falsafah kemudian beliau telah membongkar keburukan ilmu falsafah dan meneroka ilmu baru berkaitan falsafah. Beliau menyerang habis-habisan ilmu falsafah ketuhanan Yunani. Begitu juga dengan tasawwuf. Apabila beliau melibatkan diri menjadi sebahagian dari ahli sufi, beliau sekali lagi membersihkan tasawwuf daripada perkara-perkara kurafat dan daripada perkara yang terkeluar dari pengamalan agama Islam yang sebenar.
Namun begitu dalam bidang tasawwuf, Al-Ghazali mempunyai guru. Antara gurunya yang termashur ialah Al-Junaid dan Al-Harith Al-Muhasibin. Al-Ghazali dilihat tidak pernah berdiam diri apabila menyedari pengamalan tasawwuf yang diamalkan oleh segelintir masyarakat pada zamannya terpesong daripada ajaran Islam. Beliau dengan tegas menjelaskan, menghuraikan dan memberikan konsep yang tepat kepada masyarakat pada zamannya. S
Selain itu, jika Al-Ghazali menyedari kesalahan yang dilakukan oleh masyarakat dalam bidang tasawwuf, beliau akan melemparkan kritikan yang membina yang bertujuan untuk membetulkan kesalahan dan menghalang daripada penyelewengan yang berlaku berterusan sehingga mencemarkan kemurnian Islam, ( Abidin 1975:10).
Setelah penelitian kritis yang dilakukan oleh AL-Ghazali beliau mendapati ahli sufi pada zamannya terpesong daripada jalan sebenar akibat daripada kecetekan dan kejahilan terhadap ilmu yang berpunca daripada kesibukan mereka beribadat semata-mata. Justeru itu, Al-Ghazali telah mencadangken kepada khalayak pada ketika itu supaya mendalami dan menguasai ilmu yang berkaitan dengan tasawwuf sebelum tekun beribadah. Ini menjamin pengamalnya tidak tersimpang daripada jalan yang sebenar.
Sebagai buktinya, jika ditinjau metodologi penulisan Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ulumuddin kita akan dapati bahawa Al-Ghazali memulakan kitabnya dengan perbahasan berkaitan teori dan konsep ilmu, kemudian beliau membahaskan berkaitan dengan fiqh ibadah atau konsep ibadah menurut perspektif hukum Islam. Selepas itu, Al-Ghazali menulis berkaitan dengan fiqh muamalah iaitu teori, hukum yang berlaku dalam kehidupan seharian ( Abidin 1975:25).
4.      Al-Ghazali Dan Ilmu Fiqh
Kitab Ihya’ulumuddin bukan sekadar membawa pembaharuan dalam bidang tasawwuf bahkan membawa pembaharuan dalam bidang penulisan ilmu fiqh. Jika diteliti, kita akan dapati Al-Ghazali menerokai metodologi penulisan baru fiqh yang berasaskan kepada gabungan antara ilmu fiqh dan tasawwuf. Selain itu gaya bahasanya cukup menarik dengan menggunakan susunan tatabahasa yang mudah.
Di dalamnya kita dapat membaca fiqh dan tasawwuf dalam waktu yang sama. Sebagai contoh, ketika menghuraikan berkaitan solat, Al-Ghazali bukan sekadar menulis berkaitan teori dan amali perlakuan solat berserta rukun-rukunnya, bahkan beliau juga menekankan soal kehadiran hati, khusyuk dan khuduk dalam perlakuan solat.
Perbahasan berkaitan kehadiran hati, khusyuk dan khuduk adalah intipati daripada ilmu tersebut.
Selain itu, ketika Al-Ghazali menulis berkaitan muamalat. beliau bukan sahaja mengkhususkan berkaitan teori jual beli dan untung, bahkan beliau menulis berkaitan dengan keperluan-keperluan kaum muslimin yang perlu dipenuhi sebagai tuntutan fardu kifayah dan mutiara nasihat kepada pembekal dan pembeli ketika melaksanakan urusan muamalat. Kesimpulannya, kehadiran kitab Ihya’ulumuddin membuka dimensi baru metodologi penulisan fiqh dan tasawwuf, Penggabungan ini membawa faedah besar dalam kehidupan seharian manusia ( Abidin 1975:26).









Tidak ada komentar:

Posting Komentar