BAB VII
FILSAFAT
KONTEMPORER
A.
Pragmatisme
Kata pragmatisme berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri dari 2 kata yaitu “pragma” yang berarti
tindakan atau perbuatan, dan “isme” yang berarti aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian, secara hakikat atau bahasa definisi dari pragmatisme adalah ajaran tentang konsep pemikiran berdasarkan perbuatan. Secara istilah, pragmatisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa sesuatu yang benar apabila dibuktikan dengan perantara adanya akibat-akibat yang dirasakan bermanfaat secara praktis, (Tafsir, 2000: 211).
tindakan atau perbuatan, dan “isme” yang berarti aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian, secara hakikat atau bahasa definisi dari pragmatisme adalah ajaran tentang konsep pemikiran berdasarkan perbuatan. Secara istilah, pragmatisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa sesuatu yang benar apabila dibuktikan dengan perantara adanya akibat-akibat yang dirasakan bermanfaat secara praktis, (Tafsir, 2000: 211).
Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
Pragmatisme berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu itu memiliki fungsi
dan kegunaan bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi
relatif tidak mutlak.
Menurut Syadali (2004:69) mengatakan bahwa
pragmatism berarti hanya idea (pemikiran, pendapat, teori) yang dapat dipraktekan dengan benar dan berguna. Idea-idea yang hanya ada di dalam idea (seperti idea
pada Plato, pengertian umum pada Socrates, definisi pada Aristoteles), juga kebimbangan terhadap realitas obyek indera (pada Descartes), semua itu nonsense bagi pragmatisme. Yang ada ialah apa yang
real ada.
Pragmatisme merupakan aliran
filsafat yang lahir di Amerika serikat sekitar tahun 1900. Tokoh-tokoh
terpenting dari pragmatisme adalah William James (1842-1920) dan J. Dewey
(1859-1914), pragmatisme mengajarkan bahwa ide-ide tidak benar atau salah
melainkan bahwa ide-ide dijadikan benar oleh suatu tindakan tertentu,
(surajiyo, 2005:163).
Harun Hadiwijono (1990:130) beliau
mengatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang
benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan
akibat-akibat secara praktis yang mana pegangan aliran ini adalah berdasarkan
logika. Sehingga dapat dikatakan bahwa aliran ini mau menerima segala sesuatu
asalkan memiliki dampak akibat secara praktis dimana pengalaman pribadinya
diterima asalkan bermanfaat, juga kebenaran yang mistis apabila memiliki dampak
akibat praktis yang bermanfaat.
Pragmatisme dalam
perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan
asal yang sama. Walau
bagaimanapun, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu:
1.
Menolak segala intelektualisme
2.
Menolak absolutisme
3.
Meremehkan logika formal
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat
pragmatisme adalah William James dan John Dewey. Berikut ini riwayat hidup, karya dan
sumbangsihnya dari ajarannya:
1.
William James (1842-1910 M)
a.
Riwayat Hidup William James (1842-1910
M)
James lahir di New York
City pada tahun 1842 M, akan tetapi menghabiskan masa kecilnya di Eropa.
Ayahnya bernama Henry James, Sr. Beliau adalah seorang yang
terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikiran yang kreatif. Henry James, Sr. merupakan kepala rumah tangga yang memang menekankan kemajuan intelektual.
Ia mengembangkan anak-anaknya secara luas sedapat-dapatnya
dengan kebebasan dan individualisme, dan ia pun memberikan ide-idenya dan
pengalamannya yang penting kepada anak-anaknya. Pendidikan dasarnya tidak
seperti anak kebanyakan dan cenderung berganti-ganti, dikarenakan seringnya
berpindah dari satu kota ke yang lain dan juga keinginan ayahnya agar dia lebih
berkembang. Dia melewatkan masa pendidikannya disekolah umum dan dari guru bimbingan pribadinya di Swiss,
Prancis, Inggris dan Amerika. Sejak 1872 M hingga 1907 M, ia menuntut ilmu di
Harvard. Pada mulanya James mempelajari fisiologi, kemudian beralih ke
psikologi, dan terakhir filsafat
(Tafsir, 2000: 215).
Selama tahun-tahun itu, ia
hanya bisa membayangkan bagaimana kehidupan di sekolah sebenarnya. Setelah
mendalami seni selama beberapa tahun, dia menyadari bahwa seni bukanlah bidangnya,
dan pada tahun 1861 M, ia masuk ke
Lawrence Scientific School di Cambridge, yang memberikan karir di bidang sains
dan koneksi dengan Universitas Harvard yang terus berlangsung seumur hidupnya,
(Syadali, 2004: 69).
b.
Ajaran dan
Karya Kefilsafatannya
Terkait
dengan kebenaran, ada satu
kalimat dari William James yang cukup padat dalam menggambarkannya, yaitu “truth
happens to an idea”. Berbeda dengan konsepsi
tradisional mengenai kebenaran yang memandang kebenaran sebagai sesuatu yang
pasti dan tetap, James meyakini bahwa kebenaran itu terjadi pada suatu gagasan.
Dalam hal ini, kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang dinamis. Maka kebenaran
suatu gagasan tidaklah dikatakan sebagai “benar”, melainkan “menjadi benar”.
Hal ini ditakar dari efek-efek praktis dan tindakan yang mengikuti gagasan
tersebut, (Anonim,
2015).
Sebuah gagasan dinilai benar, jika mengarahkan manusia pada suksesnya suatu
tindakan. Dengan kata lain, jika gagasan itu mengarahkan kita pada tindakan
yang membawa manfaat. Bagi James, benar dan bermanfaat merupakan satu hal yang
sama. Hal ini berkaitan dengan verifikasi yang dikenakan
kepada suatu gagasan untuk menguji apakah gagasan itu benar atau tidak.
Terlihat pula bahwa bagi James, kemauan mendahului kebenaran, di mana
kemauan itu disertai dengan kehendak untuk percaya. Hal ini dikarenakan
kebenaran merupakan sesuatu yang diaktualisasikan oleh manusia kepada gagasan
tertentu yang ia jadikan pedoman untuk tindakannya, (Tafsir, 2009: 173).
Willian
James (1842-1910) adalah tokoh yang paling bertanggung jawab yang membuat
pragmatism menjadi terkenal di dunia. Beliau juga adalah pionir dalam studi
psikoligi modern sebagaimana juga dalam filsafat. Banyak sekali karya-karya
yang Beliau buat, diantaranya yaitu:
1)
The Sentiment
of Rationality (1879)
Karangan
ini merupakan kombinasi antara filsafat dan psikologi.
2)
The Delimma of
Determinism (1884)
Karangan
ini memperlihatkan sensitivitasnya terhadap moral dan metafisika dan masalah
kemauan manusia yang bebas, (Tafsir, 2013: 192).
3)
The Principles Of Psychology
Karangannya, Essay in
Radical Empirism a Pluralistic Universe, dan karyanya, Some Problems of
Philosophy, membicarakan pertumbuhan pandangannya tentang pragmatisme di
dalam metafisika dan epistemologi. Pragmatisme, menurut pendapatnya, memberikan
suatu jalan untuk membicarakan filsafat dengan melalui pemecahan lewat
pengalaman indera. Akan tetapi, ini ternyata tidak mencukupi untuk James karena
ia menyadari bahwa pragmatisme juga mampu menghubungkan satu dengan lainnya.
Jawaban yang harus diberikan ialah mengenai pandangan yang pasti tentang alam
semesta.
4)
Talks to Teacher
William James adalah seorang yang individualis. Didalam bukunya Talks to
Teacher tidak terdapat pernyataan mengenai pendidikan sebagai fungsi sisa.
Baginya pendidikan lebih cenderung kepada “organisasi yang ketertarikan
mendalam terhadap tingkah laku dan ketertarikan akan kebiasaan dalam tingkah
laku dan aksi yang menempatkan individual pada lingkungannya”.
Teori perkembangan diartikannya
sebagai susunan dasar dari pengalaman mental untuk bertahan hidup. Pemikirannya
ini dipengaruhi oleh insting dan pengalamannya mempelajari psikologi hewan dan
doktrin teori evolusi biologi (Surajiyo,
2007: 220).
5)
The will to be believe (1897)
Di dalam buku ini menegaskan bahwa
ada waktu-waktu ketika kita dihadapkan pada situasi di mana kita harus membuat
keputusan tanpa memiliki semua bukti yang mungkin kita kuasai. Kehidupan tidak
selalu memberi kita kemewahan menunggu hingga kita mendapatkan data yang
meyakinkan, yang mendukung jalan tindakan yang benar.
Tujuan James adalah menggambarkan beberapa karakteristik dasar situasi
semacam itu, dan mempertahankan pandangan bahwa arah tindakan rasional di
lingkungan ini tidaklah berarti melarikan diri dari realitas dengan mengklaim
perlunya keharusan menunggu bukti yang lebih obyektif sebelum memutuskan apa
yang harus dilakukan.
6)
The Variety of Religious Experience (1902)
The Varieties of Religious Experiences memuat usaha besar James untuk menilai arti agama dalam
kehidupan manusia. Seperti Nietzsche, James menilai agama dari segi
kontribusinya pada keutamaan manusia, tetapi kesimpulan yang diambil James
berbeda dari para filosof Jerman pada masanya. Perbedaan ini sebagian besar
dikarenakan fakta bahwa ideal James lebih demokratis dibandingkan ideal Nietzsche.
James tentu memuji nilai individu-individu yang istimewa, tetapi ia memberi
penekanan yang lebih jelas dan lebih kuat pada arti penting dan integritas
setiap kehidupan manusia, perlunya manusia bekerja bersama guna menghasilkan
yang terbaik, dan kebutuhan untuk menetapkan sebuah lingkungan di mana
kebebasan personal dan kesatuan sosial melengkapi satu sama lain, (Tafsir, 2009: 169).
c.
Sumbangsih
Ajaran Filsafat William James
Teori James akan insting sangatlah
bersifat individualis dan sangatlah kolot pada pelaksanaannya. Mengesampingkan
pernyataannya mengenai perubahan insting, yang berlawanan dengan diskusinya
pada “Iron Law of Habit/ Hukum Utama Kebiasaan” dan kepercayaannya akan
tujuan dasar pendidikan sebagai pengembangan awal kebiasaan individual dan
kelompok, dalam pembentukan masyarakat yang lebih sempurna.
Singkatnya, James menegaskan, dasar dari semua pendidikan adalah
mengumpulkan semua insting asli yang dikenal oleh anak-anak, dan tujuan
pendidikan adalah organisasi pengenalan kebiasaan sebagai bagian dari diri
untuk menjadikan pribadi yang lebih baik. Sumbangan James yang paling
berpengaruh terhadap metode pendidikan adalah hubungannya dengan susunan
kebiasaan. James mengtakan: `
“Hal yang paling utama, disemua tingkat pendidikan, adalah untuk membuat
ketakutan kita menjadi sekutu bukan menjadi lawan. Untuk menemukan dan
mengenali kebutuhan kita dan memenuhi kebutuhan dalam hidup. Untuk itu kita
harus terbiasa, secepat mungkin, semampu kita, dan menjaga diri dari jalan yang
memberi kerugian kepada kita, seperti kita menjaga diri dari penyakit. Semakin
banyak dari hal itu didalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita lakukan
dengan terbiasa, semakin banyak kemampuan pemikiran kita yang dapat digunakan
untuk hal yang penting lainnya.”,
(Anonim, 2013).
2.
John Dewey (1859-1952 M)
a.
Riwayat Hidup John
Dewey (1859-1952 M)
John Dewey adalah seorang
filosof dari Amerika Serikat, yang termasuk
Mazhab Pragmatisme. Selain
sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam
bidang pendidikan.
Dewey dilahirkan di
Burlington pada tahun 1859 M. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore, ia
menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian dalam bidang pendidikan
pada beberapa universitas. Sepanjang
karirnya, Dewey menghasilkan 40 buku dan lebih dari 700-an artikel. Dewey
meninggal dunia pada tahun 1952 M,
(Tafsir, 2009: 171).
Dari tahun 1884-1888 M, Dewey mengajar pada Universitas
Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 M ia pindah ke Universitas
Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas
Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun
1894 M, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh
pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia
menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di
universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory
School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School.
Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai
pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam
praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan
tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti,
ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan
pemecahan masalah. Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya
pemikiran idealisme yang telah mempengaruhinya. Jadi selain menekuni
pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika, (Syadali,
2004: 76).
b.
Ajaran dan
Karya Kefilsafatan
Menurut Dewey, tugas filsafat adalah
memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata dalam kehidupan. Oleh karena itu,
filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisik belaka.
Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan menyelidiki serta mengolah
pengalaman tersebut secara kritis. Dengan demikian, filsafat dapat menyusun
suatu sistem nilai atau norma, (Maksum,
2011: 180).
Cara-cara non-ilmiah (unscientific) membuat manusia tidak
meruasa puas sehingga mereka menggunakan cara berpikir deduktif atau induktif.
Kemudian orang mulai memadukan cara berpikir deduktif dan induktif, dimana
perpaduan ini disebut dengan berpikir reflektif (reflective thinking).
Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang,
difokuskan pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam
bentuk insting-insting biologis, lalu dikenal dengan
penjelasan “nature”
dan (2) perilaku bukan
diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka dikenal dengan penjelasan “nurture”. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas
di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan
serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup.
Namun banyak analis sosial yang
tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. John Dewey
mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa
lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan
(Tafsir, 2009: 179).
Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi
kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala
perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat.
Akan tetapi di lain pihak, manusia adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya
sendiri secara alamiah.
Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir
dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal
mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang
atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyrakat
yang ada di sekitarnya, (Surajiyo, 2007: 221)
Dewey juga berpandangan dalam (Syadali, 2004: 80) bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu.
Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar
itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat
fleksibel. Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran.
Pokok pandangan Dewey di
sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau
kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu
diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial sekitar manusia. Bila seseorang
berlaku yang sama terhadap kondisi sekitar, itu disebabkan karena “kebiasaan”,
cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini
dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarnya.
Dewey juga menjadi sangat
terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat pendidikan. Pandangan
yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia
telah mulai mengkritik tentang sisitem pendidikan tradisional yang bersifat
determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di Amerika,
tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Untuk memahami pemikiran
John Dewey, kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam
dunia pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan
yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa
dalam sistem pendidikan. Penyiksaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk
penerapan doktrin-doktrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan.
Tak lepas dari kritikannya juga yakni sistem kurikulum yang hanya “ditentukan
dari atas” tanpa memperhatikan masukkan-masukkan dari bawah. Intinya bahwa,
dalam dunia pendidikan harus diterapkan sistem yang demokratis, (Tafsir, 2009:
181).
Menurutnya, proses belajar berarti
menangkap makna dengan cara sederhana dari sebuah praktek, benda, proses atau
peristiwa. Menangkap makna berarti mengetahui kegunaannya. Sesuatu yang
mempunyai makna berarti memiliki fungsi sosial. Oleh karena itu pendidikan
harus mampu mengantar kaum muda untuk memahami aktivitas yang mereka temukan
dalam masyarakat. Semakin banyak aktivitas yang mereka pahami berarti semakin
banyak pula makna yang mereka diperoleh. Dalam pengertian inilah ia mengatakan
bahwa mutu pengetahuan mempengaruhi demokrasi, (Anonim, 2012).
Karya- karya John Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir Amerika.
Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang
dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang diterbitkan
dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a Critica Theory of
Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of
Etics dan lain- lain. Dalam
buku Dewey yang berjudul “Democracy and Education” yaitu tentang pendidikan, dimana mengungkapkan bahwa:
1)
Filsafat pendidikan adalah bukan suatu pola pemikiran yang jadi dan
disiapkan sebelumnya dan datangnya dari luar kedalam suatu sistem
praktik,pelaksanaan yang amat sangat berbeda asal usulnya maupun tujuanya.
2)
Filsafat pendidikan adalah suatu
perumusan sacara jelas dan tegas eksplisit tentang
problema-problema pembentukan pola kehidupan mental dan moral dalam
kaitanya menghadapi kesulitan yang
timbul dalam kehidupan.
3)
Defenisi yang paling tepat adalah teori pendidikan dalam pengertian
yang umum dan teoritis, (Syadali,
2004: 100).
c.
Sumbangan Ajaran Filsafat John Dewey
Mungkin kontribusi Dewey bagi perkembangan kebudayaan Amerika yang paling
bessar adalah formulasinya secara batu tentang filsafat. Baginya, filsafat
harus terarah pada masalah-masalah sosial dalam setiap waktu dan berusaha untuk
diklarifikasikan dengan masalah filsafat politik dan ekonomi. Dalam
bahasa lain, tradisi epistemologi dan problem metaisika juga patut
diperhitungkan dalam tempat yang kedua. Semuanya berpengaruh pada atau
membentuk konsep filsafat social.
Berkaitan dengan semuanya, John Dewey percaya bahwa filsafat membawa
pengaruh pada perkembangan pendidikan. Sebagai akaibatnya pendidikan telah
memberikan pertimbangan argumen. Liberalisme Dewey telah mempengaruhi
bidang-bidang seperti religius, politik dan estetika. Hal ini juga bergesar
pada ilmu pengetahuan sekaligus mewakilki potensi-potensi yang ada pada budaya
Amerika, (Hasan, 2001:
90).
Dewey menganggap pentingnya pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui
suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai
sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang
terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya
penghormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang.
Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang
sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari
filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang
demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat
diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang
baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan
masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan
formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib, (Anonim, 1992-2012).
Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan
pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang bertolak dan
merupakan kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan
moralitas dari anak didik. Dengan demikian, belajar dalam arti mencari
pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan.
Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk teori dalam
konteks eksperimen dan pemikiran. Dari ilmu pengetahuan, Dewey
dalam bukunya mengkombinasi tradisi dari Bacon dan Lock. Biologi yang menjadi
kunci untuk membenarkan pengertian akan alam bukan ontologi. Selanjutnya dia
terus pada metode pragmatismenya James dan memajukan supernatural dari
pemikiran Amerika, (Syadali, 2004: 85).
B.
Eksistensialisme
Aliran filsafat yang satu ini lahir
pada abad 19 oleh S. Kierkegaard (1813-1855) dan F. Nietsche (1844-1900). Pada
abad ke 20 aliran eksistensisme menjadi aliran filsafat yang sangat penting.
Filosof-filosof yang paling besar dari eksistensialisme diantaranya K. Jaspers,
M. Heidegger, J.P Sartre, G. Marcel dan Merleau ponty, (surajiyo, 2005:161).
Akar metodelogi eksistensialisme ini berasal dari fenomenologi yang
dikembangkan oleh Edmund husserl (1859-1938). Sedangkan munculnya filsafat
eksistensialisme ini dari 2 orang ahli filsafat Soeran Kierkegaard dan
Neitzche. Kedua tokoh diatas muncul karena adanya perang dunia pertama dan
situasi Eropa pada saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab pandangan
tentang manusia, (Hadiwijono, 1980: 127).
Disamping itu, penyebab munculnya
filsafat eksistensialisme ini yaitu adanya reaksi terhadap filsafat
materialisme Marx yang berpedoman bahwa eksistensi manusia bukan sesuatu yang
primer dan idealisme Hegel yang bertolak bahwa eksistensi manusia sebagai yang
konkret dan subjektif karena mereka hanya memandang manusia menurut materi atau
ide dalam rumusan dan system-sistem umum (kolektivitas social).
Kata dasar eksistensi (existency)
adalah exist yang berasal dari kata
Latin ex yang berarti keluar dan
sister yang berarti berdiri. Jadi,eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari
diri sendiri. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein. Da berarti di sana, sein
berarti berada. Berada bagi manusia selalu berarti di sana, di tempat. Tidak
mungkin ada manusia tidak bertempat.
Bertempat berarti terlibat dalam alam jasmani, bersatu dengan alam jasmani.
Akan tetapi, bertempat bagi manusia tidaklah sama dengan bertempat bagi batu
atau pohon (Tafsir, 2013:
218). Pendapat lain terkait
filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat
yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral (Hassan, 2001: 78).
Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain
tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara
beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia, ia mengalami beradanya di dunia itu manusia menyadari dirinya berada di
dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dan mengerti yang dihadapinya itu.
Manusia mengerti pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa
hidupnya mempunyai arti. Artinya ialah bahwa manusia
adalah subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang
disadarinya itu disebut objek. Sehingga disebutkan disini
manusia adalah subyek sedangkan benda atau materi lainnya adalah obyek, (Tafsir, 2009: 192).
Dengan demikian, eksistensialisme tentunya berbicara hakekat manusia dan
segala sesuatu yang berkenaan dengan dirinya seperti bakat, keinginan,
kebutuhan, kewajiban yang harus dikerjakan oleh manusia yang sebagai halifah
dimuka bumi dengan kata lain adalah manusia mempunyai potensi yang harus
dikebangkannya.
Rene Deskates (1596-1650) dalam
(Hamersama, 1983: 142) seorang tokoh rasionalisme, menjelaskan bahwa jiwa adalah terpadu, rasional, dan kosisten yang dalam aktifitasnya yang selalu
terjadi interaksi dengan tubuh. Interaksi jiwa dan tubuh ini dapat mangubah
makna nafsu yang dimaknai dengan pengalaman-pengalaman sadar yang disertai dengan emosi jasmaniah.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki hak untuk hidup, merdeka, dan
milik. Menurut Allport, sebagai makhluk individu maka manusia memiliki sifat
unik yang hanya dimiliki oleh dirinya sendiri, berdiri sendiri, dan bersifat
otonom. Eksistensialisme yang mendukung kebebasan manusia sesuai dengan hak
manusia untuk bebas hidup dan tinggal dimana saja sesuai keinginannya. Manusia
sebagai makhluk social harus dapat bertoleransi untuk dapat menjalin kehidupan
yang harmoni dengan sesamanya, orang-orang yang berada di sekitarnya. Hal ini menyebabkan manusia harus belajar untuk
dapat menghormati keinginan orang lain yang berarti manusia harus bias menekan
sifat egonya (Muzairi, 2009: 96).
Sebagai makhluk ekonomi, manusia akan selalu mencoba mereduksi martabat
manusia yang hanya sekadar alat prosuksi dan hanya bermanfaat demi kepentingan
kaum kapitalis serta mengkapitalisasi segala sumber daya dari sisi ekonomi.
Dari hal ini terlihat bahwa manusia tidak ingin terkekang oleh kaum kapitalis.
Manusia ingin bebas dalam mengelola ekonominya. Hal ini sesuai dengan
eksistensialisme yang tidak mau menurut begitu saja, tetapi harus berjuang
untuk mendapatkan kebebasannya, (Sudiarja,
2006: 78).
Berikut
ini beberapa tokoh yang menganut aliran eksistensialisme. Diantaranya:
1.
Soren Kierkegaard (1813-1855)
a.
Riwayat hidup
Soren Kierkegaard (1813-1855)
Kierkegaard lahir di
Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813 dan meninggal dunia tanggal 11 November
1855 saat berumur 42 tahun. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, adalah
seorang pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, serta makanan dan seseorang
yang sangat saleh. Ia yakin bahwa ia telah dikutuk Tuhan, dan karena itu ia
percaya bahwa tak satupun dari anak-anaknya akan mencapai umumr melebihi usia
Yesus Kristus, yaitu 33 tahun, (Anonim, 2013).
Ia percaya bahwa dosa-dosa pribadinya, seperti
misalnya mengutuki nama Allah pada masa mudanya dan kemungkinan juga menghamili
ibu Kierkegaard di luar nikah, menyebabkan ia layak menerima hukuman ini.
Meskipun banyak dari ketujuh anaknya meninggal dalam usia muda, ramalannya
tidak terbukti ketika dua dari mereka melewati usia ini. Sedangkan
ibu Soren Kierkegaard bernama Anne Sorensdatter Lund
Kierkegaard.
Setelah mengenyam pendidikan di sekolah putra yang prestisius di
Borgerdydskolen, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Kopenhagen.
Di sini pria yang bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard ini mempelajari
filsafat dan teologi. Di universitas, Kierkegaard menulis disertasinya, tentang
Konsep Ironi dengan rujukan terus-menerus
kepada Socrates, yang oleh panel universitas dianggap sebagai karya yang penting dan
dipikirkan dengan baik, namun agak terlalu berbunga-bunga dan bersifat sastrawi
untuk menjadi sebuah tesis filsafat.
Kierkegaard lulus pada 20 Oktober 1841 dengan gelar Magistri
Artium, yang kini setara dengan Ph.D. Dengan warisan
keluarganya, Kierkegaard dapat membiayai pendidikannya, ongkos hidupnya. Soren
Kierkegaard dianggap sebagai bapak filsuf eksistensialisme. Ajarannya beraliran
eksistensialisme dan dia sangat bertentangan dengan Hegelian, (Anonim, 2012).
b.
Ajaran dan
Karya Kefilsafatan
Soren sangat bertentangan akan ajaran dari Hegelian. Sehingga dia sering
menjadi kritikus akan ajaran Hegel. Pemikiran, sebagai kritik atas Hegel,
menekankan pada aspek subjektivisme. Hal ini akan membuat individu melupakan
tanggung jawab pribadinya secara etis, bahkan akan menghilangkan eksistensi,
(Tafsir, 2013: 222).
Menurut Kierkegaard, filsafat tidak merupakan suatu sistem, tetapi suatu
pengekspresian eksistensi individual. Karena ia menentang aliran filsafat yang
bercorak sistematis, dapat dimengerti mengapa ia menulis karyanya dengan
menggunakan nama samaran.Pertama-tama Kierkegaard
memberikan kritik terhadap Hegel. Mula-mula memang ia tertarik pada filsafat
Hegel yang telah popular di kalangan intelektual di Eropa ketika itu, tetapi
tidak lama kemudian ia melancarkan kritiknya.
Keberatan utama yang diajukan oleh Kierkegaard kepada Hegel ialah karena
Hegel meremehkan eksistensi yang kongkret karena ia (Hegel) mengutamakan idea
yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup sebagai
suatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku individual” yang sama sekali unik dan
tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain, (Maksum, 2011: 222).
Dengan demikian, Kierkegaard menganggap yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau
eksistensinya sendiri. Akan tetapi, harus ditekankan, bahwa eksistensi manusia
bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan suatu “menjadi”, yakni adanya suatu perubahan secara dinamis. Apa yang semula berada
sebagai kemungkinan berubah atau bergerak menjadi suatu kenyataan.
Perpindahan atau perubahan ini adalah suatu perpindahan yang bebas, yang
terjadi dalam kebebasan dan keluar dari kebebasan yaitu karena pemilihan
manusia, (Anonim, 2013).
Jadi eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam
kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan, yang
harus dilakukan setiap orang bagi dirinya sendiri. Sebagian besar dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi
Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika
diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Menurut Sutarjo (2006:142)
dalam Anonim
(2012) mengatakan beberapa karya Soren, diantaranya:
1) Either/Or (Enten/Eller) -1844
Buku ini terdiri dari dua bagian yang
mempertentangkan pandangan hidup yang estetis dengan yang etis. Karya yang
panjang ini menampilkan catatan-catatan pribadi milik Soren.
Karyanya yang ini berfungsi baik sebagai kritik ataupun parodi terhadap
filsafat dari Hegelian.
2) Fear
and Trembling (Frygt og Baeven) -1844
Soren mengambil dari contoh pengorbanan Ishak oleh
Abraham. Di dalam buku
ini, ajaran atau kepercayaan
bahwa segala tindakan disebabkan karena adanya tujuan yang ingin dicapai.
Sampai akhirnya Soren befikir bahwa ini seperti tidak masuk akal karena
manusia harus menaati perintah Allah. Namun itu merupakan ketaatan manusia
kepada Allah.
3) Works Of Love
(Kjerlighedens Gjerninger)-1846
Sebuah buku yang meneliti perintah "Kasihilah sesamamu seperti kau
mengasihi dirimu sendiri'. karyanya ini menjelaskan akan kekuatan cinta.
Bagaimana manusia mecintai sesama, dan bagaimana cinta sejati tanpa keegoisan,
yang mungkin hanya terjadi antara manusia dan Tuhan.
c.
Sumbangan
Ajaran Filsafat Kiergegaard
Eksistensialisme telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu,
terutama dalam membuka jalan terhadap kebutuan yang ditimbulkan oleh paham materialisme yang mengatakan bahwa : “manusia itu pada hakekatnya
adalah barang material belaka, yang walaupun bentuknya lebih unggul, tetapi
manusia itu adalah resultante dari proses-proses kimiawi”. Bagi eksistensialis,
manusia itu tidak hanya sekedar material atau kesadaran, tetapi lebih daripada itu, (Anonim,
2012).
Eksistensialisme
mengakui bahwa setiap individu memiliki keunikan masing-masing dan menganggap
kebebasan sebagai sesuatu yang asasi bagi setiap individu dalam penentuan
eksistensi diri sendiri. Pengaruh yang sangat menonjol eksistensialisme terhadap pendidikan modern
dewasa ini adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan eksitensial pada setiap
individu siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap kebebasan siswa dalam
menentukan pilihannya.
2.
Jean Paul Sartre (1905-1980)
a.
Riwayat Hidup Jean Paul Sartre (1905-1980)
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 dan meninggal pada
tahun 1980. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928.
Setelah tamat dari sekolah itu pada tahun1929, ia mengajarkan filsafat di
beberapa Lycees, baik di Paris maupun di tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun
1935 ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francais di Berlin dan
Universitas Freiburg. Tahun 1938 terbit novelnya yang berjudul La Nausee,
dan Le Mur terbit pada tahun 1939.
Sejak itu, muncullah karya-karya
yang lain dalam bidang filsafat. Tatkala pecah perang pada tahun 1939, ia
menggabungkan diri dalam pasukan Prancis, dan pada tahun 1940 ia ditangkap oleh
Jerman. Setelah dibebaskan ia kembali ke Paris. Di sana ia meneruskan karyanya
sebagai pengajar dalam bidang filsafat sampai tahun 1944. Dalam waktu inilah
dia menyelesaikan bukunya yang terkenal, L’Etree et Le Neant, pada tahun
1943, (Sudiarja, 2006: 80).
Selain sebagai seorang guru besar,
ia juga seorang pejuang. Dalam perang dunia kedua ia menjadi salah seorang
pemimpin pertahanan. Sebagai novelis dan dramawan namanya amat terkenal. Tahun
1964, ia menolak menerima hadiah Nobel dalam bidang kesusastraan. Sekalipun
pada dasarnya buah pikirannya merupakan pengembangan pemikiran Kierkegaard, ia
mengembangkannya sampai pada tahap yang amat jauh, (Tafsir, 2013: 224).
b.
Ajaran dan Karya Kefilsafatan
Bagi Sartre, eksistensi manusia
mendahului esensinya. Pandangan ini amat janggal sebab biasanya sesuatu harus
ada esensinya lebih dulu sebelum keberadaannya. Bila kita berpikir bahwa Tuhan adalah pencipta, maka kita akan
membayangkan bahwa Tuhan mengetahui secara persis apa yang akan diciptakan-Nya.
Jadi, konsep sesuatu yang akan diciptakan oleh Tuhan itu telah ada sebelum
sesuatu itu diciptakan. Jika demikian, maka bagi manusia pun berlaku formula esensi
mendahului eksistensi. Akan tetapi, Sartre menyatakan bahwa itu semua
berlawanan dengan kenyataan (Surajiyo, 2005: 201).
Sartre menjelaskan karena manusia
mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti manusia menyadari bahwa ia menghadapi
masa depan, dan ia sadar dengan perbuatan mereka. Hal ini menekankan suatu
tanggung jawab pada manusia. Inilah yang dianggap sebagai ajaran pertama dan
utama dari filsafat eksistensialisme. Bila manusia itu bertanggung jawab atas
dirinya sendiri, itu bukan berarti ia bertanggung jawab hanya pada dirinya
sendiri, tetapi juga seluruh manusia (Struhl: 37 dalam Tafsir, 2009: 226).
Jadi eksistensi manusia bukan
sekedar hendak menjelaskan keadaan beradanya manusia di tengah manusia dan
selain manusia, tetapi menjelaskan tanggung jawab yang dipikul oleh manusia. Sartre mengatakan bahwa dalam memutuskan itu, orang berdiri
sendiri. Ini karena baginya manusia itu pengada yang sadar persoalannya menjadi
rumit. Pertama ia sadar lalu muncul tanggung jawab, karena tanggung jawab,
manusia harus menentukan.
Dari sinilah timbul kesendirian,
lalu rasa takut itu akan muncul. Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, ia harus bebas menentukan,
memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian tanpa orang
lain yang menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya dan untuk
seluruh manusia. Kenyataan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh Sartre adalah
nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri dengan tiada bantuan (Tafsir, 2009:
230).
c.
Sumbangan Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan yang menyajikan program menurut
kelompok seperti program pendidikan formal di sekolah dewasa ini, karena bagi
eksistensialis program kelompok semacam itu berarti telah mengingkari eksistensi siswa sebagai individu. Eksistensialisme tidak menyukai
pendidikan profesi, misalnya pendidikan kejuruan atau pendidikan spesialis di
pendidikan tinggi.
Eksistensialis menganggap pendidikan profesi mempunyai sasaran utama pada
pencarian obyektivitas, logika dan intelektualitas, dan kurang mengenai sasaran
emosi, estetika dan moral yang merupakan kepentingan pokok eksistensialisme.
Eksistensialisme mengingatkan bahwa ilmu hendaknya tidak menjadi sasaran atau
tujuan pendidikan, tetapi ilmu itu harus ditempatkan secara proposional, hanya
sebagai alat dalam pengembangan eksistensi manusia, (Anonim, 2014).
C.
Fenomenologi
Menurut Surajiyo (2005:162)
mengatakan bahwa kata fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani fenomenom yaitu sesuatu yang tampak,
yang terlihat karena bercahaya, dalam bahasa indonesia hal ini disebut dengan
“gejala”. Bisa dikatakan bahwa aliran yang membicarakan fenomena adalah suatu
kejadian yang dapat terlihat. Surajiyo juga menjelaskan bahwa kata fenomenom
(disingkat: fenomen) atau gejala dapat dipakai dalam berbagai arti. Kata
fenomen atau gejala dapat dipertentangkan dengan kenyataan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa fenomen ini bukanlah sesuatu yang nyata tetapi semu.
Secara harfiah, fenomenologi atau
fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme
adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu metode
pemikiran, (Maksum, 2011:368).
Fenomenologi merupakan sebuah
aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya
dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan
realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat
inderawi yang kemudian diterima oleh akal (otak) dalam bentuk pengalaman dan
disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat
membuat manusia mampu berpikir secara kritis, (Anonim,2014).
Fenomenologi merupakan kajian
tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya.
Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik
terlibat di dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai
pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan
pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita
lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu
pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia.
Secara umum fenomenologi lahir dari
persoalan fenomena yang dibawa ke ruang publik pertama kali oleh Hegel dengan
ruh absolutnya. Husserl lalu mendefinisikan fenomenologi sebagai ilmu tentang
penampakan (fenomena), dan bagi Husserl berbicara tentang esensi di luar
eksistensi adalah kerja sia-sia, dan hal inilah yang membedakan fenomenologi
Husserl dengan fenomenologinya Hegel dan Kant.
Para filosof yang terpengaruh oleh fenomenologi adalah Derrida,
Kierkegard, Cascirer, (Anonim,2013).
Dari beberapa pengertian di atas,
maka dapat difahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang fenomena-fenomena
apa saja yang nampak. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis
terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Metode fenomenologi berasal dari Edmunf Husserl (1859-1938) dan
kemudian diperkembangkan oleh M. Scheler (1874-1928) dan M. Merleau Ponty.
Dikatakan bahwa fenomenologi harus memperkenalkan gejala-gejala dengan
menggunakan intuisi, (surajiyo, 2004:162).
1.
Edmund Husserl
a.
Riwayat Hidup Edmund Husserl
Edmund Husserl lahir pada tahun 1859, di kota Prossnitz di Moravia. Keluarganya adalah Yahudi (meskipun itu bukan keluarga ortodoks),
Husserl sering berpindah tempat selama masa kecilnya. Beliau mulai studi
klasik Jerman di Realgymnasium di Wina pada usia 10 tahun, dan pada tahun
berikutnya ditransfer ke Staatsgymnasium di Olmütz. Dia melanjutkan pendidikan di universitas Leipzig, beliau
memfokuskan pendidikannya pada matematika, fisika dan filsafat, dengan
kepentingan tertentu di bidang astronomi dan optik. Setelah dua tahun ia pindah ke Berlin untuk melanjutkan
perhatiannya terhadap matematika, kembali lagi ke Wina, dan menyelesaikan gelar
doktor pada tahun 1883, (Anonim: 1992-2012).
Edmund Husserl, salah satu arus pemikiran yang
paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia mulai karirnya sebagai ahli matematika,
kemudian pindah ke bidang filsafat. Edmund Gustav Albrecht Husserl dilahirkan
pada tanggal 8 April 1859 di Prostějov, Moravia, Ceko. Ia adalah seorang filsuf
Jerman yang dikenal sebagai Bapak Fenomenologi.
Karya filsafatnya mempengaruhi karya-karya yang
muncul setelahnya, antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib),
Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas,
Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada
tahun 1886 dia mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi (Anonim, 2013).
Pada tahun 1887 Husserl
berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia
mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) di tahun 1887,
lalu di Göttingen sebagai profesor di tahun 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari
tahun 1916 hingga ia pensiun pada tahun 1928. Setelah itu, ia melanjutkan
penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga
kemudian Ia dilarang menggunakan perpustakaan tersebut oleh Rektor setempat,
karena ia keturunan Yahudi. Akibat pengaruh dari
bekas muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegger. Husserl meninggal
dunia di Freiburg pada tanggal 27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat
penyakit pneumoniavi (Anonim, 2013).
b. Ajaran dan Karya Kefilsafatan
Husserl membedakan antara dunia yang dikenal
dalam sains dan dunia di mana kita hidup. Selanjutnya Ia juga mendiskusikan
tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia di mana kita hidup. Kita dapat
menganggap sepi objek apapun tetapi kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran
kita, (Anonim,2013).
Eksistensi kesadaran
adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang
dunia yang kita hayati serta pengalaman kita yang langsung tentang dunia
tersebut menurut Husserl adalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan pandangannya tentang perhatian dan
intuisi telah memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya di Jerman
dan Perancis, (Hassan, 2001: 182).
Setelah tahun 1908
Fenomenologi Husserl menjadi “fenomenologi Transendental”. Dia berpendapat dalam periode ini
bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan, melainkan asal dari kenyataan.
Husserl menolak kesadaran bipolaritas (kesadaran dua alam, subyek dan obyek).
Artinya kesadaran tidak menemukan obyek-obyek.
Obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran. Dengan pendapat ini, Husserl dekat
dengan idealisme. Bagi ilmu-ilmu, kesadaran dan alam memang tampak sebagai dua
pola dalam kenyataan, namun harus dipasang dalam suatu ideologi idealitas yang
hanya masih menerima satu pola, yaitu kesadaran.
Husserl mengajukan
satu prosedur yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang
kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan
psikologisme, Kita akan
terjebak pada dikotomi (subyek-obyek yang menyesatkan atau bertentangan satu
sama lain), (Anonim,2013).
Contohnya, saat
mengambil gelas, kita tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat, dan
lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini
yang hilang dari pengalaman kita kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan
ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl
ialah dari pemikiran gurunya, Franz Brentano.
Dari Brentano-lah
Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris (sikap pikiran di
mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan atau
bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat). Sebagaimana juga
bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal. Karena
baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga sebagai metode,
karena dalam fenomenologi kita memperoleh langkah-langkah dalam menuju suatu
fenomena yang murni, (Anonim, 2013).
Fakta bahwa kesadaran
selalu terarah kepada obyek-obyek disebut intensionalitas. Hasil dari metode
fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk intensionalitas kesadaran.
Kesadaran tidak pernah pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu.
Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu
tindakan.
Artinya terdapat
interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun interaksi ini
tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting.
Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu
ciptaan kesadaran, (Tafsir, 2009: 240).
c. Sumbangan Ajaran Filsafat Husserl
Memperbincangkan fenomenologi tidak
bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia
kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu
pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta
untuk menyelamatkan subjek pengetahuan (Syadali, 2004: 130).
Edmund Husserl, dalam karyanya, The
Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan
bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt) merupakan konsep yang dapat
menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis
akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang
semesta sebagai sesuatu yang teratur mekanis seperti halnya kerja mekanis jam.
Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi
alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan
ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah
menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal, (Anonim,2014).
Dunia kehidupan dalam pengertian
Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam
spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan
ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni
unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya
atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat
memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu
ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak
dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu
alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen). Apa yang ingin ditemukan
dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya.
Tujuan ilmuwan sosial mendekati
wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal
ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena
itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang
unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus
memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses
yang menghasilkan dunia kehidupan itu, (Anonim, 2014).
2.
Max Scheller (1874-1928)
a.
Riwayat Hidup Max Scheller
Max Scheler adalah filsuf yang terkenal dari aliran fenomenologi
Husserl. Dia dilahirkan di Munchen tahun 1874, mendapat gelar doctor pada tahun
1897 dibawah pimpinan filsuf Rudolf Eucken. Sesudah menjadi tersohor karena
karangan-karangannya, maka pada tahun 1928 dia dipanggil ke Frankrut a.M untuk
menjadi guru besar. Akan tetapi sebelum mulai tugasnya, dia sudah meninggal
dunia, (Anonim,2012).
b.
Ajaran dan Karya Kefilsafatan
Max
berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu untuk memandang
realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas
berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurutnya
ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman filsafat.
Diantaranya:
1) Fakta
natural, yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut benda-benda yang
nampak dalam pengalaman biasa.
2) Fakta
ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan
semakin abstrak.
3) Fakta
fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari pengalaman
langsung, (Wiramihardja, 2006: 143).
Di
samping Husserl, filsuf lain yang juga
terlibat dalam filsafat fenomenologi adalah Max Scheler. Scheler juga
menggunakan metode Husserl dan tidak berusaha untuk menganalisa dan menerangkan
lebih jauh tentang suatu obyek dan gejala-gejalanya. Bagi Scheler, fenomenologi
merupakan “jalan keluar” ketidakpuasannya atas logisisme-transendentalis
Immanuel Kant dan Psikologisme Empiris.
Max
Scheler berpikir dengan seluruh hati dan jiwanya. Artinya bagi manusia dengan
tabi’at semacam itu, cara berpikir yang sesuai ialah terjun dan menenggelamkan
diri dalam pengalaman yang kongkrit. Bagi Scheler, yang terutama bukanlah
pikiran, yang terutama ialah perbuatan. Berbuat, sekali lagi berbuat, mengalami
dan merasakan, itulah dan disitulah letak pengertian menurut Scheler,
(Hasan,2001: 244).
Max
Scheler merupakan salah satu orang yang sangat mengagumi pemikiran Husserl
tentang fenomenologi. Pada awalnya ia memang tidak setuju dan menentang seluruh
aliran-aliran falsafah pada waktu itu, tentunya juga dengan metodenya. Buktinya,
dari sekian lama ia memcari metode sendiri dan pada akhirnya ia menemukan
metode yang menurutnya baik. Metode tersebut adalah metode yang dibawa oleh
Husserl yaitu metode fenomenologi.
Scheler
mendasarkan metode fenomenologinya kepada hati dan perasaan. Maksudnya, untuk
menggapai kebenaran hakiki manusia harus berinteraksi dengan objek sebagaimana
teori Husserl. Namun, ketika manusia menghadapi fenomena, yang tampak sebagai
kebenaran merupakan adalah sesuatu yang tampak pada hati dan perasaan. Mungkin
Scheler tergila-gila dengan cinta atau terjerat virus-virus cinta. sehingga
dalam menghadapi fenomen ia menghadapinya dengan cinta, (Hamersma,1983: 233).
Selain
itu Scheler menambahkan sesuatu di metode fenomenologi Husserl. Inilah diantara
yang menjadi ciri has metode Scheler. Scheler mengatakan manusia harus menahan
segala sesuatu atau pengakuan dalam menghadapi realita. Manusia harus
melepaskan diri dari dari kecendrungan ia atau tidak, begini atau begitu.
Sehingga yang tersisa hanyalah realitas dari fenomen itu sendiri. Selanjutnya,
tidak hanya melepaskan dari apa yang telah dijabarkan di atas.
Manusia
juga harus melepaskan dirinya sendiri dari diri sendiri dan ikatan yang
bersifat kegemaran, kesenangan dan terutama dari belenggu hidup yang rendah.
Dalam hal ini Scheler tampak sebagai orang yang bijak sana. Karena ia
menyarankan untuk melakukan sesuatu yang terpuji sepert jangan sombong, rendah
hati dan lain sebagainya (Anonim, 2014).
Untuk memahami pengertian nilai, Max Scheler mencoba untuk memisahakan
terlebih dahulu dua sifat yang terdapat pada nilai (material dan apriori),
kendati Scheler tidak memisahakan pembahasan dua dua sifat nilai ini kedalam
point point seperti yang saya lakukan. Akan tetapi, di
sini suhaimi mencoba untuk memisahkannya guna memahami pandangannya mengenai
nilai tetapi kita tetap diajak unutk mebacanya dalam satu kesatuan. Nilai
dibagi menjadi 3, yaitu:
1)
Nilai Material
Nilai
itu material. Material di sini bukanlah dalam arti “ada kaitan dengan
materi”melainkan sebagai lawan dari formal, materi sebagai “berisi”. Berisi itu
berartikualitas nilai tidak berubah dengan adanya perubahan pada barang atau
pada pembawanya. Misalnya nilai itu selalu mempunyai isi “jujur”, “enak”,
“kudus”,”benar”, “sehat”, “adil”, yang semuanya itu berbeda dan masing-masing
memiliki nilai. Contoh lain, misalnya: pengkhianatan seorang teman tidak
mengubah nilai persahabatan. Nilai persahabatan tetap merupakan nilai
persahabatan, tidak terpengaruh jika teanku berbalik mengkhianatiku.
2)
Nilai Apriori
Nilai
merupakan kualitas apriori. Max Scheler mengatakan bahwa kebernilaian nilai itu
mendahului pengalaman. Misalnya: apakah makanan tertentu enak atau tidak,harus
kita coba dulu. Akan tetapi, bahwa “yang enak” merupakan sesuatu yang positif,
sebuah nilai, dan bahwa yang bernilai “yang enak” dan bukan “yang enak’ itu
tidak perlu kita coba dulu.
Begitu juga kejujuran, keadilan; bahwa kejujuran, Keadilan sendiri
merupakan sebuah nilai yang kita ketahui secara langsung begitu kita menyadari
apa itu kejujuran dan keadilan. Maka, kejujuran dan keadilan pertama
tama bukanlah sebuah konsep mengenai kejujuran dan keadilan melainkan nilai
kejujuran dan nilai keadilan.
3)
Hierarki Nilai
Scheler
percaya bahwa nilai itu tersusun dalam sebuah hubungan hierarki apiori. Dan ini
harus ditemukan di dalam hakikat nilai itu sendiri, bahkan berlaku juga bagi
nilai yang tidak kita ketahui. Dalam keseluruhan realitas, nilai hanya terdapat
satu susunanhierarki yang menyusun seluruh nilai masing-masing memiliki
tempatnya sendiri-sendiri.
Suatu
nilai memiliki kedudukan lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain.
Menurut Max Scheler, kenyataan bahwa suatu nilai lebih tinggi daripada yang
laindapat dipahami dalam suatu tindakan pemahaman khusus terhadap nilai, yaitu
dengan tindakan preferensi; suatu pemahaman akan tingkat tinggi dan rendahnya
suatu nilai (Anonim, 2014).
3. Martin
Heidegger
a.
Riwayat Hidup Martin Heidegger
Martin
Heidegger adalah seorang filusuf Jerman yang karyanya terkait dengan
Fenomenologi dan Eksistensialisme. Heidegger lahir pada tanggal 26 September
1889 di Messkirch, Jerman. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi Katholik Roma
yang ketat, dimana ayahnya bertugas sebagai koster pada gereja Katholik Santo
Martinus. Ia mengikuti sekolah menengah di Konstanz dan Freiburg Im Breisgau.
Pada tahun 1909 ia masuk universitas Freiburg untuk belajar di Fakultas
Teologi.
Setelah mempelajari Teologi selama 4 semester,
ia mengubah haluan dan mengerahkan seluruh perhatiannya kepada studi filsafat,
ditambah dengan kuliah-kuliah tentang ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan social. Heidegger memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1913
dengan disertasi tentang Die Lehre Vom
Urteil Im Psychologismus (ajaran tentang putusan dalam psikologisme),
(Hadiwijoyo, 1990: 201).
Pada tahun 1916 Heidegger mulai belajar
filsafat Fenomenologi kepada Husserl, bahkan kemudian ia menjadi asistennya.
Disamping itu selama tahun 1916-1919, Heidegger mencoba mengkaji dogma-dogma
katholik yang rigid dan mengerakkan dogma-dogma tersebut ke faham protestan
liberal. Tahun 1923 ia diangkat menjadi profesor filsafat di universitas
Marburg, disini ia menerbitkan karyanya yang pertama yaitu Being and Time (Sein Und Zeit)
tahun 1927. Dia kembali ke Freiburg pada tahun 1928 untuk menggantikan Edmund
Husserl. Pada tahun 1933 dia memperoleh jabatan Rektor pada unversitas
Freiburg. Dia meninggal pada tanggal 26 Mei 1976, (Anonim, 2011).
Disamping karya monumentalnya Sein Un Zeit, Heidegger juga menerbitkan
banyak karya lagi yang kebanyakan menyajikan salah satu ceramah atau
serangkaian ceramah yang pernah dibawakannya seperti Kant Und Das Problem Der Metaphysic (Kant dan Problem Metafisik,
1929), Was Ist Differanz (Identitas
dan Perbedaan, 1957) dan masih banyak karyanya yang lain, (Anonimi, 2014).
b. Ajaran dan Kefilsafatannya
Menurut
Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang
untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya karena memiliki
kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan,
(Tafsir, 2000: 224).
Bagi
heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus merealisasikan segala
potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu
merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu
bertanggungjawab atas potensi yang belum teraktualisasikan. Dimana setiap
manusia beranggung jawab atas dirinya sendiri.
Perhatian
utama dari seorang Heidegger adalah Ontologi.
Dalam karyanya, “Being dan Time”, ia
mencoba untuk mengakses Being (Sein)
dengan melalui analisis Fenomenologis tentang eksistensi manusia (Dasein) yang berkenaan ke karakter
duniawi dan sejarah manusia. Dalam Being
And Time Heidegger menyatakan bahwa
studi tentang diri kita atau Dasein
(berada-ada) adalah perkara penting untuk menanyakan makna keberadaan.
Ini lantaran kitalah
satu-satunya entitas yang mempersoalkan atau menanyakan makna keberadaan. Kita,
tidak seperti binatang, mampu secara sadar untuk memilih bagaimana kita ingin
berada atau juga apakah kita ingin berada. Konteks dimana kita hidup mungkin
membatasi pilihan yang kita ambil, namun kita masih bisa memilih. Lewat
pilihan-pilihan kitalah ide-ide kita tentang makna keberadaan seorang manusia
mengemuka. Selain itu, aktivitas kita sehari-hari didunia dibentuk oleh
kemampuan kita untuk menngkap fakta keberadaan seluruh entitas. Kita oleh
karena itu memiliki pemahaman ontologism, (Anonim, 2014).
Dalam
persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu filsafat
yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood).
Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia
kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya,
dengan posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan
bisa mengenali diri kita yang sesungguhnya.
Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri
dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati diri siapa kita
sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa kekurangan atau kelebihan yang kita
miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan
lainnya. Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak orang mengenai
sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena,
(Anonim, 2013).
3.
Maurice Merleu-Ponty
a.
Riwayat Hidup Maurice Merleu-Ponty
Maurice Merleu-Ponty adalah seorang filosof
fenomenologi asal Perancis. Ia dilahirkan pada 14 Maret 1908 di
Rochefort-sur-Mer, Charente-Maritime, Perancis. Merleu-Ponty ditinggal ayahnya
yang meninggal pada 1913 akibat perang dunia I. Merleu-Ponty menghabiskan masa
mudanya menuntut ilmu di lycée Louis-le-Grand, Paris.
Setamatnya
dari sana, ia melanjutkan di École Normale Supérieure, dimana ia belajar
bersama-sama dengan pemikir eksistensialis terkemuka, Jean Paul Sartre, Simone
de Beauvoir. Dia menyelesaikan studi di bidang filsafat tahun 1930.
Persahabatannya dengan Sartre berlangsung 7 tahun, sampai ia menentang
keputusan Sartre yang menjadi pengikut Marxisme garis keras, (Anonim,2015).
Merleau-Ponty
pertama kali mengajar di Chartes, untuk kemudian dianugerahi gelar doktoral
atas dua karya pentingnya, La structure du comportement (1942) dan Phénoménologie
de la Perception (1945). Merleu-Ponty juga sempat mengajar di Universitas
Lyon dan Sorbonne, sebelum kemudian terpilih menduduki kursi philosophy di College
de France, sejak 1952 hingga kematiannya pada 1961. Merleu-Ponty adalah orang
termuda yang pernah menduduki kursi tersebut, (Anonim,2015).
b. Ajaran
dan Karya Kefilsafatan
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar
harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri
tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu :
Pertama, hanya
meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang
tentang realita dan Kedua, hanya memperhatikan
segi-segi luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat
mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang
dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi,
yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang
sesuatu alam di atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty
tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi
menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty
menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real, (Anonim,2013).
Corak
filsafatnya sangat dipengaruhi oleh karya Husserl, karena ia berangkat dari
intensionalitas Husserl yang menunjukkan hubungan antara kesadaran dengan
objek. Fenomenologi khas Merleu-Ponty ditujukan untuk menyangkal apa yang
dipandangnya sebagai kecenderungan kembar dari filsafat Barat, yaitu antara empirisme
dan idealisme. Dia berusaha untuk mengartikulasikan relasi antara subjek-objek,
diri-dunia, dan semua dualisme lainnya.
Karya
emas Merleu-Ponty yang membuatnya terkenal adalah Phenomenology of
Perception yang dipublikasikan di Perancis tahun 1945. Dalam buku tersebut
ia berpendapat bahwa makna dari tubuh, atau dia istilahkan dengan
'tubuh-subjek' terlalu dipinggirkan oleh tradisi filsafat Barat yang menganggap
tubuh sebagai objek yang diperintah pikiran untuk melakukan berbagai fungsi.
Dalam hal ini Merleu-Ponty
menunjukkan bahwa segala sesuatu tidaklah muncul sendiri pada kesadaran kita,
pun juga tidaklah nampak karena persepsi yang berasal dari sensasi atomis dalam
pikiran. Sebaliknya,
segala sesuatu yang kita alami dapat ditemukan dari dialog subjek-objek,
(Anonim,2015).
Kehadiran
tubuh sebagai subjek, menurut pria yang meninggal akibat penyakit stroke ini
adalah wahana dari cara mengada manusia yang disebutnya Etre-au-monde. Tubuhku
menunjukkan bahwa aku dan duniaku saling terlibat. Menurutnya melalui tubuhku
aku mengenali obyek-obyek di sekitarku, aku memeriksanya dari segi yang satu ke
segi yang lain sehingga dengan cara itu aku menyadari duniaku dengan
perantaraan tubuhku.
Tubuhku adalah subyek,
karena melalui tubuh sikap-sikap subyektifku kukenali sendiri. Melalui tubuh aku mengungkapkan eksistensiku,
karena aku dikenal sebagai subyek melalui tubuhku. Melaui tubuhku aku memaknai
dan memberi bentuk kepada obyek-obyek. Suatu kubus kukenali sebagai kubus,
suatu bentuk yang bersisi enam dan identik satu sama lain, karena aku
memeriksanya dari segi-ke-segi dengan tubuhku. Akhirnya , tubuhku adalah subyek
karena melaui tubuhku itu aku mengada di dunia. Tidak dapat dibayangkan sebuah
kehadiran tanpa tubuh, (Anonim, 2011).
4.
Sumbangan Filsafat Fenomenologi Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Kontribusi dan tugas fenomenologi
dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan)
tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan
sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut
intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat
ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang
detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana
banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati, (Anonim, 2011).
Demikianlah, dunia kehidupan sosial
merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai
sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang
membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan
dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan
metodologisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar