Pernahkah kita sadari bahwa, sejak menempuh bangku sekolah dasar
hingga perguruan tinggi, kita manusia Indonesia, Sembilan puluh persen,
mungkin lebih, kita hanya jadi bangsa penghafal teori belaka, teori yang
tidak punya asas manfaat sama sekali dalam kehidupan secara nyata.
Apa yang saya alami mungkin juga dialam oleh seluruh orang Indonesia yang pernah
bersekolah formal model negeri ini. Dulu ketika masih duduk di bangku
sekolah menengah pertama (SMP), saya masih ingat betul bagaimana
guru-guru kami saat itu begitu teoritis dalam mengajar. Guru agama kami
memaksa kami menghafal salah satu ayatr al-quran lengkap beserta
maknanya dalam bahasa Indonesia, semua harus dihafal, tidak kurang satu
ayat atau satu kata makna terjemahan pun yang terlewatkan, tiap
minggunya istilahnya harus “disetor”. lain lagi guru sejarah, ia memaksa
kami, murid-muridnya menghafal dengan detail tanggal-tanggal,
tahun-tahun, tokoh, dan catatan-catatan sejarah peristiwa bersejarah
setiap babnya.
Guru PPKN,
atau yang sekarang disebut sebagai kewarganegaraan pun tak jauh beda,
malah lebih parah, aku anggap mata pelajaran paling teoritis di antara
yang lain. Bagaimana tidak disebut teoritis, semua pasal-pasal yang
terkait bab yang sedang diajar harus dihafalkan, begitupun
definisi-definisinyanya yang sangat kontekstual, ketika ujian pun model
soal yang keluar mudah ditebak, apa yang dimaksud? Apa pengertian dari?
Apa tujuan dari? Apa pasal tentang? Sebutkan minimal tiga? Tahun
berapakah?
Lain lagi guru fisika, setiap bab minimal pasati ada
minimal dua rumus, setiap rumus pastinya dihafalkan. Kita para murid
terpaksa mengahafal rumus yang memang sudah dari sononya, tak dijelaskan bagaimana ada alfa, bagaimana bisa beta, bagaimana muncul satuan konstan, menghitung yang kita sendiri tidak tahu asalnya, ukuran newton, ukuran massa,
ukuran grafitasi yang juga sudah pakem juga dari sononya yang mustahil
kita ketahui, bahkan oleh si guru pun jangan-jangan sama bodohnya,
“sudah
! pokoknya hafalkan rumus yang ada di Lembar kerja Siswa atau yang
popular disebut buku LKS”, begitu kata sang pahlawan tanpa tanda jasa
ini. Siap-siaplah disebut dicap sebagai yahudi jika mengkritisi musabab
rumus tersebut, seolah buku dan LKS adalah kitab suci yang turun dari
langit dan mutlak diimani tanpa banyak bicara.
Pun sama halnya
dengan mata pelajaran lainya, tersebutlah ada Biologi, geografi, Bahasa
Indonesia, matematika, dan juga mata pelajaran yang punya tempat
istimewa di system pendidikan kita, melebihi bahasa dunia sendiri,
apalagi kalau bukan Bahasa Inggris. Memang sang guru tidak memaksa
secara langsung para siswanya untuk menghafal, namun sistem yang dibuat
para guru memaksa kita mengahafal teori-teori tersebut, semua guru
seolah sepakat bahwa yang dihafalkan sudah pasti itulah yang keluar saat
ujian, mutlak dan tak bisa ditawar.
Bahkan pelajaran seni yang
harusnya otak kiri kita yang selayaknya diistirahatkan pun kini tak
lepas dari apa yang disebut LKS. Otak kiri kita serasa diperas tiap hari
dari jam 07.00 sampai jam 14.00 saat kelas berakhir. Mungkin hanya satu
mata pelajaran yang tidak menggunakan otak kiri, dan mungkin hanya
satu-satunya, apalagi kalau bukan olahraga. Namun mata pelajaran yang
mungkin sebagai mata pelajaran paling ditunggu ini pun juga telah
terkontaminasi dengan apa yang disebut LKS, syahdan, kini setelah para
murid berkeringat, pilihan ganda di LKS harus sudah diisi untuk
selanjutnya dikumpulkan untuk dibubuhi paraf.
Namun, apakah kita
menyematkan perilaku hafal teori ini pada pundak sang guru.?Ternyata
sang guru, meski tak semua guru berorientasi demikian, pun adalah bagian
dari sebuah sistem pendidikan Indonesia yang salah kaprah, siapa yang
menciptakan, tentulah orang-orang di kemendiknas. Sistem yang
diformalkan dan dilanggengkan keberadaanya dengan ujian nasional yang
jelas hanya menciptakan pendidikan berorientasi nilai raport dan ijazah.
Pendidikan
yang menciptakan kemapanan fatamorgana dan kebanggaan jangka pendek.
Hanya memproduksi ilmuwan teoritis, mungkin itu pula yang menyebabkan
negeri ini banyak ditemui praktisi, professor, pejabat yang cuma pandai
berwacana dan berteoritis namun tak punya implementasi kongkret.
Menciptakn juara-juara olimpiade internasional, sebuah kewajaran
mengingat ribuan rumus fisika dan kimia telah melekat di luar kepala
mereka sejak SMP, teori rumus-rumus sejenis yang di negara sekelas
Jepang saja diajarkan baru saat di perguruan tinggi. Sangat bermanfaat
bagi mereka para juara dengan otak encer, bagi saya dan sebagian besar
murid, lain perkaranya, teori-teori tersebut hilang tak berbekas sejam
setelah ujian berakhir. Sangat mubadzir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar