BAB I
SISTEM FILSAFAT
Manusia adalah mahluk istimewa
yang diciptakan Allah SWT. Keistimewaan
manusia terletak pada potensi-potensi yang Allah berikan kepadanya.Baik itu
potensi yang berupa fisik ataupun non-fisik. Semua potensi fisik manusia
memiliki fungsi yang sangat luar biasa kegunaannya bagi keberlangsungan hidup
manusia itu sendiri, begitupun dengan potensi non-fisik yang terdiri atas: jiwa
(psyche), akal (ratio) dan rasa (sense).
Dengan potensi akalnya, manusia
mampu menjadi mahluk yang lebih mulia kedudukannya daripada mahluk lain. Allah
telah mengaruniai manusia sebuah anugerah yang mampu menjadikan manusia mahluk
yang berbudaya.Berbeda dengan hewan yang tidak mampu berbudaya dikarenakan
hewan tidak memiliki akal. Dengan akalnya ini pula manusia mampu berfikir,
bernalar dan memahami diri serta lingkungannya, berefleksi tentang bagaimana ia
sebagai seorang manusia memandang dunianya dan bagaimana ia menata
kehidupannya.
I. SISTEM FILSAFAT
A. PENGANTAR KEPADA
FILSAFAT
1. Asal Mula Timbulnya Filsafat
Orang Yunani yang hidup pada abad ke-6 SM mempunyai sistem kepercayaan bahwa segala sesuatunya harus diterima sebagai sesuatu yang bersumber pada mitos atau dongeng-dongeng. Artinya suatu kebenaran lewat akal pikir (logis) tidak berlaku, yang berlaku hanya suatu kebenaran yang bersumber dari mitos (dongeng-dongeng).
Setelah abad
ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang menentang adanya mitos. Mereka
menginginkan adanya pertanyaan tentang istri alam semesta ini, jawabannya dapat diterima akal
(rasional). Keadaan yang demikian ini sebagai suatu demitiologi, artinya suatu
kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal pikir dan meninggalkan hal-hal
yang sifatnya mitologi.
Upaya para ahli
pikir untuk mengarahkan kepada suatu kebebasan berfikir, ini kemudian banyak
orang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara
murni, maka timbullah peristiwa ajaib The Greek Miracle yang
artinya dapat dijadikan sebagai landasan peradaban dunia (Muzairi, 2009:41-42).
a. Dari
Mitos Menuju Logos
Mitos merupakan
cara manusia untuk menjelaskan kehidupan melalui cerita, dongeng, legenda, dll.
Cerita, dongeng, dan legenda tersebut memunculkan tokoh pahlawan yang didewakan
atau dewa-dawa itu sendiri .manusia menjelaskan realita yang ada dengan menghadirkan
sosok dewa-dewi yang mengatur kehidupan. Apa
yang mereka terima lebih berupa ‘wahyu.’ Karena penjelasan tersebut
diterima begitu saja turun temurun tanpa disertai penelitian (Anonim, 2010).
Mitos juga didefinisikan didalam kamus ilmiah popular sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan kepercayaan primitif, tentang kehidupan alam gaib yang
timbul dari usaha-usaha manusia yang tidak ilmiyah dan tidak berdasarkan pada
pengalaman yang nyata untuk menjelaskan dunia. Mitos juga dapat diartikan
sebagai suatu keyakinan yang keliru yang mempengaruhi pengalaman manusia atau
sesuatu yang tidak masuk akal karena tidak logis atau tidak berdasarkan pada
logika (Anonim, 2010).
1)
Logos
Yang dimaksud dengan logos adalah prinsip-prinsip rasional yang mengatur dan mengembangkan alam semesta. Secara umum logos juga bisa diartikan sebagai ilmu.
Yang dimaksud dengan logos adalah prinsip-prinsip rasional yang mengatur dan mengembangkan alam semesta. Secara umum logos juga bisa diartikan sebagai ilmu.
Logos juga bisa
dihubungkan dengan logika karna logika itu sendiri memiliki arti suatu pemikiran
yang membuat kita mengetahui mana yang masuk akal dan mana yang tidak masuk
akal. Atau sesuatu yang masuk akal itu bisa disebut sesuatu yang logis.
Hal ini sangat
jelas berbeda dengan mitos, karna pada penjelasan yang telah diuraikan diatas
mitos disebut sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, maka logos mempunyai arti
yang sebaliknya dari mitos, logos lebih mengedepankan sesuatu yang logis dan
dapat diterima oleh akal.Dari uraian disini maka sangatlah terlihat jelas
bahwasanya mitos dan logos merupakan sesuatu yang sangat berbeda dan bertolak
belakang antara satu dengan yang lain. Akan tetapi semua ini akan bisa kita
tenemukan hubungan antara mitos dan logos dengan mempelajari ilmu filsafat (Anonim, 2014).
Munculnya filsafat
di Yunani, sering disebut orang sebagai The Greek Miracle (keajaiban
Yunani). Disebut sebagai keajaiban, karena sulitnya ditemukan alasan-alasan
yang dapat dipertanggung jawabkan yang bisa menerangkan dan menjawab pertanyaan
kenapa filsafat lahirnya di Yunani.
Namun demikian, tumbuh
suburnya cerita-cerita mitos di tengah-tengah masyarakat Yunani bisa dianggap
sebagai hal yang mempermudah lahirnya filsafat. Secara demikian, unsur mitologi
dapat dipandang menjadi faktor pemicu dan yang memudahkan bagi lahirnya
filsafat seperti yang kita kenal sekarang.
Bila kita mengacu
pada pengertian real dari filsafat yaitu Filsafat adalah pengetahuan mengenai
semua hal melalui sebab-sebab terakhir yang didapat melalui penalaran atau akal
budi. Ia mencari dan menjelaskan hakekat dari segala sesuatu. Maka segala
sesuatu yang telah di dapat manusia tentang segala sesuatu yang bersifat tidak
absolut, sulit dibuktikan kebenaranya atau yang berupa mitos.
Manusia berusaha
menggali lebih dalam tentang kebenaran sesuatu yang ia dapatkan dengan filsafat
itu sendiri agar apa yang ia dapatkan itu bersifat logos. Dalam hal ini
filsafat dikatakan sebagai upaya manusia untuk membebaskan diri dari
belenggu-belenggu mitos dengan menggunakan logos (Anonim, 2012).
Dengan berfilsafat dan berfikir secara mendalam, kita akan memperoleh
bukti-bukti ilmiah dan rasional, yang mana bukti tersebut dapat digunakan untuk
membuktikan kebenaran mitos tersebut dan mitos yang tidak terbukti kebenarannya
akan ditinggalkan masyararakat, maka jelas dengan filsafat orang bisa merubah
sesuatu yang tidak masuk akal menjadi masuk akal.
Maka dari pikiran
dengan ini filsafat mulai menunjukan perananya dalam memajukan pikiran manusia
dan membuat sejarah baru dalam dunia pemikiran manusia. Dahulu manusia hanya
menerima secara mutlak segala sesuatu yang sampai kedapanya tanpa memikirkan
atau mencari hakekat kebenaran dari sesuatu yang ia dapatkan itu.
Contoh yang dapat
kita ambil dari peranan atau kontribusi filsafat dalam mendekonstruksi mitos
adalah, pada zaman dahulu orang percaya kepada mitos yang mengatakan hilangnya
kapal laut di lautan kemudian ditemukan kembali setelah kurun waktu yang tidak
menentu itu disebabkan kapal tersebut diambil oleh roh jahat atau diambil oleh
si penjaga laut.
Mereka menganggap
alasan roh jahat ataupun si penjaga laut untuk menambil kapal laut itu karena
ia marah yang disebabkan oleh kapal laut yang melanggar aturan untuk tidak
melewati kawasan laut tertentu (Anonim, 2010).
Ternyata setelah dicari kebenaran
mitos tersebut dengan melakukan penalaran dengan akal sehat serta studi tentang
ilmu yang berkaitan dengan itu juga melakukan upaya dekonstruksi kepada mitos
itu, maka ditemukan kelemahan dan ketidak absolutnya mitos itu, yaitu
ditemukanya semacam bukit yang terdapat di dalam samudra atau yang lazim disebut
palung.
Yang mana dengan
keberadaan palung tersebut ketika air laut bergelombang maka air laut dan
barang-barang yang berada tepat diatas palung tersebut masuk kedalam palung
tersebut dengan bentuk pusaran air, dan setelah itu dimuntahkan atau dikeluarkan
kembali setelah beberapa saat.
Dari kejadian ini
dapat kita tangkap bahwa sebuah mitos dapat diruntuhkan dengan ditemukanya
kebenaran yang logis dengan menggunakan filsafat dalam menemukan kebenaran,
setelah melakukan penalaran, penelitian, analisa kejadian terakhir dan studi
ilmu.Oleh karna itu filsafat mempunyai peranan yang sangat penting dalam
merubah mitos menjadi logos, dan pada intinya filsafat mampu merubah mitos
menjadi logos atau filsafat mampu merubah sesuatu yang tidak masuk akal menjadi
masuk akal (Anonim, 2010).
Filsafat mendekanstruksi
(menghancurkan sampai pondasi) merubah total menghilangkan bentuk awal
dari mitos menjadi logos. Dengan cara mengubah cara pikir (budaya mentalitas)
primitif menjadi berkelas dengan fenomna-fenomna ilmiah dengan penelitian dan
pembuktian yang brdasarkan logika dan dapat diterima.
Bahwa tidak ada sesuatu yang serta
merta tiba-tiba terjadi tanpa ada proses didalamnya. Filsafat menggiring
manusia pada hakekatnya dan menggunakan bagian dari pada dirinya yang membedakanya
dengan yang lain secara optimal berdasarkan fungsinya yaitu berfikir.itulah
penyebab beralihnya mitos menjadi logos (Anonim, 2012).
b.
Rasa
InginTahu
Keindahan alam besar, terutama ketika malam hari, menimbulkan keinginan
pada orang Grik untuk mengetahui rahasia alam itu. Keinginan mengetahui rahasia
alam, berupa rumusan-rumusan pertanyaan, ini juga menimbulkan filsafat
(Tafsir.1990:14).
Pada zaman modern ini penyebab timbulnya pertanyaan adalah kesangsian.
Sangsi itu merupakan setingkat dibawah percaya dan setingkat di atas tak
percaya. Bila manusia menghadapi suatu pernyataan, ia mungkin percaya, dan ia
mungkin tidak percaya. Akan tetapi, ia mungkin juga percaya tidak percaya juga
tidak. Inilah sangsi.
Bagi filosof pertanyaan itu
menggelisahkan, merintangi, mengganggu. Pertanyaan yang membentur dalam pikiran
itu dalam bahasa Yunani disebut problema, yang menunjukkan sesuatu yang ditaruh
di depan, merintangi perjalanan kita, harus disingkirkan agar tidak membentur
kaki (Beerling, 1966:10).
Sangsi menimbulkan pertanyaan.
Pertanyaan menyebabkan pikiran bekerja. Pikiran bekerja menimbulkan filsafat.
Jadi, ingin tahu itulah pada dasarnya penyebab timbulnya filsafat. Ingin
tahu ini dahulunya disebabkan oleh dongeng dan keheranan pada kebesaran alam;
pada zaman modern ingin tahu timbul karena sangsi, lantas ingin kepastian.
Ingin tahu muncul dalam bentuk pertanyaan. Pertanyaan menimbulkan filsafat
(Surajiyo, 2012: 17).
Adanya keinginan
mempertentangkan antara mite dan logos disebabkan oleh rasa keingintahuan
manusia tentang dunia yang dihadapinya. Mite-mite yang sifatnya tidak rasional
memberikan ketidakpuasan manusia sehingga mendorong mereka mencari jawabannya
pada logos. Jawaban-jawaban inilah yang kemudian disebut filsafat.
Dalam kaitan ini Dick
Hartoko mengatakan : filsafat berawal dari rasa heran dan kagum, hal-hal yang
dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebelumnya luar biasa, kelahiran dan
kematian, ada dan tidak ada susul menyusul. Manusia mencari prinsip umum yang
mendasari keseluruhan sebagai suatu sistem atau struktur yang memberi arti
kepada segala sesuatu (Anonim, 2009).
Jadi, rasa ingin tahu akan menyebabkan timbulnya filsafat, dari
rasa ingin tahu tersebut dapat dilontarkan melalui pertanyaan-pertanyaan, dari
pertanyaan tersebut menyebabkan otak akan bekerja dan mulai berfikir dan
berfilsafat untuk menemukan jawaban yang bisa memuaskan hati dan menjawab rasa
ingin tahu tersebut.
c.
Rasa
Takjub
Menurut
Beerling (1966:8) yang dikutip Tafsir (1990:14) mengatakan bahwa orang Yunani
yang mula-mula sekali berfilsafat di barat mengatakan bahwa filsafat timbul
karena ketakjuban. Ketakjuban menyaksikan keindahan dan kerahasiaan alam
semesta ini lantas menimbulkan keinginan mengetahuinya.
Plato
mengatakan bahwa filsafat dimulai dari ketakjuban. Sikap heran atau takjub itu
akan lahir dalam bentuk bertanya. Pertanyaan itu memerlukan jawaban. Bila
pemikir menemukan jawaban, jawaban itu dipertanyakan lagi karena ia selalu
sangsi pada keheranan yang ditemukannya.
Patrick
(Mulder, 1966) mengatakan, manakala keheranan mereka menjadi serius dan
penyelidikan menjadi sistematis, mereka menjadi filosofis. Sartre (Beerling,
1966) mengatakan bahwa kesadaran pada manusia ialah bertanya yang
sebenar-benarnya. Pada bertanya itulah manusia berada dalam kesadarannya yang
sebenar-benarnya.
Banyak
filusuf menunjukkan rasa heran (dalam bahasa Yunani Thaumasia) sebagai
asal filsafat . Plato misalnya mengatakan: “Mata kita memberi pengamatan
bintang-bintang, matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk
menyelidiki. Dari penyelidikan ini berasal filsafat” (Surajiyo.2012:15).
Rasa heran,
orang-orang yang berfilsafat, awalnya akan dirundung rasa heran mendalamtentang
sesuatu hal. Tentang hidup, tentang cara kerja alam, tentang cara apapun yang
diherankan.Dalam bahasa Yunani, hal itu disebutThaumasia rasa heran dan kagum terhadap sesuatu
hal.Seperti kata Plato, filsafat itu ada berawal dari dorongan rasa ingin tahu
yang menyelidiki tentangbintang-bintang, matahari, dan fenomena alam lainnya.
Dari situlah
muncul filsafat sebagai sesuatuyang selalu ingin tahu. Dan karena itulah,
filsuf-filsuf awal yang mulai berfilsafat adalah para filsufalam, seperti
Thales, Anaximandros, Anaximenes, dan herakleitos. Para filsuf itu, pada masa itu,mulai
mencari-cari tahu tentang prinsip kerja alam semesta. Ketika itu mereka
berfilsafat dengan alam (Anonim, 2010).
Selain rasa
ingin tahu dan pertentangan antar mitos dan logos, menurut Plato, filsafat juga
lahir karena adanya kekaguman manusia tentang dunia dan lingkungannya. Rasa
kagum mendorong manusia untuk memberikan jawaban-jawaban dalam bentuk praduga.
Praduga ini
kemudian dipikirkan oleh logos dalam bentuk rasionalisasi. Rasionalisasi ini
merupakan awal lahir filsafat, misalnya para filsut Yunani yang kagum terhadap
alam semesta, mencoba merumuskan asal muasal arche dari alam semesta tersebut
sehingga muncullah aneka teori diantaranya :
a.
Thales yang
mengatakan bahwa alam semesta berasal dari air
b.
Anaximandros
yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari apairon
c.
Anaximenes yang
mengatakan bahwa alam semesta berasal dari udara
d.
Democrios yang
mengatakan bahwa alam semesta berasal dari atom
e.
Empedocles yang
mengatakan bahwa alam semesta berasal dari empat unsur yaitu api, tanah, air
dan udara (Anonim, 2009).
d.
Keterbatasan
Hidup
Menurut
Harry Hamersma, Manusia mulai berfilsafat jika ia menyadari bahwa dirinya itu
sangat kecil dan lemah terutama bila dibandingkan dengan alam sekelilingnya.
Manusia merasa bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada waktu
mengalami penderitaan atau kegagalan. Dengan kesadaran akan keterbatasan
dirinya ini manusia mulai berfilsafat. Ia mulai memikirkan bahwa di luar
manusia yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas (Surajiyo,2012:15).
Rasa keterbatasan, kesadaran,
dan ketidakberdayaan. Manusia, sering sekali merasa dirinya lemah, takberdaya,
mereka sadar bahwa tak selamanya mereka merasa segalanya, kuncinya adalah,
mereka sadar. Setelah sadar, mereka melakukan perenungan-perenungan untuk
menyetabilkan rasa keterbatasan itu.
Dalam keterbatasan, di situlah
manusia berfilsafat. Contohnya adalah, ketika mereka terbaring sakit tak
berdaya, lemah, mereka sadar bahwa mereka terbatas dalam suatu hal. Lalu,
mereka mempertanyakan suatu hal yang mengganjal di hati mereka, misalnya,
kenapa aku sakit? Untuk apa aku sakit? Atau bisa juga suatu kondisi miskin dan
kaya.
Misalnya, mengapa aku miskin? Aku rajin
ibadah, tapi kenapa aku miskin? Kenapa mereka yang kaya? Setiap ada situasi
yang membatasi gerak mereka, melemahkan nalar, dan menyadarkan jiwa, maka saat
itulah manusia mulai berfilsafat (Anonim, 2010).
2.
Arti
dan Definisi Filsafat
Pengertian
filsafat, dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan antara satu ahli
filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda, dan hampir samabanyaknya
dengan ahli filsafat itu sendiri. Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua
segi, yakni secara etimologi dan terminology.
a. Arti Filsafat secara
Etimologi
Filsafat
secara etimolgis berasal dari bahasa Yunani Philosophia,Philos artinya
suka, cinta atau kecenderungan pada sesuatu, sedangkan Sophia artinya
kebijaksanaan. Dengan demikian secara sederhana dapat diartikan cinta atau
kecenderungan pada kebijaksanaan (Mustansyir dan Munir, 2009:2).
Menurut
Lasiyo dan Yuwono, kata filsafat yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah
falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philoshopy
adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri
atas kata philein yang berarti cinta (love) dan Sophia yang
berarti kebijaksanaan (wisdom).
Sehingga
etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang
sedalam-dalamnya. Dengan demikian, seorang filsuf adalah pecinta atau pencari
kebijaksanaan. Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Pyhtagoras (582-496
SM) (Surajiyo.2012:1).
Menurut
Poedjawijatna (1974) yang dikutip dalam bukunya Ahmad Tafsir (1990:9)
menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat
dengan kata Yunani, bahwa asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya
adalah philosophia. Dalam bahasa Yunani kata philosophia.
Merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan Sophia, philo artinya
cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai
yang diinginkan itu.
Sophia artinya kebijakan yang artinya pandai, pengertian
yang mendalam. Jadi, menurut namanya saja filsafat boleh diartikan ingin
mencapai pandai, cinta pada kebijakan.
Menurut Nasution yang dikutip Amsal (1996:6)
mengatakan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitufalsafaadenganawazanaatauatimbanganafa’lala, fa’lalah dan fi’lal . Kalimat
isim atau kata benda dari kata
falsafa ini
adalah falsafah
dan filsaf .
Dalam bahasa Indonesia, lanjut
Harun banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan
dari kata
falsafah (Arab)
dan bukan pula dari philosophy (Inggris), bahkan juga bukan merupakan gabungan dari dua
kata fill (mengisi atau menempati) dalam bahasa Inggris dengan safah
(jahil atau tidak berilmu) dalam
bahasa Arab sehingga membentuk istilah filsafat.
Konon
Phytagoras, seorang filsuf Yunani klasik, mengambil kata “filsafat” dari dua
kata berbahasa Yunani, yaitu Philo dan Sophia. Philo
berarti cinta, sedangkan Sophia berarti bijaksana. Jadi kata Philosophia
berarti cinta kebijaksanaan (Isma’il dan Mutawalli, 2012:17).
Jadi,
menurut beberapa kutipan di atas, dapat dipahami bahwa pengertian filsafat
secara etimologi ialah keinginan yang mendalam untuk mendapat kebijakan, atau
keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak.
b.
Arti
Filsafat secara Terminologi
Secara
terminologi adalah arti yang dikandung oleh istilah filsafat. Dikarenakan
batasan dari filsafat itu banyak maka sebagai gambaran perlu diperkenalkan
sebagai berikut.
Poejawitna
(1974) mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha
mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran
belaka.
Hasbullah Bakry (1971) mengatakan bahwa
filsafat ialah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan
mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan juga manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai
akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai
pengetahuan itu.
Para
filusuf mengartikan filsafat secara terminology sebagai berikut :
1)
Plato
Plato
berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai
pengetahuan tentang kebenaran yang asli.
2)
Aristoteles
Menurut
Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan)yang meliputi kebenaranyang di
dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika retorika, etika, ekonomi,
politik dan estetika (filsafat keindahan).
3)
Al
Farabi
Filsuf
Arab ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang hakikat
bagaimana alam maujud yang sebenarnya.
4)
Rene
Descartesi
Menurut
Descartes, filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan dimana Tuhan, alam, dan
manusia menjadi pokok penyelidikan.
5)
Immanuel
kant
Menurut
Kant, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menjadi pangkal dari
semuapengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat diketahui.
6)
Hasbullah
Bakri
Menurut
Bakry, ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan
mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan juga manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai
akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai
pengetahuan itu (Abbas Hamami M, 1976).
7)
Langeveld
Mahaguru
Rijks-Universiteit Utrecht ini berpendapat bahwa filsafat adalah berfikir
tentang masalah-masalah yang akhir dan menentukan, yaitu masalah-masalah
mengenai makna keadaan, Tuhan, keabadian, dan kebebasan (Surajiyo. 2012 : 2).
Ada
beberapa definisi filsafat yang telah diklasifikasikan berdasarkan watak dan
fungsinya sebagai berikut:
a.
Filsafat
adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
b.
Filsafat
adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi (arti formal)
c.
Filsafat
adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha
untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan
sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif)
d.
Filsafat
adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan
konsep. Corak filsafat yang demikian ini juga dinamakan juga logosentrisme (Mustansyir
dan Munir,2009:3).
Jadi,
pengertian filsafat secara terminologi
ialah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami secara
radikal dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan
manusia.
c.
Definisi
Filsafat Menurut Filosof
Pengertian filsafat secara singkat
menurut beberapa tokoh filsafat sebagai berikut:
1)
Pythagoras (572-497 SM); Menurut
tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, Pyhtagoras adalah orang yang
pertama-tama memperkenalkan istilah philosophia, kata yang berasal dari bahasa
Yunani yang kelak dikenal dengan istilah filsafat. Ia memberikan definisi
filsafat sebagai the love of wisdom.
Menurut Pythagoras, manusia yang
paling tinggi nilainya adalah manusia pecinta kebijakan (lover of wisdom),
sedangkan yang dimaksud dengan wisdom adalah kegiatan melakukan perenungan
tentang Tuhan. Pythagoras sendiri menganggap dirinya seorang pylosophos
(pecinta kebijakan), baginya kebijakan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki
semata-mata oleh Tuhan.
2)
Socrates (469-399 SM); Ia adalah
seorang filsuf dalam bidang moral yang terkemuka setelah Thales pada jaman
Yunani Kuno. Socrates memahami bahwa filsafat adalah suatu peninjauan diri yang
bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil
dan bahagia (principles of the just and happy life).
3)
Plato (427-347 SM); Seorang sahabat
dan murid socrates ini telah mengubah pengertian kearifan (sophia) yang semula
bertalian dengan soal-soal praktis dalam kehidupan menjadi pemahaman
intelektual. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencari
kebenaran asli.
Dalam karya tulisnya Republic Plato ia
menegaskan bahwa para filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran
(vision of truth). Dalam pencarian terhadap kebenaran tersebut, hanya filsuf
yang dapat menemukan dan menangkap pengetahuan mengenai ide yang abadi dan tak
berubah.
Dalam
konsepsi Plato, filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau
perekaan terhadap pandangan tentang seluruh kebenaran. Filsafat Plato tersebut
kemudian dikenal dengan filsafat spekulatif.
4)
Aristoteles (384-322 SM);
Aristoteles adalah salah seorang murid Plato yang terkemuka. Menurut
pendapatnya, sophia (kearifan) merupakan kebajikan intelektual tertinggi,
sedangkan philosophia merupakan padanan kata dari episteme dalam arti suatu
kumpulan teratur pengetahuan rasional mengenai sesuatu objek yang sesuai.
Menurutnya juga, filsafat adalah
pengetahuan yang meliputi kebenaran yang didalamnya tergabung metafisika,
logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika.
5)
Aliran Stoicisme; Aliran filsafat
ini berkembang setelah lahirnya kerajaan Romawi Kuno. Pada dasarnya filsafat
adalah suatu sistem etika untuk mencapai kebahagiaan dalam diri masing-masing
orang dengan mengusahakan keselarasan antara manusia dengan alam semesta.
Keselarasan
itu dapat tercapai dengan hidup sesuai alam dengan mengikuti petunjuk akal
sebagai asas tertinggi sifat manusiawi. Bagi para filsuf Stoic, filsafat adalah
suatu pencarian terhadap asas-asas rasional yang mempertalikan alam semesta dan
kehidupan manusia dalam suatu kebulatan tunggal yang logis.
6)
Al-Kindi (801-873 M); Ia adalah
seorang filosof muslim pertama. Menurutnya filsafat adalah pengetahuan tentang
hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para
filosof dalam berteori adalah mencari kebenaran, maka dalam berprakteknya pun
harus menyesuaikan dengan kebenaran pula.
7)
Al-Farabi (870-950 M); Menurutnya,
filsafat adalah pengetahuan tentang bagaimana hakikat alam wujud yang
sebenarnya.
8)
Francis Bacon (1561-1626 M); Seorang
filsuf Inggris ini mengemukakan metode induksi yang berdasarkan pengamatan dan
percobaan menemukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Ia menyebut filsafat
sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (The great mother of the sciences) (Bakhtiar, 2010).
9)
Henry Sidgwick (1839-1900 M); Dalam
bukunya Philosophy, Its Scope and Relations: An Introductory Course of Lectures
Henry Sidgwick menyebutkan bahwa filsafat sebagai scientia scientarium (ilmu
tentang ilmu).
Karena filsafat memeriksa
pengertian-pengertian khusus, asas-asas pokok, metode khas, dan
kesimpulan-kesimpulan utama dalam suatu ilmu apapun dengan maksud untuk
mengkoordinasiakan semuanya dengan ha-hal yang serupa dari ilmu-ilmu lainnya.
10)
Bertrand Russel (1872-1970 M);
Seorang filsuf inggris lainnya yang bernama lengkap Bertrand Arthur William
Russel ini menganggap filsafat sebagai kritik terhadap pengetahuan, karena
filsafat memeriksa secara kritis asas-asas yang dipakai dalam ilmu dan dalam
kehidupan sehari-hari, dan mencari suatu ketakselarasan yang dapat terkandung
dalam asas-asas itu (Anonim, 2012).
11)
J. A. Leighton; Ia menegaskan bahwa
filasafat mencari suatu kebulatan dan keselarasan pemahaman yang beralasan
tentang sifat alami dan makna dari semua segi pokok kenyataan. Suatu filsafat
yang lengkap meliputi sebuah pandangan dunia atau konsepsi yang beralasan
tentang seluruh alam semesta dan sebuah pandangan hidup atau ajaran tentang
berbagai nilai, makna, dan tujuan kehidupan manusia.
12)
John Dewey (1858-1952) ; dalam karangannya Role of
Philosophy in The History of Civilizations (Proceedings of The Sixht
International Congress of Phylosophy) ia menganggap filsafat sebagai suatu
sarana untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian antara hal-hal yang lama dengan
yang baru dalam penyesuaian suatu kebudayaan.
Filsafat merupakan suatu pengungkapan dari
perjuangan-perjuangan manusia dalam usaha yang terus menerus untuk menyesuaikan
kumpulan tradisi yang lama dengan berbagai kecenderungan ilmiah dan cita-cita
politik yang baru.
13)
Poedjawijatna (1974); Ia menyatakan bahwa kata filsafat
berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan
asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya adalah ialah philosophia. Dalam
bahasa Yunani kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo
dan sophia.
Philo artinya cinta dalam arti yang
luas, yaitu ingin, dan karena itu selalu berusaha untuk mencapai yang
diinginkannya itu. Sophia artinya kebijakan yang artinya pandai, pengertian
yang mendalam. Jadi menurutnya, filsafat bisa diartikan ingin mencapai kepandaian,
cinta pada kebijakan. Ia juga mendefinisikan filsafat sebagai sejenis
pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala
sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
14)
A. Sonny Keraf & Mikhael Dua; mereka mengartikan ilmu filsafat sebagai
ilmu tentang bertanya atau berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan
tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang. Thinking about
thinking (Anonim, 2012).
15)
Menurut Fuad Hasan, Filsafat adal suatu ikhtisar
untuk berfikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya
suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal
itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
16)
I.R Poedjawitna, filsafat ialah ilmu yang
berusaha mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu bagi segala sesuatu
berdasarkan atas fikiran belaka (Sydzali dan Mudzakir.1999:17).
Jadi, dari
beberapa pendapat para filusuf, dapat dipahami bahwa pengertian filsafat adalah ilmu ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan
mempergunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat tidak mempersoalkan tentang
gejala-gejala atau fenomena, tetapi mencari hakikat dari suatu gejala
atau fenomena.
3.
Objek
Kajian Filsafat
Objek
adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian atau pembentukan
pengetahuan.Setiap ilmu pasti mempunyai objek, yang dibedakan menjadi dua,
yaitu objek material filsafat dan objek formal.
a.
Objek
Material Filsafat
Objek
material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan
pengetahuan itu. Objek material juga adalah hal yang diselidiki, dipandang,
atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Objek material mencakup apa saja, baik
hal-hal yang konkret ataupun hal yang abstrak (Surajiyo.2012:7).
Objek
yang diselidiki disebut dengan objek material, yaitu segala yang mungkin ada
dan mungkin ada tadi bersifat konkret seperti manusia, hewan, tumbuhan, benda,binatang, dan lain-lain maupun yang bersifat abstrak. Tentang objek material
ini banyak yang sama dengan material sains. Bedanya ialah dalam dua hal.
Pertama, sains menyelidiki objek material yang empiris,
filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris,
melainkan bagian yang abstraknya.Kedua, ada objek material filsafat yang memang
tidak dapat diteliti oleh sains, seperti tuhan, hari akhir, yaitu objek
material yang untuk selama-selamanya tidak empiris. Jadi objek materia filsafat
tetap saja lebih luas dari objek material sains (Tafsir,1990:21).
Jadi,
dapat dikatakan bahwa objek material filsafat ialah suatu bahan yang dapat
dijadikan sebagai tinjauan penelitian yang bersifat konkret dan abstrak.
b.
Objek
Formal Filsafat
Objek
formal, yaitu sudut pandangan yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau
pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu disorot.
Objek formal suatu ilmu tidak hanya member keutuhan suatu ilmu, tetapi pada
saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang lain.
Satu
objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut sudut pandangan sehingga
menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Misalnya, objek materialnya adalah
“manusia” dan manusia ini ditinjau dari sudut pandangan yang berbeda-beda
sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia diantaranya psikologi,
antropologi, sosiologi, dan sebagainya (Tafsir, 2000).
Objek
formal filsafat, yaitu sudut pandangan yang menyeluruh, secara umum sehingga
dapat mencapai hakikat dari objek materialnya.(Lasiyo dan Yuwono, 1985).Oleh
karena itu, yang membedakan antara lain filsafat dengan ilmu lain terletak
dalam objek material dan objek formalnya.
Kalau
dalam ilmu-ilmu lain objek materialnya membatasi diri, sedangkan pada filsafat
tdak membatasi diri.Adapun pada objek formalnya membahas objek materialnya itu
sampai ke hakikat atau esensi dari yang dihadapinya (Surajiyo.2012:7).
Objek formal filsafat, yaitu Cara
memandang seorang peneliti terhadap objek materi tertentu. Suatu objek materi
tertentu dapat ditinjau dari berbagai macam sudut pandang yang berbeda, yang
mana objek formal filsafat ialah penyelidikan yang mendalam artinya ingin
taunya filsafat ingin tau bagian dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu
tentang objek yang tidak empiris.
Penyelidikan
sains tidak mendalam karea ia hanya ingin tau sampai batas objek itu dapat diteliti
secara empiris.sedangkan objek penelitian filsafat adalah pada daerah tidak
dapat diriset tetapi dapat dipilarkan secara logis jadi sains menyelidiki
dengan riset sedangkan filsafat menyelidiki dengan pemikiran (Tafsir, 2001:21).
Yang
menjadi objek formal dari filsafat ialah hal-hal yang menyangkut hakikat, sifat
dasar arti atau makna terdalam dari sesuatu itu. Misalnya mengenai manusia,
yang dipersoalkan ialah mengenai apa hakikat manusia itu. Tentu saja bukan
hal-hal yang dapat dijangkau dengan pengamatan indera, tetapi sma sekali hanya
dapat dicapai dengan kemampuan rasio, rasa dan logika. Sebab tentang hakikat
sesuatu bukanlah mengenai hal yang sifatnya empiric (Sydzali dan Mudzakir,
1999:17).
Jadi,
dari beberapa kutipan di atas dapat dipahami bahwa objek formal filsafat
merupakan sudut pandangan yang ditujukan pada bahan dari penelitian yang
sifatnya menyeluruh dan , secara umum sehingga dapat mencapai hakikat dari
objek materialnya. Atau bisa dikatakan objek formal adalah ilmu yang mempelajari
objek material tersebut.
a.
Ciri-Ciri
Filsafat
Menurut
Suyadi M.P yang dikutip dalam bukunya Suraji (2012), Pemikiran kefilsafatan
mempunyai karakteristik sendiri, yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.
a.
Menyeluruh
Artinya,
pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari
satusudut pandangan tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan
antara ilmu yang satu dengan ilmu-ilmu yang lain, hubungan ilmu dengan moral,
seni, dan tujuan hidup (Surajiyo, 2012:13).
Menurut
Sumarna (2004:16), menjelaskan bahwa sifat berfikirnya menyeluruh. Seorang
filosof tidak puas mengenal ilmu hanya dari perspektif ilmu itu sendiri. Ia
ingin melihat ilmu dalam perspektif yang lain. Ia ingin menghubungkan ilmu
dengan aspek-aspek yang lain.
b.
Mendasar
Artinya,
pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial objek
yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai
dan keilmuan.Jadi tidak hanya berhenti pada periferis (kulitnya) saja, tetapi sampai
tembus ke dalamnya (Surajiyo, 2012:13).
Menurut
Sumarna (2004:16), sifat berfikirnya mendasar. Seorang filosof selalu meragukan
da selalu memberikan pertanyaan terhadap kebenaran atau pengetahuan yang
diperolehnya. Misalnya, ia mempertanyakan mengapa ilmu dapat disebut
benar?bagaimana proses penilaian berdasarkan criteria tersebut
dilakukan?seperti sebuah lingkaran, pertanyaan-pertanyaan terhadap kebenaran
yang dianutnya.
c.
Spekulatif
Menurut Sri Suprapto
Wirodiningrat yang dikutip Surajiyo (2004) menjelaskan bahwa spekulatif artinya
hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya.Hasil
pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah
pengetahuan yang baru.
Adapun menurut Ali Mudhofir dalam
Surajiyo (2004:32) menyebutkan ciri-ciri berfikir secara kefilsafatan adalah
sebagai berikut:
1)
Berfikir
secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari kata Yunani radix
yang berarti akar. Berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke
akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakikat, esensi atau sampai ke substansi yang
dipikirkan.
Manusia
yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan
hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi.
2)
Berfikir
secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berfikir secara
universal adalah berfikir tentang hal-hal serta proses yang bersifat umum,
dalam arti tidak memikirkan sesuatu yang parsial. Filsafat bersangkutan dengan
pengalaman umum dari umat manusia. Dengan jalan penjajagan yang radikal itu
filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan yang universal.
3)
Berfikir
secara kefilsafatan dicirikan dengan koheren, artinya sesuai dengan kaidah
berfikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
d.
Radikal
Menurut
Sumarna (2004), radikal
berasal dari bahasa Yunani, radix arti dasarnya adalah akar. Berfikir
radikal berarti berfikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, tidak
ada sesuatu yang terlarang untuk dipikirkan.
Berfikir
filsafat memiliki karakteristik sendiri yang dapat dibedakan dari bidang ilmu
lain. Beberapa ciri berfikir kefilsafatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1)
Radikal,
artinya berfikir sampai ke akar-akarnya, hingga samapai pada hakikat atau
substansi yang dipikirkan.
2)
Universal,
artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia.
3)
Komprehensif
artinya mencakup atau menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan merupakan usaha
untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan (Mustansyir dan Munir,
2009:4).
5. Cara Mempelajari Filsafat
Ada
3 macam metode mempelajari filsafat : metode sistematis, metode
historis, dan metode kritis, sebagaimana dikatakan Tafsir (1990:20), yaitu:
1)
Metode
Sistematis
Menggunakan metode ini berarti
pelajar menghadapi karya filsafat. Misalnya mula-mula pelajar menghadapi teori
pengetahuan yang terdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu ia
mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang lain.
Kemudian
ia mempelajari teori nilai dan filsafat nilai. Dengan belajar filsafat melalui metode
ini perhatian kita berpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh ataupun pada
periode.
2)
Metode
Historis
Metode ini digunakan
bila para pelajar mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya, jadi
sejarah pemikiran. Ini dapat dilakukan dengan membicarakan tokoh demi tokoh
menurut kedudukannya dalam sejarah, misalnya dimulai dari membicarakan filsafat
Thales, membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori
pengetahuannya, teori hakikat, maupun dalam teori nilai.
Dalam
menggunakan metode historis dapat pula pelajar menempuh cara lain, yaitu dengan
cara membagi babakan sejarah filsafat. Misalnya mula-mula dipelajari filsafat
kuno (ancient philosophy). Variasi cara mempelajari filsafat dengan
metode historis cukup banyak yang pokok, mempelajari filsafat dengan
menggunakan metode historis berarti mempelajari filsafat secara kronologis.
Untuk pelajar pemula metode ini baik digunakan.
3)
Metode
Kritis
Metode
ini digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif.Pelajar
haruslah sedikit banyak telah memiliki pengetahuan filsafat.Pelajaran filsafat
pada tingkat sekolah pascasarjana sebaiknya menggunakan metode ini
(Tafsir.1990:20).
6. Manfaat Membelajari Filsafat
Manfaat
mempelajari filsafat ada bermacam-macam. Namun sekurang-kurangnya ada 4 macam
faedah, yaitu:
a)
Agar
terlatih berfikir serius
b)
Agar
mampu memahami filsafat
c)
Agar
mungkin menjadi filsafat.
d)
Agar
menjadi warga yang baik.
Selain
itu juga mempelajari manfaat mempelajari filsafat adalah sebagi berikut :
a)
Filsafat
menolong mendidik, membangun diri kita sendiri: dengan berfikir lebih mendalam,
kita mengalami dan menyadari kerohanian kita. Rahasia hidup yang kita selidiki
justru memaksa kita untuk berfikir, untuk hidup dengan sesadar-sadarnya, dan
memberikan kita isi kepada hidup kita sendiri.
b)
Filsafat
memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan
persoalan-persoalan dalam hidup secara dangkal saja, tidak mudah melihat
persoalan-persoalan, apalagi melihat pemecahannya. Dalam filsafat kita dilatih
melihat dulu apa yang menjadi persoalan, dan ini merupakan syarat muthla untuk
memecahkannya.
c)
Filsafat
memberikan pandangan yang luas, membendung akuisme dan aku-sentrisme
(dalam segala hal hanya melihat dan mementingkan kepentingan dan kesenangan si
aku).
d)
Filsafat
merupakan latihan untuk berfikir sendiri, hingga kita tak hanya ikut-ikutan
saja, membuntut pada pandangan umum, percaya akan setiap semboyan dan
surat-surat kabar, tetapi secara kritis menyelidiki apa yang dikemukakan orang,
mempunyai pendapat sendiri, berdiri sendiri, dengan cita-cita mencari
kebenaran.
e)
Filsafat
memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika)
maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa,
ilmu mendidik, dan sebagainya (Syadali dan Mudzakir, 1999:26).
Sesuatu di atas awan dan mencari
rahasia di bawah bumi, sedangkan lubang di depan rumahnya pun tidak tahu. Kalau
begitu, apa ada faidahnya mempelajari filsafat? Sekurang-kurangnya ada empat
macam manfaat mempelajari filsafat: agar terlatik berpikir serius, agar mampu
memahami filsafat, agar mungkin menjadi filosofi, dan agar menjadi warga Negara
yang baik.
Disamping itu manfaat/kegunaan
belajar filsafat bisa didasarkan pada dua pertimbangan, dari sisi ilmu
pengetahuan dan kehidupan sehari-hari.
Jan Hendrik Rappar membagi
kegunaan filsafat ke dalam dua hal, yakni bagi ilmu pengetahuan dan bagi
kehidupan sehari-hari.
1. Kegunaan
Filsafat Bagi Ilmu Pengetahuan
Tatkala
filsafat lahir dan mulai tumbuh, ilmu pengetahuan masih merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari filsafat.Pada masa itu, para pemikir yang terkenal sebagai
filsuf adalah juga ilmuwan.Para filsuf pada masa itu adalah ahli-ahli
matematika, astronomi, ilmu bumi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya.
Bagi
mereka, ilmu pengetahuan itu adalah filsafat, dan filsafat adlh ilmu
pengetahuan. Dengan demikian jelas terlihat bahw pad mulanya filsafat mencakup
keseluruhan ilmu pengetahuan. Berkat ilmu pengetahuanlah manusia dapat meraih
kemajuan yang sangat menakjubkan dalam segal bidang kehidupan. Teknologi canggih
yang semakin mencengangkan dan fantastis adalah salah satu produk dari ilmu
pengetahuan.
Bahkan
pada abad-abad terakhir ini dalam peradapan dan kebudayaan barat, ilmu
pengetahuan telah berperan sedemikian rupa sehingga telah menjadi tumpuan
harapan banyak orang (Anshari,
1987).
2. Kegunaan
Filsafat Bagi Kehidupan Sehari-Hari
Meskipun
filsafat itu abstrak, bukan berarti ia sama sekali tidak bersangkut paut dengan
kehidupan sehari-hari yang kongret. Keabstrakan filsafat tidak berarti bahwa
filsafat itu tidak memiliki hubungan apa pun dengan kehidupan nyata
sehari-hari.
Kendati tidak memberi petunjuk praktis
tentang bagaimana bangunan yang artistik dan elok, filsafat sanggup membantu
manusia dengan memberi pemahaman tentang apa itu artistik dan elok dalam
kearsitekturan sehingga nilai keindahan yang diperoleh lewat pemahaman itu akan
menjadi patokan utama bagi pelaksanaan pekerjaan pembangunan tersebut.
Dengan
demikian, filsafat menggiring manusia ke pengertian yang terang dan pemahaman
ayang jelas. Tak hanya aaitu, ia pun menuntun manusia ke dalam tindakan dan
perbuataaaan yang kongret. Berdasarkan pengertian yang terang dan pemahaman
yang jelas (Anonim,2012).
Menurut Surajiyo (2012:17)
menyatakan bahwa Kegunaan filsafat dapat dibagi menjadi dua, yakni kegunaan
secara umum dan secara khusus. Kegunaan secara umum di maksudkan manfaat yang
dapat diambil oleh orang yang belajar filsafat dengan mendalam sehingga mampu
memecahkan masalah-masalah secara kritis tentang segala sesuatu.
Kegunaan secara khusus dimaksudkan manfaat khusus yang
bisa diambil untuk memecahkan khususnya suatu objek di Indonesia.Jadi khusus
diartikan terikat oleh ruang dan waktu, sedangkan umum dimaksudkan tidak
terikat oleh ruang dan waktu.
Menurut sebagian filsuf, yang
dikutip dari Rifa’I dan Mu’ids (2010:42) kegunaan secara umum filsafat adalah :
a)
Plato
merasakan bahwa berfikir dan memikirkan adalah hal yang nikmat luar biasa
sehingga filsafat diberipredikat sebagai keinginan yang maha berharga.
b)
Rene
Descartes yang termashur sebagai filsafat modern dan pelopor pembaharuan dalam
abad ke 17 terkenal dengan ucapannya cogito ergo sum (karena berfikir
maka saya ada). Tokoh ini mempertanyakan segala-galanya, tetapi dalam keadaan
serba mempertanyakan itu ada hal yang pasti, bahwa aku bersangsi dan bersangsi
berarti berfikir.
Menurut
Rifa’I dan Mu’ids (2010:42) manfaat filsafat dalam kehidupan adalah :
1)
Sebagai
dasar dalam bertindak
2)
Sebagai
dasar dalam mengambil keputusan
3)
Untuk
mengurangi salah paham dan konflik
4)
Untuk
bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.
7. Hubungan Filsafat dengan Ilmu
Pengetahuan
Dalam sejarah filsafat Yunani,
filsafat mencakup seluruh bidang ilmu pengetahuan. Lambat laun
banyak ilmu-ilmu khusus yang melepaskan diri dari filsafat. Meskipun demikian,
filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik
filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis,
sistematis, koheren dan mempunyai obyek material dan formal.
Yang membedakan diantara keduanya
adalah: filsafat mempelajari seluruh realitas, sedangkan ilmu pengetahuan
hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu.
Filsafat adalah induk semua ilmu
pengetahuan. Dia memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan
membantu mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu itu dapat
hidup dan berkembang.
Filsafat membantu ilmu pengetahuan
untuk bersikap rasional dalam mempertanggungjawabkan ilmunya.
Pertanggungjawaban secara rasional di sini berarti bahwa setiap langkah langkah
harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan dan harus dipertahankan
secara argumentatif, yaitu dengan argumen-argumen yang obyektif (dapat dimengerti secara intersubjektif) (Anonim, 2006).
Hubungan antara filsafat dengan ilmu
pengetahuan, oleh Louis Kattsoff dikatakan: Bahasa yang pakai dalam filsafat
dan ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi. Hanya saja bahasa
yang dipakai dalam filsafat mencoba untuk berbicara mengenai ilmu pengetahuan,
dan bukanya di dalam ilmu pengetahuan.
Namun, apa yang
harus dikatakan oleh seorang ilmuwan mungkin penting pula bagi seorang filsuf.
Pada bagian lain dikatakan: Filsafat dalam usahanya mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan pokok yang kita ajukan harus memperhatikan hasil-hasil
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam usahanya menemukan rahasia alam kodrat
haruslah mengetahui anggapan kefilsafatan mengenai alam kodrat tersebut.
Filsafat mempersoalkan istilah-istilah
terpokok dari ilmu pengetahuan dengan suatu cara yang berada di luar tujuan dan
metode ilmu pengetahuan. Dalam hubungan ini Harold H. Titus menerangkan: Ilmu
pengetahuan mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi yang faktual dan
deskriptif, yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat (Anonim, 2012).
Gerard Beekman dalam
bukunya (1973) filsafat, para filsuf, berfilsafat menyatakan bahwa filsafat
memainkan peranan dalam hubungannya dengan semua ilmu pengetahuan. Filsafat
tidak harus mengirim imformasi dari sisi ilmu pengetahuan, tapi
harus memberikan ilmu pengetahuan.
Hubungan Antara Filsafat
dan Ilmu berbagai pengertian tentang filsafat dan ilmu sebagaimana
telah dijelaskan di atas, maka berikutnya akan tergambar pula. Pola hubungan
antara ilmu dan filsafat. Pola relasi ini dapat berbentuk persamaan antara ilmu
dan filsafat, terdapat juga perbedaan diantara keduanya. Di
zaman Plato, bahkan sampai masa al Kindi, batas antara filsafat dan
ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada.
Seorang
filosof pasti menguasi semua ilmu. Tetapi perkembangan pikir manusia yang
mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada loncatan ilmu
dibandingkan dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi
dalam daya perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung
dengan kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat.
Wilayah kajian filsafat bahkan
seolah lebih sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan
dengan wilayah kajian ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian muncul
suatu anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan
kurang relevan dikembangkan ole manusia. Sebab manusia hari ini mementingkan
ilmu yang sifatnya praktis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit
“dibumikan”.
Tetapi masalahnya
betulkah demikian?Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang
terorganisir dan tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih luas,
yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan
eksperimen (Anonim, 2012).
1)
Pengertian Ilmu
Pengetahuan
Menurut Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan
yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang
sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut
bangunannya dari dalam.Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu
adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak (Wasis, 2002: 45).
Pengetahuan
adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik
maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang
berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan
mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi
kebiasaan dan pengulangan-pengulangan.
Dalam hal ini
landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan
tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji
lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and
errordan berdasarkan pengalaman belaka (Supriyanto, 2003: 34).
2) Korelasi Filsafat Ilmu dan Pengetahuan
Filsafat ilmu
dengan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan. Walaupun sekarang telah
lahir beberapa ilmu pengetahuan seperti ilmu sains dan sosial, namun peran
filsafat tidak hilang. Filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang
membicarakan obyek khusus, yaitu ilmu pengetahuan yang memiliki sifat dan
karakteristik tertentu hampir sama dengan filsafat pada umumnya dan filsafat
ilmu sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan, ia merupakan kerangka
dasar dari proses keilmuan itu sendiri.
Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan
keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan
menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan
dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu
yang selalu berubah (Wasis, 2012:36).
Hubungan
filsafat dengan ilmu dapat dirumuskan sebagai berikut:
a)
Filsafat
obyeknya lebih luas, sifatnya universal sedangkan ilmu pengetahuan obyeknya
terbatas, lapangan saja.
b)
Filsafat
hendak memberi pengetahuan, pemahaman yang mendalam dengan menunjukan sebab-sebab
sedangkan ilmu pengetahuan dengan menunjukan sebab-sebab, tetapi tidak begitu
mendalam.
Menurut Henderson,
yang dikutip dalam bukunya Burhanudin, memberikan gambaran hubungan (dalam hal
ini perbedaan) antara filafat dan ilmu adalah sebaga berikut:
1)
Ilmu
(science)
a)
Anak
filsfat
b)
Analitis,
memeriksa semua gejala melalui unsur terkecilnya untuk memperoleh gambaran
senyatanya menurut bagian-bagiannya
c)
Menekankan
fakta-fakta untuk melukiskan obyeknya, netral dan mengabstrakkan faktor
keinginan dan penilaian manusia.
d)
Memulai
sesuatu engan menggunakan asumsi-asumsi.
e)
Menggunakan
metode eksperimen yang terkontrol sebagai cara kerja dan sifat terpenting,
memuji sesuatu dengan pengindraan
2)
Filsafat
a)
Induk
ilmu
b)
Sinoptis,
memandang dunia dan alam semesta sebagai keseluruhan, untuk dapat
menerangkannya, menafsirkannya, dan memahaminya secara keeluruhan.
c)
Bukan
saja menekankan keadaan sebenarnya dari obyek, melainkan juga bagaimana
seharusnya obyek itu. Manusia dan nilai merupakan faktor penting.
d)
Memeriksa
dan meragukan segala sumsi-asumsi.
e)
Menggunakan
semua penemuan ilmu pengetahuan, menguji sesuatu berdasarkan pengalaman dengan
memakai pikiran.
Jadi, dapat diketahui bahwa
hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan adalah saling melengkapi,
dimana filsafat itu menggunakan ilmu pengetahuan untuk menemukan suatu jawaban
dengan cara penalaran ataupun penyelidikan disitu ilmu pengetahuan memberikan
kontribusi pada filsafat.
8
. Perbedaan Filsafat dengan Ilmu
Pengetahuan
Perbedaan
filsafat dengan ilmu pengetahuan terletak jelas dari pengertian
awal. Filsafat
diperlukan manusia sebagai panduan dalam menjalani kehidupan, sedangkan ilmu
pengetahuan diperlukan untuk menjawab segala bentuk pertanyaan. Filsafat membentuk
karakteristik seorang individu atau kelompok dan ilmu pengetahuan bertindak
sebagai penunjang (Daudi,
1986:39).
Filsafat
menggarap bidang yang luas dan umum, sedangkan ilmu pengetahuan membahas
bidang-bidang yang khusus dan terbatas. Tujuannya pun lain, filsafat bertujuan
mencari pemahaman dan kebijaksanaan atau kearifan hidup. Sedangkan ilmu
pengetahuan bertujuan untuk mengadakan deskripsi, prediksi, eksperimentasi, dan
mengadakan kontrol.
Obyek
material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu
yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu pengetahuan itu bersifat
khusus dan empiris. Artinya ilmu pengetahuan hanya terfokus pada disiplin
bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat
tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
Obyek
formal (sudut pandangan) filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari
pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam, dan
mendasar. Sedangkan ilmu pengetahuan bersifat fragmentaris, spesifik, dan
intensif. Di samping itu, obyek formal ilmu pengetahuan bersifat teknik, yang
berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita
(Anonim, 2012).
Selain memiliki hubungan, filsafat dan ilmu juga memiliki perbedaan.
Perbedaan tersebut dapat di lihat dari berbagai objek, yakni :
a) Obyek material (lapangan)
Filsafat itu bersifat universal
[umum], yaitu segala sesuatu yang ada [realita] sedangkan obyek material ilmu
[pengetahuan ilmiah] itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya
terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak,
sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
b) Obyek formal (sudut pandangan)
1)
Filsafat itu
bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang
ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat
fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu
bersifatv teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan
diri dengan realita.
2)
Filsafat
dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis,
dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial
and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis,
sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya.
3)
Filsafat
memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman
realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan
secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
4)
Filsafat
memberikan penjelasan yang terakhri, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar
[primary cause] sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu
mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder [secondary cause]
5)
Filsafat =
berpikir kritis atau selalu mempertanyakan segala hal tanpa ada eksperimen.
Sedangkan ilmu selalu dengan eksperiman untuk menemukan jawaban dari
pertanyaannya (Bakhtiar, 2004).
Ilmu
|
Filsafat
|
1. Segi-segi yang dipelajari dibatasi
agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti
2. Obyek penelitian yang terbatas
3. Tidak menilai obyek dari suatu
sistem nilai tertentu.
4. Bertugas memberikan jawaban
|
1. Mencoba merumuskan pertanyaan atas
jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya
bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan
2. Keseluruhan yang ada
3. Menilai obyek renungan dengan
suatu makna, misalkan , religi, kesusilaan, keadilan dsb.
4. Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu
|
Untuk
melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat pada
perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini (Agraha,
1992). Jadi,
dapat dipahami bahwa perbedaan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan adalah filsafat
digunakan untuk menjalani kehidupan, sedangkan ilmu pengetahuan untuk menjawab
dari pertanyaan dalam kehidupan.
B.
SISTEM
FILSAFAT
1. Ontologi
a.
Pengertian Ontologi
Ontologi
terdiri dari dua suku kata, yakni ontos
dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah
bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang
ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada
manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh,
teratur dan tertib dalam keharmonisan (Ismail,
2012:25).
Ontologi
yaitu salah satu kajian filsafat yang paling kuno yang berasal dari Yunani.
kajian tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan.
Ontologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat ilmu dan objeknya
sehingga ilmu ini dapat dakatakan ilmu nyata (Surajiyo,
2012:45).
Ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas
atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau
obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita
(metafisika) dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan
landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya
berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan (Sumarna,
2004:34).
Menurut
Suriasumantri (1985) Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui,
seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai
teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :
a) apakah
obyek ilmu yang akan ditelaah,
b) bagaimana
wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan
c) bagaimana
hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Menurut (Surajiyo,
2012:55) untuk Aristoteles
ada empat dimensi ontologis yang berbeda:
1.
Menurut berbagai kategori atau cara menangani yang sedang seperti itu
2.
Menurut kebenaran atau kesalahan (misalnya emas palsu, uang palsu)
3.
Apakah itu ada dalam dan dari dirinya sendiri atau hanya 'datang bersama'
oleh kecelakaan
4.
Sesuai dengan potensinya, gerakan (energi) atau jadi kehadiran (Buku
Metafisika Theta)
Beberapa filsuf, terutama dari
sekolah Plato, berpendapat bahwa semua kata benda (termasuk kata benda abstrak)
mengacu kepada badan ada. filsuf lain berpendapat bahwa kata benda tidak selalu
entitas nama, tetapi beberapa memberikan semacam singkatan untuk referensi
untuk koleksi baik benda atau peristiwa.
Dalam pandangan yang terakhir,
pikiran, bukannya merujuk pada suatu entitas, mengacu pada koleksi peristiwa
mental yang dialami oleh seseorang; masyarakat yang mengacu pada kumpulan
orang-orang dengan beberapa karakteristik bersama, dan geometri mengacu pada
koleksi dari jenis yang spesifik intelektual .
Aktivitas
di antara kutub realisme dan nominalisme, ada juga berbagai posisi lain, tetapi
ontologi apapun harus memberi penjelasan tentang kata-kata yang mengacu kepada
badan usaha, yang tidak, mengapa, dan apa kategori hasil. Ketika seseorang
berlaku proses ini untuk kata benda seperti elektron, energi, kontrak,
kebahagiaan, ruang, waktu, kebenaran, kausalitas, dan Tuhan, ontologi menjadi
dasar untuk banyak cabang filsafat (Anonim, 2011).
Ontologi
dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada.
Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau
pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman indrawi. Dengan kata
lain,ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang
berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pernyataan-pernyataan di atas dapat kita definisikan
bahwa ontologi adalah suatu ilmu yang membahas tentang hal-hal yang bersifat
konkret dan abstrak dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana ontologi bisa
dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara
kritis.
b.
Objek Ontologi
Objek
formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif,
realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif,
realitas dan menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau
hylomorphisme.Sedangkan menurut Al-Farabi dan Ibnu Zina objek pemikiran menjadi
objek sesuatu yang mungkin ada karena yang lain, dan ada karena dirinya
sendiri.
Objek pembahasan Ontologi tersebut adalah yang tidak
terlihat pada satu perwujudan tertentu, tentang yang ada secara universal,
yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala
realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari
kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup,
antara jenis-jenis dan individu-individu (Tafsir, 2009: 34).
Bidang
pembicaraan teori hakikat luas sekali, segala yang ada dan yang mungkin ada,
yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah hakikat
pengetahuan dan hakikat nilai). Nama lain untuk teori hakikat ialah teori
tentang keadaan (Langeveld) (Sumarna. 2004: 35).
Objek
formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif,
realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi
kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme,
naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira
cukup banyak.
Hanya
dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik
akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh
aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli
selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi
menampilkan aspek materialisme dari mental (Surajiyo,
2012:30).
Dalam
tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari
alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialism dari
mental.Adapun metode dalam ontologi menurut Lorens Bagus dalam (i)
memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :abstraksi fisik,
abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik.
Abstraksi
fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek, sedangkan abstraksi
bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis.
Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua
realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan
metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua,
yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori
disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada
kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan. Sedangkan
pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam
kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata
silogistik (Tafsir, 2013: 27).
Jadi,
dapat kita simpulkan bahwa objek ontologi adalah sesuatu yang ada hakikatnya.
Objek-objek ontologi itu dapat kita pelajari melalui cabang-cabang hakikat diantaranya kosmologi,
antropologi, theologi, filsafat agama, filsafat sejarah, filsafat administrasi,
dan lain sebagainya. Objek ontologi itu adalah sebagai acuan untuk kita mudah
memahami hal-hal yang bersifat abstrak dan konkret. Oleh karena itu, para ahli
membaginya ke dalam beberapa ilmu-ilmu filsafat ontologi.
c.
Aliran Ontologi
Ontologi
merupakan kawasan ilmu yang tidak bersifat otonom, ontologi merupakan sarana
ilmiah yang menemukan jalan untuk menangani masalah secara ilmiah. Oleh karena
itu ontologis dari ilmu pengetahuan adalah tentang obyek materi dari ilmu
pengetahuan itu adalah hal-hal atau benda-benda yang empiris. Adapun dalam
pemahaman ontologi dapat dikemukakan dengan Pandangan Pokok Pikiran sebagai
berikut: (Tafsir, 2013:32).
a.
Monoisme
Paham
ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu adalah satu
saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal,
baik yang asal berupa meteri atupun berupa rohani.
Tidak
mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah
satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang
lainnya. Istilah monoisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian
terbagi kedalam dua aliran, yaitu: (Tafsir,
2013:32).
1)
Meterialisme
Aliran
ini menggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani, aliran ini
sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya zat mati merupakan kenyataan
dan satu-satunya fakta.
2)
Idealisme
Idealisme
sebagai lawan materialisme adalah aliran idialisme yang dinamakan dengan
spritualisme. Idialisme berarti serba cita, sedang spritulisme berarti ruh. Aliran
ini adalah aliran yang tertua. Ada beberapa alasan mengapa aliran ini dapat
berkembang: Pada pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan, yang dapat
diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
Pikiran yang masih sederhana tidak mampu
memikirkan sesuatu diluar ruang, yang abstrak. Penemuan-penemuan menunjukan
betapa bergantngnya jiwa pada badan. Maka peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai
peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa itu.
Dalam sejarahnya manusia memang bergantun pada
benda, seperti pada padi. Dewi sri dan tuhan muncul dari situ. Kesemuanya ini
memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah benda (Tafsir, 2013: 33).
b.
Dualisme
Dualisme,
setelah kita memahami bahwa hakikat itu satu (monisme) baik materi ataupun ruhani, ada juga pandangan yang
mengatakan bahwa hakikat itu ada dua. Aliran ini disebut dualisme. Aliran ini
berpendapat bahwa terdiri dari dua macam hakikat sebgai asal sumbernya, yaitu
hakikat materi dan hakikat ruhani. Pendapat ini mula-mula dipakai oleh Thomas Hyde (Tafsir,
2013:33).
1)
Pluralisme
Pluralisme,
paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui semua macam bentuk itu adalah
semua nyata. pluralisme dalm Dictionory
of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang mnyatakan bahwa
keyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh
aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxa
goros dan Empedocles yang
menyatakan bahwa subtansi yang ada itu berbentuk dan terdiri dari 4 unsur,
yaitu tanah, air, api, dan udara (Tafsir,
2013:33).
2)
Nihilisme
Nihilisme,
bersal dari bahasa Latin yang berarti nothing
atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui viliditas alternatif yang
positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Tuegeniev dalam novelnya Fathers
and Childern yang ditulisnya pada
tahun 1862 di Rusia. Dalam novelnya itu Bazarov
sebagai tokoh sentral mngatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima ide
nihilisme.
Tokoh aliran ini adalah Friedrich Nietzsche (1844-1900 M) dilahirkan di Rocken di Prusia,
dari kelurga pendeta dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati” Allah
kristiani dengan segalah petrintah dan larangannya sudah tidak mrupakan
rintangan lagi (Tafsir, 2013:33).
3)
Agnoticisme
Agnosticisme,
paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. baik
hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata Agnosticisme
berasal dari bahasa Grik Agnostos
yang berarti unknown. artinya not artinya know. Timbulnya aliran ini karena belum dapatnya orang mengenal dan
mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdidri sendiri
dan dapat kita kenal.
Aliran
ini menyangkal adanya kenyataan mutlak yang bersifat transcendent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi
dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren
Kierkegaan, Hiedegger, Setre dan Jaspers. yang dikenal sebagai julukan bapak filsafat (Tafsir,
2013:34).
d.
Manfaat Mempelajari
Ontologi
Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat
ilmu mempunyai beberapa manfaat, di
antaranya sebagai berikut:
a.
Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai
bangunan sistem pemikiran yang ada.
b.
Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai
eksisten dan eksistensi.
c.
Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada
berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika.
d.
Dari penjelasan tersebut, penyusun dapat menyimpulkan
bahwa ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan
yang paling kuno. Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori
tentang keberadaan sebagai keberadaan. Pada dasarnya, ontologi membicarakan tentang
hakikat dari sutu benda/sesuatu.
Hakikat
disini berarti kenyataan yang sebenarnya (bukan kenyataan yang sementara,
menipu, dan berubah). Misalnya, pada model pemerintahan demokratis yang pada
umumnya menjunjung tinggi pendapat rakyat, ditemui tindakan sewenang-wenang dan
tidak menghargai pendapat rakyat. Keadaan yang seperti inilah yang dinamakan
keadaan sementara dan bukan hakiki. Justru yang hakiki adalah model
pemerintahan yang demokratis tersebut (Sumarna,
2004:40).
Implikasi pandangan ontologi
setelah mempelajari Ontologi adalah kita sebagai manusia mengenai pengetahuan
alam jagat melalui pengalamannya masing-masing dan dapat memperkaya pengalaman
dalam aktifitas kehidupan. Tetapi juga sebagai sesuatu yang tak terbatas
realitas fisis, spiritual, yang tetap dan yang berubah–ubah.
Hukum dan sistem kesemestaan yang
melahirkan perwujudan harmoni dalam alam semesta, termasuk hukum dan tertib
yang menentukan kehidupan manusia. Namun, apabila kita
manusia yang tidak memahami apa arti sebuah realita yang ada di alam dan tidak
mengetahui hal yang nyata di alam jagat raya ini maka semuanya hanya akan
sia-sia karena hanya para filososf yang memahami arti ontologi yang akan
mengetahui makna yang hal nyata di alam raya ini (Anonim,
2011).
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan kenyataan yang
sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat
tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu. Adapun monoisme, dualisme,
pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya, merupakan
paham ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat dan kenyakinan kita
masing-masing tentang apa dan bagaimana yang “ada”.
2. Epistemologi
a. Pengertian
Epistemologi
Istilah “Epistemologi” berasal dari
bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan ‘logos” berarti
perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani
berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukkan, menempatkan,
atau meletakkan. Maka, secara harafiah episteme berarti pengetahuan
sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.
Bagi suatu ilmu
pertanyaan yang mengenai definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya, pembagian
ruang lingkupnya, dan kebenaran ilmiahnya, merupakan bahan-bahan pembahasan
dari epistemologinya (Jalaluddin.2013.160).
Epistemologi juga berasal dari
bahasa yunani yaitu episte yang artinya pengetahuan, sedangkan logos adalah
teori. Jadi, epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Objek telaah
epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan
bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakannya dengan yang lain.
Jadi, bisa dibilang,
epistemologi adalah yang merumuskan atau membuktikan kebenaran yang sudah
didapat dari kajian ontologi. Sedangkan landasan dari epistemologi adalah
proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika,
bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral, dan
keindahan seni, serta apa definisinya (Surajiyo, 2012:55-62).
Menurut dari dua pendapat tersebut diatas
tentang definisi Epistemologi yaitu suatu kata yang berasal dari bahasa Yunani
yang terbagi atas dua kata yaitu Episteme dan logos yang artinya suatu teori
yang berdasar pada suatu pemikiran tentang pengetahuan, yang dapat dirumuskan
dan dibuktikan kebenarannya dari kajian ontologi yang berlandaskan pada proses
apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika.
Beberapa ahli yang mencoba
mengungkapkan definisi dari pada epistemologi yaitu Hadi. Menurut beliau
epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan
kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah Hamlyin,
beliau mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian –
pengandaian serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan
bahwa orang memiliki pengetahuan.
Runes dalam kamusnya menjelaskan
bahwa epistemology is the branch of philosophy which investigates the
origin, stukture, methods and validity of knowledge. Itulah sebabnya kita
sering menyebutnya dengan istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan
digunakan oleh J.F Ferrier pada tahun 1854 (Tafsir, 2013: 23).
Epistemologi membicarakan sumber
pengetahuan, terjadinya pengetahuan, asal usul mulai pengetahuan, dan bagaimana
cara memperoleh tentang pengetahan. Dalam bahasa inggris disebut epistemolgoy, yaitu cabang filsafat yang
membahas tentang asal. Ketika manusia
baru lahir, ia tidak mempunyai ilmu pengetahuan sedikit pun. Tatkala ia sudah
dewasa, pengetahuannya banyak sekali sementara kawanya yang seumur dengan dia
meungkin mempunyai pengetahuan yang lebih banyak dari pada dia dalam bidang
yang sama atau berbeda. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl
[16] :78
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا
وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ
وَالأبْصَارَ
وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٧٨)
”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur.” (Al-Qur’an Surat An-Nahl [16] :78).
Dalam Surat
Lain Allah berfirman dalam Surat Al-Alaq [96]: 3-5
اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا
لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Artinya :
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya (Q.S Al-Alaq [96]: 3-5).
Bagaimana mereka itu masing-masing mendapatkan pengetahuan itu? Mengapa
dapat juga berbeda tingkat akurasinya? Hal-hal semacam itu dibicarakan dalam
epistemologi. Jadi, dari
pernyataan-pernyataan di atas dapat kita definisikan tentang epistemologi
adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang pengetahuan yang di dalamnya terdapat
teori-teori untuk mempelajari hal tersebut (Anonym.2011).
b. Sumber
Ilmu Pengetahuan: Wahyu, Rasio/akal, Indera, Intuisi
1) Wahyu
Hubungan antara ilham dan wahyu, Ahmad
Zuhri mengutip pendapat al-Ghazali yaitu, bahwa ilham dan wahyu mempunyai
sumber yang sama, demikian juga dengan sebagian makna-maknanya. Ilham dan wahyu
merupakan ilmu rabbani yang diajarkan kepada manusia, keduanya adalah
cara memperoleh ilmu (Surajiyo. 2013: 30).
Mempertegas makna ilham, Muhammad
Yasir Nasution dalam bukunya Manusia Menurut Al-Ghazali juga mengutip
pendapat sang Hujjatul Islam tersebut. ”Kata ilham mengandung makna
mengajari secara rahasia dan langsung.
Karena itu, ia juga menyebut cara
memperoleh pengetahuan itu dengan al-ta’allum al-rabbani, dan ilmu
yang diperoleh darinya itu disebut al-’ilm al-ladunni. Penggunaan kata
ilham, dengan demikian, adalah untuk menggambarkan cara datangnya pengetahuan,
tanpa diusahakan dengan perantaraan berpikir (Susanto. 2011:155-156).
Islam meyakini bahwa sumber utama
dari segala ilmu dan pengetahuan manusia dalam tak lain adalah wahyu Ilahi.
Semua yang terkandung dalam wahyu adalah benar adanya. Penilaian terhadap
sesuatu hampir semuanya merujuk kepada wahyu.
Dari sisi lain, wahyu menekankan
pentingnya menjaga dan mempotensialkan ketiga sumber ilmu pengetahuan yang
telah disebutkan sebelumnya. Ketertinggalan dan kemunduran manusia dalam
memeroleh ilmu pengetahuan tak lain disebabkan oleh diri manusia itu sendiri,
yang lalai dan malas menggunakan segala potensi yang telah dianugerahkan
kepadanya (Anonim. 2011).
Kalangan kaum muslimin terdapat dua
tipe pemikiran. Pertama, wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiyah, dan
kedua, wahyu sebagai petunjuk. Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq
al-Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Naufal dan Maurice Bucaille, mereka tergolong
kepada kelompok pertama. Sedangkan Ibn Ishak al-Syathibi termasuk kelompok
kedua.
Mahdi Ghulsyani memilih berada di
antara dua kelompok tersebut. Ia menekankan wahyu itu sebagai petunjuk bagi
manusia yang mengandung ilmu pengetahuan dan manusia itu diperintahkan untuk
senantiasa menggunakan indera, akal, dan hatinya untuk menggali pengetahuan
dari alam ini atas bimbingan wahyu itu sendiri (Ghulsyani. 2001:131).
a.
Rasio/Akal
Rasionalisme berpendirian bahwa
sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari
nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis
perangsang bagi pikiran.
Para penganut rasionalisme yakin bahwa
kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri
barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai
dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam
pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja ( Susanto. 2011:
157).
b.
Senses/Indera
Indera
sebagai salah satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat) pengetahuan, indera
mempunyai peranan yang amat penting. Begitu pentingnya sehingga oleh aliran
filsafat empirisme, indra dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Indera adalah sumber awal menuju pengenalan terhadap alam sekeliling kita.
Bagi
kelompok filosofis rasionalis seperti Baqir al-Sadr, indera merupakan sumber
pemahaman untuk gambaran (tasawwur) dan berpikir (al-ifkar) yang
sederhana, bahkan di sana terdapat fitrah dalam mental yang membangkitkan
tingkat gambaran, (Al-Sadr,1977:59).
Ia
mencontohkan betapa kesimpulan teori gravitasi oleh ilmuan alam dikarenakan
dengan hasil penemuan hukumnya bukan menginderai hukum tersebut, dan kesimpulan
itu bersifat rasio (Surajiyo. 2013: 28).
Ibnu Sina,
dengan teorinya yang sangat popular tentang “al-nafs” (jiwa), mengatakan
bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar dan indera dalam (batin).
Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian pengalaman itu dirasionalkan
oleh indera dalam menjadi pengetahuan.
Mengetahui
dari luar maksudnya dengan panca indera, yaitu: indera melihat (al-Bashr),
mendengar (al-sama’), mencium (al-samma), merasa dengan lidah (al-zauq),
dan merasa dengan sentuhan (al-lam) (Anonym . 2011).
c. Intuisi
Kalangan sufi mengklaim bahwa intuisi
lebih unggul ketimbang akal. Hati dapat memahami pengalaman langsung
kadang-kadang tidak seperti yang dikonsepsikan akal. Hati juga bisa mengenal
objeknya secara lebih akrab dan langsung. Secara umum, yang paling banyak berkutat
dengan masalah hati ini adalah para sufi, tetapi filosofis besar Ibnu Sina pada
karyanya al-Isyarat wa al-Tanbihat pada bagian akhir.
Ibnu Sina mengatakan bahwa
ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos ke alam ketidaksadaran
(semisal alam ghaib) sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman non inderawi
atau yang diistilahkan dengan ESP (entra sensory perception), termasuk
pengalaman-pengalaman mistik atau religius (Surajiyo. 2013: 29).
Sejarah realitas pengalaman mistik
dalam Islam dapat dilihat antara lain dengan munculnya tokoh-tokoh besar di
bidang ini, semisal Ibnu Arabi; seorang mistikus terbesar sepanjang sejarah
perkembangan tasauf dengan karya-karya masterpiece-nya antara lain Fusus
al-Hikam dan al-Futuhat al-Makkiyah tidak lain merupakan hasil
pengalaman-pengalaman intuitifnya, atau Ibnu Tufail dengan “Hayy bin Yaqzan”-nya.
Di sisi lain, Muhammad Taqi Ja’far
(seorang ahli tasauf yang mempopulerkan istilah tasauf positif) menilai bahwa
terdapat hubungan yang erat, sejalan dan tidak terpisahkan antara tasauf dengan
sains dan akal. Memisahkan sains dan akal dari tasauf sama seperti menutup dua
celah yang dilalui oleh cahaya kebenaran yang menerangi jalan sang musafir.
Sains adalah cahaya penerang bagi
fakta-fakta untuk mengetahui cara-cara, alat-alat, hukum alam, serta
batas-batas tujuan dan orientasi. Akal adalah pengatur dalam diri kita untuk
bisa mempersepsi fenomena sensual, aktifitas mental, abstraksi untuk
generalisasi, angka-angka, simbol-simbol pelaksana operasi matematik dan
sebagainya. Akal dan sains adalah penghubung antara manusia dan kenyataan
(Syekhuddin, 2011).
1)
Sumber Ilmu
Pengetahuan Saling Melengkapi
Pengetahuan merupakan khasanah
kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya
kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya
pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi
berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan (Suriasumantri. 1990:104).
Proses
terjadinya pengetahuan merupakan bagian penting dalam Epistemologi, sebab hal
ini akan mewarnai corak pemikiran kefilsafatanya. Pandangan yang sederhana
dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan dapat dipahami berbagai macam.
Ada yang berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui pngalaman, baik
pengalaman indra maupun pengalaman batin, dan yang lain berpendapat bahwa
pengetahuan terjadi tanpa ada pengalaman (Anonim. 2011).
Pengetahuan
dibagi kedalam tiga jenis, pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, dan
pengetahuan filsafati. Pertama, pengetahuan biasa adalah pengetahuan yang
diperoleh dari hasil penyerapan indera terhadap objek tertentu yang disaksikan
dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang
diperoleh memalui penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian
kebenaran yang dicapai. Ketiga, pengetahuan filsafati adalah diperoleh melalui
pikiraan rasional yang didasarkan pada pemmahaman, penafsiran, spekulasi,
penilaian kritis, dan pemikiran-pemikiran yang logis, analitis, dan sistematis.
Pengetahuan
fitsafati adalah pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat, prinsip, dan asas
dari seluruh realitas yang dipersoalkan selaku objek yang hendak diketahui
(Susanto. 2011:136-138).
Epistemologi
menyangkut dua macam yakni epistemology kefilsafatan yang erat hubungannya
dengan sikologi dan pertanyaany-pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan
antara pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut.
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tata
cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan
mengenai pilihan landasan ontologi akan dengan sendirinya mengakibatkan
perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih.
Akal,
budi, pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi merupakan
sarana yang di maksud dengan epistemologis, sehingga dikenal dengan adanya
model-model epistemologis seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, atau
rasionalisme kritis, posititivisme, fenomenologis dengan berbagai variasinya.
2) Cara
Memperoleh Pengetahuan
Pengetahuan
yang diperoleh oleh menusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai
metode tersendiri dalam teori pengetahuan, diantaranya adalah sebagai berikut
(Susanto. 2011:103-105).
a.
Metode
Induktif.
Induksi
yaitu suatu metode yang menyampaikan pernyataan-pernyataan hasil observasi dan
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari
pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam
induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain,
seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi ia akan mengembang
bertolak dari teori ini akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga
akan mengembang. Dari contoh diatas bisa diketahui bahwa induksi tersebut
memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik (Suriasumantri. 1990:105).
b.
Metode
Deduktif
Deduksi
ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empiris diolah lebih
lanjut dalam suatu system pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam
metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan
itu sendiri.
Ada
penyelidikian bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut
mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada
perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan
menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori
tersebut (Susanto. 2011:106).
c.
Metode
Positivisme
Dimetode
ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Ia
mengesampingkan segala uraian diluar yang ada sebagai fakta, oleh karena itu ia
menolak metafisika. Apa yang diketahui secra positif, adalah segala yang tampak
dan segala gejala.
Dengan
demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada
bidang gejala-gejala saja (Suriasumantri. 1990:105).
d.
Metode
Kontemflatif
Metode
ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda, harusnya dikembangkan
satu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh
lewat intusi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang
dilakukan oleh al-ghazali (Syekhuddin, 2011).
e.
Metode
Diaklektis
Filsafat,
dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan
filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun plato mengartikannya
diskusi logika. Kini dialekta berarti tahap logika, yang mengajarkan
kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide.
Sehingga untuk mencapai apa yang terkandung dalam dan
metode peraturan, juga analisis sistematika tentang ide mencapai apa yang
terkandung dalam pandangannya (Anonym. 2011).
3) Manfaat
Mempelajari Epistemologi
Epistemologi
bermaksud mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang
mendasari dimungkinkannya pengetahuan itu. Epistemologi juga mencoba memberi
pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan obyektivitasnya.
Dari
maksud itu, maka Epistemologi dapat dinyatakan suatu disiplin ilmu yang
bersifat evaluatif, normative, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai.
Epsitemologi menilai apakah keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori
pengatahuan dapat dibenarkan, diajamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang
dapat dipertanggungjawabkan secara nalar (Anonym, 2011).
Pertimbangan
Strategis: Pengetahuan adalah kekuasaan “Knoledge is power”. Pengetahuan
mempunyai daya kekuatan untuk mengubah keadaan. “Apabila pengetahuan adalah
suatu kekuatan yang telah dan akan terus membentuk kebudayaan, menggerakan dan
mengubah dunia, sudah semestinyalah apabila kita berusaha memahami apa itu
pengethauan, apa sifat dan hakikatnya , apa daya dan ketebatasnnya, apa
kemungkinan permasalahannya.
Pertimbangan
Kebudayaan: Mempelajari epistemology diperlukan pertama-tama untuk mengungkap
pandangan epistemologis yang sesungguhnya ada dan terkandung dalam setiap
kebudayaan. Setiap kebudayaan, entah secara implicit ataupun ekplisit, entah
hanya lisan atau tulisan , entah secara sistematis ataupun tidak, selalu memuat
pandangan tentang pengetahuan (Syekhuddin, 2011).
Pertimbangan
pendidikan: berdasarkan pertimbangan pendidikan epistemology perlu dipelajarai
karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk
membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup dan
ketrampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan. Proses
Belajar Mengajar dalam konteks pendidikan selalau memuat unsure penyampaian
pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai (Anonym, 2011).
Jadi,
manfaat epistemologi adalah sebagai petunjuk atau ilmu yang akan kita pelajari
untuk menyelesaikan masalah berdasarkan pertimbangan pendidikan epistemology perlu dipelajarai
karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk
membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan
hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan. Proses Belajar Mengajar
dalam konteks pendidikan selalu memuat unsur penyampaian pengetahuan,
ketrampilan, dan nilai-nilai.
A.
Aksiologi
1.
Pengertian
Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari kata axios (Yunani) yang berarti
nilai, dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah ‘teori
tentang nilai’. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimilki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang diniliai teori tentang nilai
yang dalam filsafat mengacu kepada etika dan estetika.
Aksiologi
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau
dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah yang
harus diperhatikan dalam menerapkan ilmu ked lam praktis. Aksiologi memuat
pemikiran tentang masalah nilai – nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan.
Aksiologi juga
mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau higher values of life
(nilai – nilai kehidupan yang bertaraf tinggi). Filsafat ilmu menyelidiki
dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal persepsi manusia akan kenyataan,
pemahaman berbagai dinamika alam, saling keterkaitan antara logika dan
matematika, berbagai keadaan dari keberadaan–keberadaan teoritis,berbagaisumber
pengetahuan dan pertanggungjawabannya, hakikat manusia, nilai-nilainya yang
berada di lingkungan dekatnya, ( Susanto, 2010: 117).
Menurut
Semiawan dalam Wattimena (2005: 158) menjelaskan tentang etika sebagai kajian
tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan menilai). Selanjutnya Semiawan
menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar perilaku manusia, yang
kadang-kadang disebut dengan moral.
Kegiatan
menilai dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Bahwa tidak ada
kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan zero tolerance. Hal
ini berlaku dalam semua ilmu, termasuk ilmu eksakta. Perubahan ilmu dilandasi
oleh prinsip toleransi.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan
estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan
sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma
dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua.
Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para
kaum shopis.
Di situ dipersoalkan mengenai
masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku
Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran
kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di
atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia.
Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan
atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan
mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu
mempertanggung jawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik
tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan
sebagai sang pencipta.Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika
sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan
deontologi.
Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral
dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar
tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah
kebahagiaan.Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum
adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan
perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.
Selanjutnya deontologi,adalah
pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang
bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal
lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia
apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
Pokok persoalan
dalam etika keilmuwan selalu mengacu pada elemen -elemen kaidah moral, yaitu
hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik
(kegunaan). Hati nurani merupakan penghayatan tentang yang baik dan yang buruk
yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Nilai dan norma
yang harus berada pada etika keilmuwan adalah nilai dan norma moral, dan
penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan harus memperhatikan
nilai-nilai kemanusiaan, social, dan agama (Bakhtiar, 2011: 171).
Tanggung jawab
seorang ilmuwan di bidang etika bukan lagi memberi informasi namun harus
memberi contoh. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan
memberinya keberanian. Sehingga lmu harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah
yang menjadi konteksnya tersebut.
Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika
merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan.
Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat
unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan
hubungan yang utuh menyeluruh.
Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras
serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian. Sebenarnya
keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang
senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari
memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan
kenikmatan.
Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya
dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi
menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang
kita serap. Padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.
Semiawan (2005:
158) menjelaskan tentang etika sebagai kajian tentang hakikat moral dan
keputusan (kegiatan menilai). Selanjutnya Semiawan menerangkan bahwa etika
sebagai prinsip atau standar perilaku manusia, yang kadang-kadang disebut
dengan moral.
Kegiatan
menilai dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Bahwa tidak ada
kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan zero tolerance. Hal
ini berlaku dalam semua ilmu, termasuk ilmu eksakta. Perubahan ilmu dilandasi
oleh prinsip toleransi.
Lebih lanjut
Susanto menjelaskan bahwa salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh ilmu
adalah bahwa ilmu harus berlaku secara umum, lintas ruang dan waktu. Namun,
ternyata sifat-sifat universal mempunyai keterbatasan. Keterbatasan sifat ini
lebih nyata pada beberapa bidang ilmu tertentu. Keterbatasan sifat universal
berkaitan erat dengan karakter universalnya.
Ada perbedaan
karakter ilmu-ilmu social dengan ilmu-ilmu eksakta. Fenomena dalam ilmu sejarah
sangat bergantung dengan ruang dan waktu, sedangkan fenomena mekanika terbebas
dari ruang dan waktu. Pengetahuan ilmiah itu bukan saja dimengerti artinya,
tetapi juga maknanya. Jadi memberikan pengetahuan baru kepada orang lain dengan
tingkat kepercayaan cukup besar.
Aksiologi
adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya
dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia
kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
dan di jalan yang baik pula.
Karena
akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu
dimanfaatkan di jalan yang tidak benar (Bakhtiar, 2011: 185).
Pembahasan
aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai.
Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan
nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu
tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan
kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana
Nilai itu
bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif
jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu
melainkan pada objektivitas fakta.
Sebaliknya,
nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian;
kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif
selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia,
seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang.
Sudah
menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus
bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah
dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus
melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis,
agama dan budaya.
Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan
topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang
ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif ( Susanto, 2010: 121).
2.
Kegunaan
Aksiologi bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak
dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat
manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh
Suriasumatri (2000), yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah
kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang
kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa
mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan
alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki
sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada
pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu menurut Semiawan
(2005: 167) untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu
digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal,
yaitu:
1)
Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia
pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu
ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan
atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari
teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2)
Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini
semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan.
Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam
menjalani kehidupan.
3)
Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita
menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari
pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani
lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan.
Ada banyak cara
menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit.
Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak
terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar