Rabu, 26 November 2014

JIHAD BUKAN JAHAT

“Jika secara jujur kita harus mendefinisikan ‘musuh’ nomor satu umat Islam, maka yang kita temukan bukan ‘orang lain’ atau ‘umat agama lain’, tapi adalah ‘kelemahan menyeluruh dalam tubuh umat Islam sendiri’. Dengan kata lain, merujuk pada sabda Rasulullah Saw, maka agenda jihad akbar kita, sama sekali bukanlah memerangi ‘orang lain’, tapi memerangi kelemahan yang ada dalam bangunan budaya dan peradaban umat Islam sendiri”. Begitulah statement Kyai Masdar F. Mas’udi dalam hasil wawancara di situs www.pondokpesantren.net

***

Setidaknya isu terorisme mulai menyeruak kepermukaan pasca peristiwa 11 September 2001, peristiwa tersebut menjadi tonggak penting dalam sejarah Amerika Serikat. Di situlah kita masih diingatkan kembali atas peristiwa penghancuran menara kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon di Amerika. Betapa dahsyatnya kejadian tersebut dengan korban jiwa yang mencapai sekitar 3.000 orang. Hingga tercatat sebagai tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah. Sedangkan terorisme di Indonesia dimulai tahun 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek Jakarta (BEJ), diikuti dengan empat serangan besar lainnya, dan yang paling mematikan adalah Bom Bali I yang terjadi pada tahun 2002, tiga ledakan yang mengguncang Bali dengan 202 korban mayoritas warga negara Australia yang tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Kemudian Bom Bali II, terjadi pada 1 Oktober 2005. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA’s Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran. Paling mutakhir adalah terorisme dan slogan-slogan jihad yang mengesahkan pilihan kekerasan, sehingga terjadi Tragedi Jum’at Hitam (17/07), setelah beberapa tahun ‘istirahat’, bom itu meledak lagi di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton yang menewaskan sembilan orang dan melukai beberapa orang. Hal tersebut merupakan sebuah teror yang menguncang dunia dan orang yang melakukannya atas nama ‘Islamisasi’.

Adanya tragedi tersebut banyak asumsi yang dihadirkan, salah satunya adalah jihad, terorisme dan fenomena bom bunuh diri. Adapun yang melatarbelakangi terjadinya aksi tersebut yaitu, tidak terlepas dengan adanya sebuah tuntutan dari berbagai kalangan untuk memberlakukan tegaknya syari’at Islam ditengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini, disamping pemahaman kitab suci, hadits dan ajaran-ajaran agama Islam yang parsial. Seperti yang diungkapkan oleh Ustadz Yassir Arafat pengajar Madrasah Mu’alimin Mu’alimat Darut Taqwa, “Sebenarnya, terorisme yang mengatasnamakan jihad itu bermula dari cara memahami Islam, dengan pemahaman yang parsial atau tidak utuh yang kemudian Islam itu dianggap sesuai dengan apa yang dia asumsikan. Dan acuan sumber yang dia pahami adalah ayat-ayat al-Qur’an atau hadits yang menjelaskan tentang kondisi perang, asumsinya dari sebagian kelompok bahwa Islam itu bisa jaya apabila dengan jalan kekerasan dan menganggap non muslim itu adalah musyrik, serta anggapana bahwa Islam itu adalah benar dan non Islam itu adalah salah”. Jika demikian kondisinya, tidak heran akan memunculkan berbagai macam sentiment agama.

Sentimen agama sering melahirkan stigma negative pada organisasi sosial keagamaan Islam, seperti pondok pesantren, para pemuka agama dan berbagai macam ormas yang pada akhimya Islam itu sendiri juga ikut tertuduh. Agama Islam dituduh sebagai agama kekerasan dan agama yang tidak mendukung terhadap proses jalannya demokrasi. Padahal dalam Islam tidak mengajarkan kekerasan dan perbuatan anarkis yang merugikan banyak orang. Islam adalah agama “rahmatan lil alamin”, rahmat bagi seluruh alam, agama perdamaian, menegakkan keadilan, saling pengertian, menjalin hubungan baik antar sesama, sebagaimana yang telah diperlihatkan dalam kehidupan Rasulullah Saw.

Masih menurut pak Yassir, “Sebenarnya hampir semua kejadian terorisme itu tidak lepas dari politik internasional, maksudnya adalah perang pemikiran antara Islam dan Barat, namun hal itu berujung kepada permasalahan ekonomi, bukan sekedar perang pemikiran an sich. Seperti fenomena peperangan di Timur Tengah, setelah diketahui, ternyata semua mengarah terhadap permasalahan perekonomian, yaitu penguasaan minyak tanah. Hanya saja baground mereka yang dipakai adalah agama dan memerangi terorisme, sehingga tidak heran jika terorisme akan memunculkan sentiment kepada salah satu agama”.

Memaknai Jihad

Jihad berasal dari kata kerja jaahada yujaahidu, secara harfiah jihad artinya “berusaha dengan sungguh-sungguh”, “sepenuh hati dan all out”. Demikian pula, kata-kata serumpun yang juga cukup populer, ijtihad

dan mujahadah. Bedanya, kalau ijtihad bersungguh-sungguh untuk menemukan sabda kebenaran; mujahadah bersungguh-sungguh dalam menghayati hakikat kebenaran. Maka jihad bersungguh-sungguh dalam mengimplementasikan dan menegakkan pesan kebenaran. Dalam bahasa populernya, jihad adalah berjuang, dan mujaahid artinya pejuang. Ketiga konsep serumpun tersebut (ijtihad, mujahadah, jihad) dalam proses keberagamaan sama-sama penting dan saling melengkapi.

Ketiga hal ini mestinya harus berjalan secara seimbang dan saling melengkapi. Orang secara intelektual bagus, tetapi tidak ada penghayatan, juga timpang. Jika seandainya sudah ada penghayatan tetapi tidak ada perjuangan untuk menegakkannya, juga lumpuh. Begitu juga dengan jihad. Jihad ini tidak bisa dilakukan secara sendiri. Jihad yang benar pastilah jihad yang didasarkan pada pemikiran yang serius. Jadi, kalau orang yang melakukan jihad tetapi tidak pernah menggunakan ijtihad, akal budinya, terlebih dahulu, itu bisa ngawur. Jangan-jangan yang terjadi sekarang ini adalah memang tidak adanya keseimbangan antara semangat jihad dengan kemampuan berijtihad sehingga akhirnya terjadi distorsi yang luar biasa, jihad yang tadinya dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nama Islam, tetapi karena didukung oleh ijtihad, maka justru berakibat mencoreng nama baik Islam.

Hal ini disinyalir oleh Ustadz M. Mufid selaku Kepala Pondok Pesantren Ngalah, yang menyebutkan, “Dalam arti luas Jihad adalah berjuang demi tegaknya agama Allah. Sedangkan berjuang tidak harus melalui peperangan apalagi bom bunuh diri, masih banyak jalan yang bisa kita tempuh. Cara berpikir Islam fundamentalis dan radikalisme dengan Islam kentongan (baca; Islam ahlussunnah waljama’ah atau tradisionalisme) itu sudah berbeda. Kalau Islam radikal dan fundamental kemungkinan konsep yang diambil, adalah hadits yang berbunyi “Jika kamu melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tanganmu, jika tidak mampu maka ubahlah dengan mulutmu, jika tidak mampu ubahlah dengan hatimu. Sesungguhnya hal yang demikian itu adalah lemah-lemahnya iman”, sehingga mereka berpikir kalau bom bunuh diri itu benar. Dan kalau Islam ‘kentongan’ mereka berprinsip “…ajaklah mereka itu dengan penuh hikmah”, sekiranya mereka tidak berbuat onar, dan mau mengikuti apa yang kita inginkan, kita beri penceramahan, kalau masih belum bisa, kita ajak mereka duduk berdialog untuk menemukan titik temu”.

Jihad Tidak Membunuh Secara Fisik

Kedua Ustadz tersebut di atas (Yassir Arafat dan M. Mufid. Red) sepakat bahwa tidak ada alasan untuk menjustifikasi jihad dilakukan dengan perang secara begitu saja. Hal ini senada dengan pernyataan Kyai Masdar, “Untuk perang, al-Qur’an memiliki termanya sendiri, yakni qital yang secara harfiyah berarti membunuh, atau saling membunuh, alias perang”.

Dalam al-Qur’an terdapat sekurang-kurangnya 15 ayat yang menegaskan perintah atau ijin perang terhadap orang-orang kafir/munafik. Ayat-ayat ini diturunkan setelah Nabi mengungsi ke Madinah, dan sikap permusuhan dari kaum kafir Makkah semakin tak tertahankan. Yang harus dipahami, bahwa tidak satu ayat pun yang menegaskan perintah perang untuk mendahului (pre-emptive strike) seperti yang didoktrinkan oleh Presiden Amerika Geroge W. Bush ketika hendak menyerang Irak.

Artinya, perintah jihad yang utama haruslah berarti perjuangan menegakkan kebenaran dan nilai-nilai keluhuran universal dan perennial yang mengatasi kepentingan semua golongan agama, ideologi, etnik, dan sejenisnya. Sebagaimana kita yakini bahwa Allah senantiasa berkenan merahmati seluruh makhluknya, siapa pun mereka. Sasaran utama jihad fi sabilillah, dengan demikian, perlu dipahami bukan lagi berupa orang atau sekelompok orang secara fisik melainkan lebih terhadap sistem atau tatanan kehidupan yang secara hakiki melawan nilai-nilai universal dan perennial tadi, yakni keadilan. Dalam bahasa inklusifnya, sasaran jihad yang paling mendasar dan universal adalah kezaliman, atau lawan dari keadilan.

Jihad sebagai strategi mengontrol lawan, dengan demikian ada tiga kategori: Pertama jihad yang paling primitive, yakni jihad bil yad aw bis saif (jihad secara fisik. Red). Yakni Jihad untuk mengontrol lawan dengan kekeraan fisik atau senjata. Untuk ini sudah barang tentu memerlukan keunggulan kita dalam hal fisik persenjatan sampai pada tingkat dimana kita dapat mengungguli kekuatan lawan secara meyakinkan. Dalam kontek persenjataan modern, jihad jenis ini sangatlah mahal biayanya, dan sungguh-sungguh merupakan kebodohan nyata. Karena jika saja masing-masing pihak telah merasa kuat, maka sekali jihad kategori ini dikobarkan, yang terjadi adalah kehancuran semua pihak. Bukan hanya yang secara langsung terlibat peperangan yang akan hancur, tapi pihak-pihak lain yang mungkin tidak tahu menahu pun ikut menanggung akibatnya.

Kedua, adalah Jihad bil Ilmi (jihad nalar. Red). Dimaksud jihad pemikiran ini bukanlah perang kata-kata kosong, melainkan perang dalam bentuk lomba kekuatan dan kemajuan daya cipta nalar, keilmuan dan

kecanggihan teknologi. Jihad ini tentu lebih sesuai dengan kemartabatan manusia dibanding dengan jihad kategori pertama, Jihad Fisik, yang bernuansa kebinatangan. Jihad nalar ini, jika dilaksanan dengan sungguh-sungguh tidak akan mengakibatkan apa-apa selain kemajuan dan kemakmuran hidup, bukan hanya bagi si pelaku akan tetapi bagi seluruh umat manusia yang mau mengambil manfaat dari yang memenangkannya. Siapa pun yang berhasil menjadi pemenangnya, dipastikan tidak akan menimbulkan perasaan terhina bagi yang kalah, melainkan apresiasai dan penghargaan. Benar, adakalanya kemenangan “Jihad bil Ilmi” bisa membawa yang bersangkutan pada kesombongan dan atau kerakusan berlebihan untuk mengekspolitir pihak lain.

Lha, Harusnya Jihad Sing Piye?

Bapak Heri Pudjiono, Kapolsek Purwosari menyebutkan, “Bahwa jihad ala terorisme (Noordin M. Top, dkk. Red) adalah salah, hanya dari ajaran mereka (Jamaah Islamiyah. Red) itu sendiri yang membenarkan”. Bagi beliau jihad dalam bentuk perang harus jelas pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam peperangan dan permasalahan apa yang melatarbelakangi jihad berupa perang tersebut.

Oleh sebab itu, jihad harus dilakukan dengan keluhuran hati dan kemuliaan akhlak. Karena jihad yang demikian itu adalah sebagai jihad paripurna yang mampu memberikan kemenangan sejati, sehingga pihak lawan yang terkalahkan pun akan merasa senyum penuh hormat dan pujian kepada yang ‘mengalahkan’ dirinya. Jihad kategori ini bukanlah jihad dengan pedang untuk menumpahkan darah orang lain. Tapi jihad dengan kemulian hati, keunggulan ilmu dan kekuatan amal. Atau, dalam kontek antar umat, adalah jihad dengan keunggulan peradaban. Jihad seperti ini mempersyaratkan kualitas kemanusiaan umat Islam yang tinggi. Inilah yang seringkali dikiaskan oleh Kyai Sholeh Bahruddin dengan mengutip pendapat Imam Junaidi al-Bagdadi, “Seorang sufi itu bagaikan bumi yang bila dilempari keburukan, maka ia akan selalu membalasnya dengan kebaikan. Seorang sufi itu bagaikan bumi yang mana di atasnya bertempat atau bermukim segala sesuatu yang baik maupun yang buruk (semua diterimanya). Seorang sufi juga bagaikan langit atau mendung yang menaungi semua yang ada di bawahnya, dan seperti hujan yang menyirami segala sesuatu tanpa memilah dan memilih (yang baik maupun yang buruk, semuanya diayomi)”.

Namun, seperti yang kita ketahui, dan semua orang di dunia ini tahu, bahwa tingkat kesehatan fisik umat Islam secara keseluruhan masih jauh dari baik; busung lapar karena kekurangan gizi, penyakit dunia ketiga karena buruknya nutrisi dan lingkungan masih terus menghantui.

Dengan demikian, jika secara jujur kita harus mendefinisikan “musuh” nomor satu umat Islam, maka yang kita temukan bukan “orang lain atau umat agama lain”, tapi adalah “kelemahan menyeluruh dalam tubuh umat Islam sendiri. Dengan kata lain, merujuk pada sabda Rasulullah Saw, maka agenda jihad akbar kita, sama sekali bukanlah memerangi “orang lain”, tapi memerangi kelemahan yang ada dalam bangunan budaya dan peradaban umat Islam sendiri”, ungkap Kyai Masdar dalam situs www.pondokpesantren.net.

Memang jihad melawan orang lain, meskipun Rasulullah menyebutnya sebagai jihad kecil, tapi terasa lebih heroic dan sensasional. Meski kecil, tapi jihad ini terasa lebih memuaskan nafsu amarah dan emosi umat yang menyala-nyala. Sementara jihad memerangi kelemahan pada diri sendiri, yang Rasulullah menyebutnya sebagai jihad akbar, justru terasa sebagai perkara yang biasa-biasa saja dan sama sekali tidak menarik minat umat dan juga para pemimpinnya.

Barangkali karena syndrome kemunduran dan keterbelakangan yang akut, maka umat Islam menjadi begitu emosional, gampang uring-uringan, dan terasa lebih Islami dengan memperlihatkan amarah dan kegarangan kepada orang lain.

Ingat, Jihad! Bukan Jaha(d)!!

Nasir Abas (mantan anggota JI. Red) dalam bukunya “Membongkar Jama’ah Islamiyyah”, menuturkan bahwa Bom Bali dan serangkaian bom lainnya, adalah bukan aksi jihad fi sabilillah, melainkan murni tindakan terorisme Imam Samudera dan kawan-kawannya yang mengatas-namakan Islam, yang justru dapat mencoreng-moreng keindahan Islam yang rahmatan li alalamin.

Jihad dalam pandangan Imam Samudera lebih dipahami dalam kerangka balas dendam. Karena kafir telah memerangi muslim tanpa batas, maka muslim wajib membalasnya dengan memerangi kafir secara tanpa batas pula. Latar pemikiran demikian yang melahirkan konsep jihad balas dendam ala Imam Samudera dalam aksi-aksi jihadnya; perang dibalas perang, darah dibalas darah, pembantaian dibalas pembantaian dan arogansi melampaui batas dibalas dengan yang setimpal. Maka muncullah serangkaian upaya pengeboman.

Pendapat Nasir Abas di atas berbanding lurus dengan dawuh kyai Sholeh, “Kelakuane sing ngebom Bali karo Nurdin M. Top lan kanca-kancane ngunu iku dudu jihad, tapi jahat!”, (Tindakan orang yang mengebom Bali dan Nurdin M. Top serta teman-teman pengikutnya itu bukan merupakan tindakan jihad, melainkan jahat!. Red). Statement kyai Sholeh memakai tendensi salah satu sabda Nabi Muhammad Saw. yang tidak memperbolehkan memakai kekerasan (anarkisme) dalam kehidupan sehari-hari. “Barang siapa yang menyakiti non muslim (yang berdamai dengan muslim), maka akulah musuhnya, dan orang yang memusuhinya (memusuhi non muslim), maka dihari kiamat kelak dia bermusuhan denganku” (HR. Ibnu Mas’ud). Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa jihad tidaklah bertindak jahat apalagi sampai membunuh.

Maka dari itu, dalam kehidupan yang kita rasakan, hidup dalam lingkungan yang plural dan majemuk, untuk berjihad kita harus mengambil sasaran jihad yang tepat. Karena jihad adalah usaha untuk menegakkan kebenaran secara sungguh-sungguh yang disepakati oleh semua orang dan kelompok. Maka dalam konteks keindonesiaan, apa yang dianggap benar oleh masyarakat Indonesia itulah yang harus diperjuangkan dan ditegakkan. Sehingga jihad yang demikian tidak akan lagi dipakai dan ‘dibajak’ oleh kepentingan kelompok untuk kepentingannya sendiri.

Achmad Thoifur mahasiswa Administrasi Publik Universitas Yudharta Pasuruan, menyebutkan, “Bahwa sasaran-sasaran jihad adalah hal-hal apa yang disepakati oleh publik? Ini bisa bersifat cultural maupun politic, misalnya jihad yang paling relevan bagi bangsa Indonesia adalah mengentas kemiskinan, melawan KKN dan probelmatika sosial lainnya. Maka itulah jihad yang universal, penuh makna dan harus didukung oleh kita semua. Sehingga hal ini mencerminkan kepada kita, bahwa jihad tidak jahat!”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar