“Jika secara jujur kita harus mendefinisikan ‘musuh’ nomor satu umat
Islam, maka yang kita temukan bukan ‘orang lain’ atau ‘umat agama lain’,
tapi adalah ‘kelemahan menyeluruh dalam tubuh umat Islam sendiri’.
Dengan kata lain, merujuk pada sabda Rasulullah Saw, maka agenda jihad
akbar kita, sama sekali bukanlah memerangi ‘orang lain’, tapi memerangi
kelemahan yang ada dalam bangunan budaya dan peradaban umat Islam
sendiri”. Begitulah statement Kyai Masdar F. Mas’udi dalam hasil
wawancara di situs www.pondokpesantren.net
***
Setidaknya
isu terorisme mulai menyeruak kepermukaan pasca peristiwa 11 September
2001, peristiwa tersebut menjadi tonggak penting dalam sejarah Amerika
Serikat. Di situlah kita masih diingatkan kembali atas peristiwa
penghancuran menara kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon di
Amerika. Betapa dahsyatnya kejadian tersebut dengan korban jiwa yang
mencapai sekitar 3.000 orang. Hingga tercatat sebagai tragedi
kemanusiaan terbesar dalam sejarah. Sedangkan terorisme di Indonesia
dimulai tahun 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek Jakarta (BEJ),
diikuti dengan empat serangan besar lainnya, dan yang paling mematikan
adalah Bom Bali I yang terjadi pada tahun 2002, tiga ledakan yang
mengguncang Bali dengan 202 korban mayoritas warga negara Australia yang
tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Kemudian Bom Bali II, terjadi
pada 1 Oktober 2005. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya
luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA’s Bar dan Restaurant,
Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran. Paling
mutakhir adalah terorisme dan slogan-slogan jihad yang mengesahkan
pilihan kekerasan, sehingga terjadi Tragedi Jum’at Hitam (17/07),
setelah beberapa tahun ‘istirahat’, bom itu meledak lagi di Hotel JW
Marriot dan Hotel Ritz-Carlton yang menewaskan sembilan orang dan
melukai beberapa orang. Hal tersebut merupakan sebuah teror yang
menguncang dunia dan orang yang melakukannya atas nama ‘Islamisasi’.
Adanya
tragedi tersebut banyak asumsi yang dihadirkan, salah satunya adalah
jihad, terorisme dan fenomena bom bunuh diri. Adapun yang
melatarbelakangi terjadinya aksi tersebut yaitu, tidak terlepas dengan
adanya sebuah tuntutan dari berbagai kalangan untuk memberlakukan
tegaknya syari’at Islam ditengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim
ini, disamping pemahaman kitab suci, hadits dan ajaran-ajaran agama
Islam yang parsial. Seperti yang diungkapkan oleh Ustadz Yassir Arafat
pengajar Madrasah Mu’alimin Mu’alimat Darut Taqwa, “Sebenarnya,
terorisme yang mengatasnamakan jihad itu bermula dari cara memahami
Islam, dengan pemahaman yang parsial atau tidak utuh yang kemudian Islam
itu dianggap sesuai dengan apa yang dia asumsikan. Dan acuan sumber
yang dia pahami adalah ayat-ayat al-Qur’an atau hadits yang menjelaskan
tentang kondisi perang, asumsinya dari sebagian kelompok bahwa Islam itu
bisa jaya apabila dengan jalan kekerasan dan menganggap non muslim itu
adalah musyrik, serta anggapana bahwa Islam itu adalah benar dan non
Islam itu adalah salah”. Jika demikian kondisinya, tidak heran akan
memunculkan berbagai macam sentiment agama.
Sentimen agama sering
melahirkan stigma negative pada organisasi sosial keagamaan Islam,
seperti pondok pesantren, para pemuka agama dan berbagai macam ormas
yang pada akhimya Islam itu sendiri juga ikut tertuduh. Agama Islam
dituduh sebagai agama kekerasan dan agama yang tidak mendukung terhadap
proses jalannya demokrasi. Padahal dalam Islam tidak mengajarkan
kekerasan dan perbuatan anarkis yang merugikan banyak orang. Islam
adalah agama “rahmatan lil alamin”, rahmat bagi seluruh alam, agama
perdamaian, menegakkan keadilan, saling pengertian, menjalin hubungan
baik antar sesama, sebagaimana yang telah diperlihatkan dalam kehidupan
Rasulullah Saw.
Masih menurut pak Yassir, “Sebenarnya hampir
semua kejadian terorisme itu tidak lepas dari politik internasional,
maksudnya adalah perang pemikiran antara Islam dan Barat, namun hal itu
berujung kepada permasalahan ekonomi, bukan sekedar perang pemikiran an
sich. Seperti fenomena peperangan di Timur Tengah, setelah diketahui,
ternyata semua mengarah terhadap permasalahan perekonomian, yaitu
penguasaan minyak tanah. Hanya saja baground mereka yang dipakai adalah
agama dan memerangi terorisme, sehingga tidak heran jika terorisme akan
memunculkan sentiment kepada salah satu agama”.
Memaknai Jihad
Jihad
berasal dari kata kerja jaahada yujaahidu, secara harfiah jihad artinya
“berusaha dengan sungguh-sungguh”, “sepenuh hati dan all out”.
Demikian pula, kata-kata serumpun yang juga cukup populer, ijtihad
dan
mujahadah. Bedanya, kalau ijtihad bersungguh-sungguh untuk menemukan
sabda kebenaran; mujahadah bersungguh-sungguh dalam menghayati hakikat
kebenaran. Maka jihad bersungguh-sungguh dalam mengimplementasikan dan
menegakkan pesan kebenaran. Dalam bahasa populernya, jihad adalah
berjuang, dan mujaahid artinya pejuang. Ketiga konsep serumpun tersebut
(ijtihad, mujahadah, jihad) dalam proses keberagamaan sama-sama penting
dan saling melengkapi.
Ketiga hal ini mestinya harus berjalan
secara seimbang dan saling melengkapi. Orang secara intelektual bagus,
tetapi tidak ada penghayatan, juga timpang. Jika seandainya sudah ada
penghayatan tetapi tidak ada perjuangan untuk menegakkannya, juga
lumpuh. Begitu juga dengan jihad. Jihad ini tidak bisa dilakukan secara
sendiri. Jihad yang benar pastilah jihad yang didasarkan pada pemikiran
yang serius. Jadi, kalau orang yang melakukan jihad tetapi tidak pernah
menggunakan ijtihad, akal budinya, terlebih dahulu, itu bisa ngawur.
Jangan-jangan yang terjadi sekarang ini adalah memang tidak adanya
keseimbangan antara semangat jihad dengan kemampuan berijtihad sehingga
akhirnya terjadi distorsi yang luar biasa, jihad yang tadinya
dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nama Islam, tetapi karena didukung
oleh ijtihad, maka justru berakibat mencoreng nama baik Islam.
Hal
ini disinyalir oleh Ustadz M. Mufid selaku Kepala Pondok Pesantren
Ngalah, yang menyebutkan, “Dalam arti luas Jihad adalah berjuang demi
tegaknya agama Allah. Sedangkan berjuang tidak harus melalui peperangan
apalagi bom bunuh diri, masih banyak jalan yang bisa kita tempuh. Cara
berpikir Islam fundamentalis dan radikalisme dengan Islam kentongan
(baca; Islam ahlussunnah waljama’ah atau tradisionalisme) itu sudah
berbeda. Kalau Islam radikal dan fundamental kemungkinan konsep yang
diambil, adalah hadits yang berbunyi “Jika kamu melihat kemungkaran,
maka ubahlah dengan tanganmu, jika tidak mampu maka ubahlah dengan
mulutmu, jika tidak mampu ubahlah dengan hatimu. Sesungguhnya hal yang
demikian itu adalah lemah-lemahnya iman”, sehingga mereka berpikir kalau
bom bunuh diri itu benar. Dan kalau Islam ‘kentongan’ mereka berprinsip
“…ajaklah mereka itu dengan penuh hikmah”, sekiranya mereka tidak
berbuat onar, dan mau mengikuti apa yang kita inginkan, kita beri
penceramahan, kalau masih belum bisa, kita ajak mereka duduk berdialog
untuk menemukan titik temu”.
Jihad Tidak Membunuh Secara Fisik
Kedua
Ustadz tersebut di atas (Yassir Arafat dan M. Mufid. Red) sepakat bahwa
tidak ada alasan untuk menjustifikasi jihad dilakukan dengan perang
secara begitu saja. Hal ini senada dengan pernyataan Kyai Masdar, “Untuk
perang, al-Qur’an memiliki termanya sendiri, yakni qital yang secara
harfiyah berarti membunuh, atau saling membunuh, alias perang”.
Dalam
al-Qur’an terdapat sekurang-kurangnya 15 ayat yang menegaskan perintah
atau ijin perang terhadap orang-orang kafir/munafik. Ayat-ayat ini
diturunkan setelah Nabi mengungsi ke Madinah, dan sikap permusuhan dari
kaum kafir Makkah semakin tak tertahankan. Yang harus dipahami, bahwa
tidak satu ayat pun yang menegaskan perintah perang untuk mendahului
(pre-emptive strike) seperti yang didoktrinkan oleh Presiden Amerika
Geroge W. Bush ketika hendak menyerang Irak.
Artinya, perintah
jihad yang utama haruslah berarti perjuangan menegakkan kebenaran dan
nilai-nilai keluhuran universal dan perennial yang mengatasi kepentingan
semua golongan agama, ideologi, etnik, dan sejenisnya. Sebagaimana kita
yakini bahwa Allah senantiasa berkenan merahmati seluruh makhluknya,
siapa pun mereka. Sasaran utama jihad fi sabilillah, dengan demikian,
perlu dipahami bukan lagi berupa orang atau sekelompok orang secara
fisik melainkan lebih terhadap sistem atau tatanan kehidupan yang secara
hakiki melawan nilai-nilai universal dan perennial tadi, yakni
keadilan. Dalam bahasa inklusifnya, sasaran jihad yang paling mendasar
dan universal adalah kezaliman, atau lawan dari keadilan.
Jihad
sebagai strategi mengontrol lawan, dengan demikian ada tiga kategori:
Pertama jihad yang paling primitive, yakni jihad bil yad aw bis saif
(jihad secara fisik. Red). Yakni Jihad untuk mengontrol lawan dengan
kekeraan fisik atau senjata. Untuk ini sudah barang tentu memerlukan
keunggulan kita dalam hal fisik persenjatan sampai pada tingkat dimana
kita dapat mengungguli kekuatan lawan secara meyakinkan. Dalam kontek
persenjataan modern, jihad jenis ini sangatlah mahal biayanya, dan
sungguh-sungguh merupakan kebodohan nyata. Karena jika saja
masing-masing pihak telah merasa kuat, maka sekali jihad kategori ini
dikobarkan, yang terjadi adalah kehancuran semua pihak. Bukan hanya yang
secara langsung terlibat peperangan yang akan hancur, tapi pihak-pihak
lain yang mungkin tidak tahu menahu pun ikut menanggung akibatnya.
Kedua,
adalah Jihad bil Ilmi (jihad nalar. Red). Dimaksud jihad pemikiran ini
bukanlah perang kata-kata kosong, melainkan perang dalam bentuk lomba
kekuatan dan kemajuan daya cipta nalar, keilmuan dan
kecanggihan
teknologi. Jihad ini tentu lebih sesuai dengan kemartabatan manusia
dibanding dengan jihad kategori pertama, Jihad Fisik, yang bernuansa
kebinatangan. Jihad nalar ini, jika dilaksanan dengan sungguh-sungguh
tidak akan mengakibatkan apa-apa selain kemajuan dan kemakmuran hidup,
bukan hanya bagi si pelaku akan tetapi bagi seluruh umat manusia yang
mau mengambil manfaat dari yang memenangkannya. Siapa pun yang berhasil
menjadi pemenangnya, dipastikan tidak akan menimbulkan perasaan terhina
bagi yang kalah, melainkan apresiasai dan penghargaan. Benar,
adakalanya kemenangan “Jihad bil Ilmi” bisa membawa yang bersangkutan
pada kesombongan dan atau kerakusan berlebihan untuk mengekspolitir
pihak lain.
Lha, Harusnya Jihad Sing Piye?
Bapak Heri
Pudjiono, Kapolsek Purwosari menyebutkan, “Bahwa jihad ala terorisme
(Noordin M. Top, dkk. Red) adalah salah, hanya dari ajaran mereka
(Jamaah Islamiyah. Red) itu sendiri yang membenarkan”. Bagi beliau jihad
dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat
dalam peperangan dan permasalahan apa yang melatarbelakangi jihad berupa
perang tersebut.
Oleh sebab itu, jihad harus dilakukan dengan
keluhuran hati dan kemuliaan akhlak. Karena jihad yang demikian itu
adalah sebagai jihad paripurna yang mampu memberikan kemenangan sejati,
sehingga pihak lawan yang terkalahkan pun akan merasa senyum penuh
hormat dan pujian kepada yang ‘mengalahkan’ dirinya. Jihad kategori ini
bukanlah jihad dengan pedang untuk menumpahkan darah orang lain. Tapi
jihad dengan kemulian hati, keunggulan ilmu dan kekuatan amal. Atau,
dalam kontek antar umat, adalah jihad dengan keunggulan peradaban. Jihad
seperti ini mempersyaratkan kualitas kemanusiaan umat Islam yang
tinggi. Inilah yang seringkali dikiaskan oleh Kyai Sholeh Bahruddin
dengan mengutip pendapat Imam Junaidi al-Bagdadi, “Seorang sufi itu
bagaikan bumi yang bila dilempari keburukan, maka ia akan selalu
membalasnya dengan kebaikan. Seorang sufi itu bagaikan bumi yang mana di
atasnya bertempat atau bermukim segala sesuatu yang baik maupun yang
buruk (semua diterimanya). Seorang sufi juga bagaikan langit atau
mendung yang menaungi semua yang ada di bawahnya, dan seperti hujan yang
menyirami segala sesuatu tanpa memilah dan memilih (yang baik maupun
yang buruk, semuanya diayomi)”.
Namun, seperti yang kita ketahui,
dan semua orang di dunia ini tahu, bahwa tingkat kesehatan fisik umat
Islam secara keseluruhan masih jauh dari baik; busung lapar karena
kekurangan gizi, penyakit dunia ketiga karena buruknya nutrisi dan
lingkungan masih terus menghantui.
Dengan demikian, jika secara
jujur kita harus mendefinisikan “musuh” nomor satu umat Islam, maka yang
kita temukan bukan “orang lain atau umat agama lain”, tapi adalah
“kelemahan menyeluruh dalam tubuh umat Islam sendiri. Dengan kata lain,
merujuk pada sabda Rasulullah Saw, maka agenda jihad akbar kita, sama
sekali bukanlah memerangi “orang lain”, tapi memerangi kelemahan yang
ada dalam bangunan budaya dan peradaban umat Islam sendiri”, ungkap Kyai
Masdar dalam situs www.pondokpesantren.net.
Memang
jihad melawan orang lain, meskipun Rasulullah menyebutnya sebagai
jihad kecil, tapi terasa lebih heroic dan sensasional. Meski kecil, tapi
jihad ini terasa lebih memuaskan nafsu amarah dan emosi umat yang
menyala-nyala. Sementara jihad memerangi kelemahan pada diri sendiri,
yang Rasulullah menyebutnya sebagai jihad akbar, justru terasa sebagai
perkara yang biasa-biasa saja dan sama sekali tidak menarik minat umat
dan juga para pemimpinnya.
Barangkali karena syndrome kemunduran
dan keterbelakangan yang akut, maka umat Islam menjadi begitu emosional,
gampang uring-uringan, dan terasa lebih Islami dengan memperlihatkan
amarah dan kegarangan kepada orang lain.
Ingat, Jihad! Bukan Jaha(d)!!
Nasir
Abas (mantan anggota JI. Red) dalam bukunya “Membongkar Jama’ah
Islamiyyah”, menuturkan bahwa Bom Bali dan serangkaian bom lainnya,
adalah bukan aksi jihad fi sabilillah, melainkan murni tindakan
terorisme Imam Samudera dan kawan-kawannya yang mengatas-namakan Islam,
yang justru dapat mencoreng-moreng keindahan Islam yang rahmatan li
alalamin.
Jihad dalam pandangan Imam Samudera lebih dipahami
dalam kerangka balas dendam. Karena kafir telah memerangi muslim tanpa
batas, maka muslim wajib membalasnya dengan memerangi kafir secara tanpa
batas pula. Latar pemikiran demikian yang melahirkan konsep jihad balas
dendam ala Imam Samudera dalam aksi-aksi jihadnya; perang dibalas
perang, darah dibalas darah, pembantaian dibalas pembantaian dan
arogansi melampaui batas dibalas dengan yang setimpal. Maka muncullah
serangkaian upaya pengeboman.
Pendapat Nasir Abas di atas
berbanding lurus dengan dawuh kyai Sholeh, “Kelakuane sing ngebom Bali
karo Nurdin M. Top lan kanca-kancane ngunu iku dudu jihad, tapi jahat!”,
(Tindakan orang yang mengebom Bali dan Nurdin M. Top serta teman-teman
pengikutnya itu bukan merupakan tindakan jihad, melainkan jahat!. Red).
Statement kyai Sholeh memakai tendensi salah satu sabda Nabi Muhammad
Saw. yang tidak memperbolehkan memakai kekerasan (anarkisme) dalam
kehidupan sehari-hari. “Barang siapa yang menyakiti non muslim (yang
berdamai dengan muslim), maka akulah musuhnya, dan orang yang
memusuhinya (memusuhi non muslim), maka dihari kiamat kelak dia
bermusuhan denganku” (HR. Ibnu Mas’ud). Dari pendapat di atas, dapat
diketahui bahwa jihad tidaklah bertindak jahat apalagi sampai membunuh.
Maka
dari itu, dalam kehidupan yang kita rasakan, hidup dalam lingkungan
yang plural dan majemuk, untuk berjihad kita harus mengambil sasaran
jihad yang tepat. Karena jihad adalah usaha untuk menegakkan kebenaran
secara sungguh-sungguh yang disepakati oleh semua orang dan kelompok.
Maka dalam konteks keindonesiaan, apa yang dianggap benar oleh
masyarakat Indonesia itulah yang harus diperjuangkan dan ditegakkan.
Sehingga jihad yang demikian tidak akan lagi dipakai dan ‘dibajak’ oleh
kepentingan kelompok untuk kepentingannya sendiri.
Achmad Thoifur
mahasiswa Administrasi Publik Universitas Yudharta Pasuruan,
menyebutkan, “Bahwa sasaran-sasaran jihad adalah hal-hal apa yang
disepakati oleh publik? Ini bisa bersifat cultural maupun politic,
misalnya jihad yang paling relevan bagi bangsa Indonesia adalah
mengentas kemiskinan, melawan KKN dan probelmatika sosial lainnya. Maka
itulah jihad yang universal, penuh makna dan harus didukung oleh kita
semua. Sehingga hal ini mencerminkan kepada kita, bahwa jihad tidak
jahat!”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar