Proses pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini sangat jauh dari
praktik pembelajaran yang manusiawi, yang sesuai dengan cara belajar
alamiah kita. Konsep ”belajar” yang diterapkan telah sangat usang dan
merupakan warisan dari jaman agraria dan industri.
Masalah utama yang
ada dalam sistem pendidikan kita adalah sekolah memang dirancang untuk
menghasilkan anak gagal. Ini semua sebagai akibat dari sistem pengujian
kita yang menggunakan referensi norma, yang sangat mengagungkan
penggunaan kurva distribusi normal atau kurva lonceng (Bell Curve).
Kurva distribusi normal ini mengharuskan ada 10% anak yang prestasinya
rendah, 80% rata-rata, dan 10% yang berprestasi cemerlang.
Ada sebuah dialog dengan sekelompok guru pada sebuah perkumpulan profesi Guru
A: ”Bapak/Ibu, jika anda punya 40 orang murid dalam satu kelas, dan saat ujian semua dapat nilai 100, anda sukses atau gagal?”
Layaknya paduan suara yang sangat kompak, serentak jawaban Guru-guru, ”Gagal...”
A: ”Lho, koq gagal?”.
Jawaban Guru :”Ya, kalau semua dapat 100 maka pasti soalnya terlalu mudah, atau gurunya yang tidak bisa membuat soal,”.
A:
”Bapak dan Ibu, misalnya anda diminta mengajar 40 orang anak memasak
nasi goreng sea-food spesial. Kalau semua belum bisa (tidak digunakan
kata ”tidak bisa” ) memasak nasi goreng seperti yang anda inginkan, apa
yang akan anda lakukan?”
Jawaban Guru: ”Ya, kita akan mengulangi lagi sampai si anak benar-benar bisa,”
A: ”Sekarang, kalau semuanya berhasil memasak nasi goreng yang sangat enak, anda berhasil atau gagal?”
Jawabn Guru: ”Wah, kalau semuanya bisa, ini berarti kita sangat berhasil Pak”,
A
: ”Kalau begitu apa bedanya antara mengajar anak memasak nasi goreng
dengan mengajar anak suatu pelajaran, misalnya matematika atau bahasa
Inggris?”
Kali ini semua Guru diam dan tidak bisa berkomentar.
Perlu
ada penjelasan mengenai kurva distribusi normal yang sebenarnya, kalau
menurut pendapat guru-guru tidak normal, karena mereka terikat pada
aturan main (baca: sistem pendidikan). Mereka merasa tak berdaya karena
bila mereka bersikeras untuk tidak mau mengikuti arus maka mereka akan
mendapat kesulitan.
Ada ilustrasi cerita keberhasilan guru, saat
mengajar mata kuliah Dasar Filsafat di satu universitas ternama di
Surabaya. Ada 3 kelas pararel, masing-masing berisi 40-an mahasiswa,
dengan dosen yang berbeda. Saat ujian, 95% dari murid di kelas Pak
Danang mendapatkan nilai A, sisanya yang 5% dapat nilai B dan C. Hal ini
sangat mengejutkan pihak universitas dan dosen lainnya. Bagaimana
mungkin hal ini bisa terjadi? Bukankah ini menyalahi kurva distribusi
normal? Dan yang lebih ciamik lagi, soal yang diujikan bukan disusun
oleh guru itu, tapi disusun oleh tim tersendiri.
Tujuan anak diajar
adalah agar anak bisa menguasai apa yang diajarkan, dengan berbagai cara
yang digunakan. Intinya agar anak bisa menguasai dengan baik apa yang
diajarkan.
Jika ada timbul masalah tentang belajar biasanya kita
hanya melihat pada sisi anak. Jarang sekali kita melihat dan mencari
tahu peran yang dimainkan oleh sekolah dan sistem pendidikan kita hingga
masalah muncul.
Sistem ujian kita menggunakan sistem closed-book
atau buku tertutup. Praktek ini didasari oleh asumsi bahwa kemampuan
mengingat suatu pengetahuan jauh lebih berharga dari pada kemampuan
untuk mencari sumber pengetahuan. Bukan berarti kita setuju bila anak
nyontek.
Anak yang sangat pintar dalam hal aplikasi akan mendapat
nilai jelek bila ia lupa rumus atau definisi. Bila kita mengacu pada
hirarki kognisi seseorang, sesuai dengan taksonomi Bloom, maka cara
ujian seperti ini hanya mengajarkan anak untuk berpikir pada level yang
rendah, level menghapal saja. Kita tidak mengajar anak berpikir pada
level yang lebih tinggi yaitu analisa, sintesa dan evaluasi.
Otak
kita, yang memiliki kemampuan yang sangat luar biasa, dirancang untuk
berpikir namun sistem pendidikan telah mereduksi fungsi otak hanya
sebagai mesin foto kopi karena itu tidak salah jika muncul generasi
copy-paste.
Kita musti mengubah sistem pendidikan kita menjadi suatu
sistem yang benar-benar mampu memberdayakan anak kita. Hal ini untuk
bisa membantu mengembangkan semua potensi yang dimiliki oleh anak-anak
kita, melalui proses pendidikan yang memanusiakan anak manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar