Rabu, 26 November 2014

Sekolah Mestinya Tidak Dirancang Untuk Menghasilkan Orang2 Gagal

Proses pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini sangat jauh dari praktik pembelajaran yang manusiawi, yang sesuai dengan cara belajar alamiah kita. Konsep ”belajar” yang diterapkan telah sangat usang dan merupakan warisan dari jaman agraria dan industri.
Masalah utama yang ada dalam sistem pendidikan kita adalah sekolah memang dirancang untuk menghasilkan anak gagal. Ini semua sebagai akibat dari sistem pengujian kita yang menggunakan referensi norma, yang sangat mengagungkan penggunaan kurva distribusi normal atau kurva lonceng (Bell Curve). Kurva distribusi normal ini mengharuskan ada 10% anak yang prestasinya rendah, 80% rata-rata, dan 10% yang berprestasi cemerlang.
Ada sebuah dialog dengan sekelompok guru pada sebuah perkumpulan profesi Guru
A: ”Bapak/Ibu, jika anda punya 40 orang murid dalam satu kelas, dan saat ujian semua dapat nilai 100, anda sukses atau gagal?”
Layaknya paduan suara yang sangat kompak, serentak jawaban Guru-guru, ”Gagal...”
A: ”Lho, koq gagal?”.
Jawaban Guru :”Ya, kalau semua dapat 100 maka pasti soalnya terlalu mudah, atau gurunya yang tidak bisa membuat soal,”.
A: ”Bapak dan Ibu, misalnya anda diminta mengajar 40 orang anak memasak nasi goreng sea-food spesial. Kalau semua belum bisa (tidak digunakan kata ”tidak bisa” ) memasak nasi goreng seperti yang anda inginkan, apa yang akan anda lakukan?”
Jawaban Guru: ”Ya, kita akan mengulangi lagi sampai si anak benar-benar bisa,”
A: ”Sekarang, kalau semuanya berhasil memasak nasi goreng yang sangat enak, anda berhasil atau gagal?”
Jawabn Guru: ”Wah, kalau semuanya bisa, ini berarti kita sangat berhasil Pak”,
A : ”Kalau begitu apa bedanya antara mengajar anak memasak nasi goreng dengan mengajar anak suatu pelajaran, misalnya matematika atau bahasa Inggris?”
Kali ini semua Guru diam dan tidak bisa berkomentar.
Perlu ada penjelasan mengenai kurva distribusi normal yang sebenarnya, kalau menurut pendapat guru-guru tidak normal, karena mereka terikat pada aturan main (baca: sistem pendidikan). Mereka merasa tak berdaya karena bila mereka bersikeras untuk tidak mau mengikuti arus maka mereka akan mendapat kesulitan.
Ada ilustrasi cerita keberhasilan guru, saat mengajar mata kuliah Dasar Filsafat di satu universitas ternama di Surabaya. Ada 3 kelas pararel, masing-masing berisi 40-an mahasiswa, dengan dosen yang berbeda. Saat ujian, 95% dari murid di kelas Pak Danang mendapatkan nilai A, sisanya yang 5% dapat nilai B dan C. Hal ini sangat mengejutkan pihak universitas dan dosen lainnya. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Bukankah ini menyalahi kurva distribusi normal? Dan yang lebih ciamik lagi, soal yang diujikan bukan disusun oleh guru itu, tapi disusun oleh tim tersendiri.
Tujuan anak diajar adalah agar anak bisa menguasai apa yang diajarkan, dengan berbagai cara yang digunakan. Intinya agar anak bisa menguasai dengan baik apa yang diajarkan.
Jika ada timbul masalah tentang belajar biasanya kita hanya melihat pada sisi anak. Jarang sekali kita melihat dan mencari tahu peran yang dimainkan oleh sekolah dan sistem pendidikan kita hingga masalah muncul.
Sistem ujian kita menggunakan sistem closed-book atau buku tertutup. Praktek ini didasari oleh asumsi bahwa kemampuan mengingat suatu pengetahuan jauh lebih berharga dari pada kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan. Bukan berarti kita setuju bila anak nyontek.
Anak yang sangat pintar dalam hal aplikasi akan mendapat nilai jelek bila ia lupa rumus atau definisi. Bila kita mengacu pada hirarki kognisi seseorang, sesuai dengan taksonomi Bloom, maka cara ujian seperti ini hanya mengajarkan anak untuk berpikir pada level yang rendah, level menghapal saja. Kita tidak mengajar anak berpikir pada level yang lebih tinggi yaitu analisa, sintesa dan evaluasi.
Otak kita, yang memiliki kemampuan yang sangat luar biasa, dirancang untuk berpikir namun sistem pendidikan telah mereduksi fungsi otak hanya sebagai mesin foto kopi karena itu tidak salah jika muncul generasi copy-paste.
Kita musti mengubah sistem pendidikan kita menjadi suatu sistem yang benar-benar mampu memberdayakan anak kita. Hal ini untuk bisa membantu mengembangkan semua potensi yang dimiliki oleh anak-anak kita, melalui proses pendidikan yang memanusiakan anak manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar