Rabu, 26 November 2014

KITA BANGSA PENGHAFAL TEORI

Pernahkah kita sadari bahwa, sejak menempuh bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi, kita manusia Indonesia, Sembilan puluh persen, mungkin lebih, kita hanya jadi bangsa penghafal teori belaka, teori yang tidak punya asas manfaat sama sekali dalam kehidupan secara nyata.
Apa yang saya alami mungkin juga dialam oleh seluruh orang Indonesia yang pernah bersekolah formal model negeri ini. Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), saya masih ingat betul bagaimana guru-guru kami saat itu begitu teoritis dalam mengajar. Guru agama kami memaksa kami menghafal salah satu ayatr al-quran lengkap beserta maknanya dalam bahasa Indonesia, semua harus dihafal, tidak kurang satu ayat atau satu kata makna terjemahan pun yang terlewatkan, tiap minggunya istilahnya harus “disetor”. lain lagi guru sejarah, ia memaksa kami, murid-muridnya menghafal dengan detail tanggal-tanggal, tahun-tahun, tokoh, dan catatan-catatan sejarah peristiwa bersejarah setiap babnya.
Guru PPKN, atau yang sekarang disebut sebagai kewarganegaraan pun tak jauh beda, malah lebih parah, aku anggap mata pelajaran paling teoritis di antara yang lain. Bagaimana tidak disebut teoritis, semua pasal-pasal yang terkait bab yang sedang diajar harus dihafalkan, begitupun definisi-definisinyanya yang sangat kontekstual, ketika ujian pun model soal yang keluar mudah ditebak, apa yang dimaksud? Apa pengertian dari? Apa tujuan dari? Apa pasal tentang? Sebutkan minimal tiga? Tahun berapakah?
Lain lagi guru fisika, setiap bab minimal pasati ada minimal dua rumus, setiap rumus pastinya dihafalkan. Kita para murid terpaksa mengahafal rumus yang memang sudah dari sononya, tak dijelaskan bagaimana ada alfa, bagaimana bisa beta, bagaimana muncul satuan konstan, menghitung yang kita sendiri tidak tahu asalnya, ukuran newton, ukuran massa, ukuran grafitasi yang juga sudah pakem juga dari sononya yang mustahil kita ketahui, bahkan oleh si guru pun jangan-jangan sama bodohnya,
“sudah ! pokoknya hafalkan rumus yang ada di Lembar kerja Siswa atau yang popular disebut buku LKS”, begitu kata sang pahlawan tanpa tanda jasa ini. Siap-siaplah disebut dicap sebagai yahudi jika mengkritisi musabab rumus tersebut, seolah buku dan LKS adalah kitab suci yang turun dari langit dan mutlak diimani tanpa banyak bicara.
Pun sama halnya dengan mata pelajaran lainya, tersebutlah ada Biologi, geografi, Bahasa Indonesia, matematika, dan juga mata pelajaran yang punya tempat istimewa di system pendidikan kita, melebihi bahasa dunia sendiri, apalagi kalau bukan Bahasa Inggris. Memang sang guru tidak memaksa secara langsung para siswanya untuk menghafal, namun sistem yang dibuat para guru memaksa kita mengahafal teori-teori tersebut, semua guru seolah sepakat bahwa yang dihafalkan sudah pasti itulah yang keluar saat ujian, mutlak dan tak bisa ditawar.
Bahkan pelajaran seni yang harusnya otak kiri kita yang selayaknya diistirahatkan pun kini tak lepas dari apa yang disebut LKS. Otak kiri kita serasa diperas tiap hari dari jam 07.00 sampai jam 14.00 saat kelas berakhir. Mungkin hanya satu mata pelajaran yang tidak menggunakan otak kiri, dan mungkin hanya satu-satunya, apalagi kalau bukan olahraga. Namun mata pelajaran yang mungkin sebagai mata pelajaran paling ditunggu ini pun juga telah terkontaminasi dengan apa yang disebut LKS, syahdan, kini setelah para murid berkeringat, pilihan ganda di LKS harus sudah diisi untuk selanjutnya dikumpulkan untuk dibubuhi paraf.
Namun, apakah kita menyematkan perilaku hafal teori ini pada pundak sang guru.?Ternyata sang guru, meski tak semua guru berorientasi demikian, pun adalah bagian dari sebuah sistem pendidikan Indonesia yang salah kaprah, siapa yang menciptakan, tentulah orang-orang di kemendiknas. Sistem yang diformalkan dan dilanggengkan keberadaanya dengan ujian nasional yang jelas hanya menciptakan pendidikan berorientasi nilai raport dan ijazah.
Pendidikan yang menciptakan kemapanan fatamorgana dan kebanggaan jangka pendek. Hanya memproduksi ilmuwan teoritis, mungkin itu pula yang menyebabkan negeri ini banyak ditemui praktisi, professor, pejabat yang cuma pandai berwacana dan berteoritis namun tak punya implementasi kongkret. Menciptakn juara-juara olimpiade internasional, sebuah kewajaran mengingat ribuan rumus fisika dan kimia telah melekat di luar kepala mereka sejak SMP, teori rumus-rumus sejenis yang di negara sekelas Jepang saja diajarkan baru saat di perguruan tinggi. Sangat bermanfaat bagi mereka para juara dengan otak encer, bagi saya dan sebagian besar murid, lain perkaranya, teori-teori tersebut hilang tak berbekas sejam setelah ujian berakhir. Sangat mubadzir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar