Minggu, 23 November 2014

UNSUR-UNSUR HADITS DAN PROSES TRANSFORMASI NYA



UNSUR-UNSUR HADITS DAN PROSES TRANSFORMASI NYA
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata Kuliah: Pengantar Studi Hadits
Dosen Pengampu: H. Jajang Aisyul Muzzaki, M.Pd.I



Disusun oleh :
NANA SOLIHIN
MUHAMAD QUMAEDI
MUHAMAD RIZAL FKH.
LUCKY yANSyAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI ( IAIN )
SYEKH NURJATI CIREBON
2013-2014
MUQADIMAH
A.    Latar Belakang
Hadits adalah pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur’an. Segala sesuatu yang tidak disebutkan atau dijelaskan dalam Al-Qur’an baik dari segi ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya,dan petunjuk dalilnya, maka semua itu dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW. Intinya, hadits adalah penjelas dari Al-Qur;an. Al-Qur’an dan hadits adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya hadits sebagai petunjuk untuk kehidupan umat Islam.
Seiring perkembangan zaman, banyak sekali pihak-pihak yang ingin memalsukan hadits. Dengan cara membuat hadits-hadits palsu. Menimbang betapa pentingnya hadits untuk kehidupan umat islam dan banyaknya hadits palsu yang sudah beredar, maka sebagai umat Islam kita harus mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi keaslian hadits, kita harus  mempelajari struktur hadits itu sendiri seperti tentang sanad, matan, perawi dan mukharij hadits beserta transformasinya.  Transformasi hadits yakni periwayatan hadits atau jalannya hadits dari perawi sampai pada rasulullah. Ini adalah cara untuk mengetahui keaslian hadits dan kedudukan hadits.
Dalam makalah ini akan di bahas mengenai sanad, matan, rawi dan mukharij,   syarat-syarat perowi dan bentuk-bentuk transformasi hadits. Semoga dengan adanya makalah ini kita bisa lebih mengetahui secara mendalam tentang hadits beserta isinya. Amin…..
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan sanad, matan, rawi dan mukharij?
2.      Apa syarat-syarat menjadi seorang perawi?
3.      Bagaimana cara menerima hadits?

DAFTAR ISI

A.    Muqaddimah
1.      Latar Belakang……………………………………………………………1
2.      Rumusan Masalah………………………………………………………...1
B.     Daftar isi………………………………………………………………………2
C.     Pembahasan
1.      Struktur Hadits
a.       Pengertian Sanad……………………………………………………..3
b.      Pengertian Matan……………………………………………………..4
c.       Pengertian Rawi dan Mukharij……………………………………….5
2.      Syarat-syarat seorang Perawi……………………………………………..7
3.      Proses Transformasi Hadits……………………………………………..13
D.    Mukhatimah
a.       Kesimpulan………………………………………………………………20
b.      Saran……………………………………………………………………..21
E.     Daftar Pustaka……………………………………………………………….22








A.    UNSUR-UNSUR (STRUKTUR HADITS)
1.      Pengertian Sanad
Sanad menurut bahasa berarti sandaran, tempat kita bersandar. Sanad secara bahasa dapat diartikan pula al-mu`tamad المعتمد) (, yaitu yang di perpegangi
(yang kuat) / yang bias di jadikan pegangan atau dapat juga di artikan :
                                                                                                    مارتفع من الارض  
Yaitu sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah .[1]
Menurut istilah ahli hadits sanad ialah jalan yang menyampaikan kepada matan hadits.
            Secara terminologis , definisi sanad ialah  :
طرىق المتن, اي سلسله الرواة الذين نقلواا المتن من مصدره الاول "                                           هو
Sanad adalah jalannya matan , yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:32)
Maksudnya ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi hadits sejak yang disebut pertama sampai rasul saw, yang perkataan, perbuatan, takrir, dan lainnya merupakan materi atau matan hadits.[2] Dengan peng ertian di atas , maka sebutan sanad hanya berlaku pada rangkaian orang-orang, bukan dilihat dari sudut pribadinya secara perorangan, sedangkan sebutan untuk pribadi, yang menyampaikan hadits di lihat dari sudut perongannya disebut dengan rawi. Sanad sering disebut juga thariq dan wajh.[3] Selain sanad, dalam hadis terdapat istlah isnad. Isnad menurut ilmu bahasa menyandarkan, sedangkan menurut istilah isnad ialah menerangkan sanad hadits (jalan menerima hadis). Menurut Ath-Thibi, sebagaimana di kutip al-Qosimi , kata al-isnad dengan as-sanad mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan, berbeda dengan istilah al-musnad mempunyai beberapa arti : pertama, berarti hadits yang di riwayatkan dan di sandarkan atau di sanadkan kepada seseorang yang membawanya seperti ibn-Syihab az-Zuhri, Malik bin Annas, dan Amarah binti Abdarrahman ; kedua, berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sisitem penyusunannya berdasarkan nama-nama para sahabat perawi hadits , seperti kitab musnad ahmad, berarti nama bagi hadits yang memenuhi riteria marfu` (di sandarkan kepada nabi saw.) dan muttashil ( sanadnya bersambung sampai kepada akhirnya ).[4] Isnad adalah:
رفع الحديث الى قائله او فاعله                                                                           
“Menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya.”
 (Hasbi As-Shiddiqi,1985,43).
Atau:
عزو الحديث الى قا ئله                                                                                                  
“Mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakannya.”
Adapun orang yang menerangkan hadis dengan menyebutkan sanadnya, dinamakan musnid. Adapun hadis yang disebutkan dengan diterangkan sanadnya yang sampai kepada nabi dinamakan musnad.[5] Dengan sanadlah dapat diketahui mana yang diterima, mana yang ditolak, mana yang sah diamalkan, mana yang tidak sah. Asy-syafii mengatakan perumpamaan orang yang mencari hadits tanpa sanad sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api dimalam hari yang gelap.[6]
2.      Pengertian Matan
Matan menurut bahasa adalah punggung jalan (muka jalan), tanah yang keras dan tinggiما صلب و ارتفع من الارض ”. Kata matan dalam ilmu hadits ialah penghujung sanad, ada juga yang mengatakan materi atau lafal hadits itu sendiri. Sedangkan menurut ath-Thibi mendefinisikannya dengan:
الفظ الحديث التى تتقوم ها معانية                                                               
“Lafal-lafal hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu.”
(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:31)         
3.      Pengertian Rawi
Rawi adalah seorang yang mengutip hadis sekaligus dengan isnadnya, dia bisa laki-laki maupun perempuan.[7]Rawi menurut bahasa adalah orang yang meriwayatkan hadits atau memberitakan hadits.[8] Menurut Maslani dan Ratu Suntiah (Ikhtisar Ulumul Hadits:16) bahwa sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sana-sanad pada tiap Thobaqoh-nya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi yang membedakan antara rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits.[9]
Menurut A.Hasyim yang dikutip Maslani dan Ratu Suntiah (Ikhtisar Ulumul Hadits:17), rawi ialah orang yang menyampaikan dan menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang telah didengar dari seorang gurunya (A.Hasyim, 2004:120)
                                              الراوي من تلقي االحديث واده بصيغة من صيغ الاءداء
“Rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampayanya .”[10]  
Jadi rawi itu ialah orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan. Atau orang  yang telah  menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab. Menurut ilmu hadits Rawi adalah “orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang dari penelitian hadits adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut sisi positif maupun sisi negatif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu Jarh dan Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi perawi, apakah dapat dipercaya, handal, jujur, adil, dan tergas atau sebaliknya.
4.      Pengertian Riwayat, Takhrij dan Mukharij
Riwayat menurut bahasa ialah memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain. Menurut ilmu hadits ialah memindahkan hadits dari seorang guru kepada muridnya atau membukukannya kedalam kumpulan hadits. [11]
Takhrij menurut bahasa ialah mengeluarkan sesuatu dari suatu tempat. Menurut istilah ilmu hadits ialah:
a.       Mengambil sesuatu hadits dari suatu kitab, lalu mencari sanad yang lain dari sanad penyusunnya kitab itu. Orang yang mengerjakan hal ini, dinamakan mukharij dan mustakhrij.
b.      Menerangkan perawi dan derajat hadis yang tidak diterangkan.[12]
Adapun mukharrij (مخرّج) berasal dari kata: kharraja (خرّج) Akhraja (أخرج) mukhrij (مخرج)  mukharrij (مخرّج) “orang yang mengeluarkan”.  Menurut para Ahli Hadits, mukharrij:
                                                                        المخرج هو الذي يشتغل بجمع الحديث
“mukharrij atau mukhrij ialah orang yang menyusun (mengumpulkan) hadits “
Rawi dan Mukhrij adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangunan sebuah hadits. Mukharij maksudnya ialah “Orang yang mentakhrij hadits dan mengumpulkannya pada satu kitab hadits” Misalnya, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan Mukhorij adalah orang yang menyebutkan perawi hadits. Contoh sebuah hadits:
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول  الله صلى الله عليه وسلم: لا سهم فى الاسلام لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن لا وضوء له. (رواه البزار و اخرج الحاكم عن عا ئشة رضي الله عنها)                                   
“Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw besabda,” Tiada bagian  dalam islam bagi orang yang tidak mengerjakan shalat dan tiada shalat bagi orang yang tidak berwudhu.” ( HR. Bazzar dikeluarkan oleh imam Hakim dari Aisyah ra.)”[13]
عن معاذ بن جبل رضي الله قال: قال رسول الله صلي الله عليه و سلم: ليس يتحسر اهل الجنة الا علي ساعة مرت بهم لم يذكروا الله تعالى فيها. (اخرجه الطبرانى و البيهقي رواه احمد و ابن حبان و الحاكم باسناد صحيح) “Dari Muadz bin Jabal ra. Rasulullah saw bersabda,” Ahli surga tidak akan menyesali apapun (segala sesuatu di dunia) kecuali atas waktu yang mereka lalui tanpa dzikrullah didalamnya.” (dikelurkan oleh Thabrani dan Baihaqi diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban,dan Hakim dengan sanad yang shaih).”[14]
B.     SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI
1.      Syarat-Syarat Seorang Perawi
a.       Adl dan Jarh
Jarh dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits. Mustafa Al-Saba’i memasukkan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al Hadits”. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi kredibilitas, perawi hadits akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu ini sangat penting, siapapun yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini menjadi penentu hadits, apakah termasuk shohih atau tidak, layak dijadikan sumber hukum atau tidak.
Adl menurut pendapat ulama ialah suatu tenaga jiwa (malakah) yang mendorong kita tetap berlaku taqwa dan memelihara muruah. Orang yang seperti  ini dinamakan adil. Muruah ialah membersihkan dari segala macam perangai yang kurang baik seperti buang air besar ditengah jalan. Menurut ulama hadits adl ialah:
والتعديل هو تزكية الراوي و الحكم عليه بانه عدل او ضا بط                                            
“Menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukumiya bahwa ia adil dan dhabit”.[15]
Sedangkan jarh menurut bahasa ialah melukakan badan yang karenanya mengeluarkan darah (Hasbi, 1981: 2004). Menurut istilah ialah mencela perawi dan menolak riwayatnya. Menurut istilah ilmu hadis jarh adalah:
"Tampak suatu sifat pada perawi yang merusakkan keadilannya, hafalannya, karena gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah." (Ajaj al-Khatib, 1986:260). Sebagian ulama hadits mengatakan:
الجرح عند المحدثين الطعن فى راوى الحديث بما يسلب او يخل بعدا لته او ضبطه                 
“Menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan adil dan kedhabitannya”.[16]
Sifat-sifat yang menggugurkan keadilan perawi ada lima:
v  Dusta
v  Tertuduh dusta
v  Fusuq (melanggar perintah)
v  Jahalah atau tidak terkenal
v  Menganut bidah
Cacat-cacat yang merusakkan keshahihan hadis, yaitu:
Ø  Terlalu lengah
Ø  Banyak keliru (salah)
Ø  Menyalahi orang-orang yang terpercaya
Ø  Banyak berprasangka
Ø  Tidak baik hafalannya
Berakal cakap, adil dan islam adalah syarat-syarat yang mutlak harus dipenuhi oleh rawi agar riwayatnya dapat diterima. Syubah bin al-Hajjaj mengatakan bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi bila haditsnya ingin diterima yakni cakap atau cermat dan adil. Mengenai persyaratan harus islam dan berakal keduanya sudah persyaratan yang berlaku mutlak.[17] Menurut ulama hadis syarat  yang harus ada pada seorang rawi bukan hanya saja berakal tetapi baligh pun harus terdapat paa seorang perawi.[18]
Yang dimaksud dengan seorang rawi yang cermat adalah dia yang mendengarkan riwayat sebagaimana mestinya, mampu memahaminya dengan cermat dan saksama, menghafalnya dengan sempurna, hingga tidak menimbulkan keraguan, mempertahankan semuanya secara utuh mulai saat mendengar sampai waktu menyampaikannya.[19]
Seorang rawi yang adil harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dan ia meriwayatkan hadits dalam keadaan sadar.Maka dari itu rawi di tuntut mengetahui atau menguasai isi kitabnya. Jika meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal yang dapat menggangu makna hadits yang diriwayatkan. Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi terhadap urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang dapat merusak kepribadian.[20] Al-Khatib al-Baghdadi memberikan definisi tentang adil sebagai berikut: “Adil adalah yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkan kepadanya, dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat mempertahankan sifat-sifat tersebut ia bisa disebut bersikap adil terhadap agamanya, dan hadis-hadisnya diakui kejujurannya.”[21]

b.      Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab
Seorang rawi harus benar-benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam, diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat.
Perawi dalam kondisi terpaksa, lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan, hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara nilai pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam.
Perawi harus menyertakan kalimat-kalimat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat - kalimat “Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna (Makna) di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayatan. [22]Tetapi cara ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku Nabi saw. Kebolehan periwayatan hadits dengan makna terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (tadwin) hadits,harus dengan lapadz. Kedudukan boleh tidaknya  meriwayatkan hadits denan makna, sejak  sahabatpun sudah controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya. Tetapi, sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz tidak melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna.
c.       Sanadnya harus muttasil (bersambung)
Sanad yang muttasil artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
d.      Kuat hafalannya
Adapun yang dimaksudkan dengan kuat ingatan/ kokoh ingatan ialah sempurna ingatannya sejak ia menerima haditsnya itu dan dapat meriwayatkannya setiap saat. Kekohan ingatan (kekuatan ingatan) perawi itu,dibagi dua:
·         Kuat ingatannya karena kitabnya terpeihara. Ini dinamakan dinamakan dhabith al-kitab.
·         Kuat hafalan dan pemahamannya. Ini dinamakan dhabith ash-shadari.
e.       Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
f.       Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
Perawi-perawi yang tidak langsung ditolak riwayatnya dan tidak terus diterima riwayatnya ialah:
v  Orang yang diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
v  Orang yang banyak kesilapan (kesalahan) nya dalam menyalahi imam-imam yang kenamaan/terpercaya dalam riwayat-riwayatnta.
v  Orang yang banyak lupa
v  Orang yang rusak akal diakhir umurnya
v  Orang yang tidak baik hafalannya
v  Orang yang menerima hadis dari sembarang orang saja.
Hukum mencela para perawi menurut Al-Ghazaly dalam Ihya Ulumuddin dan an-Nawawy dalam Riyadh as-Shalihin dan ulama lain berpendapat mencela keadaan seseorang baik dia masih hidup ataupun sesudah meninggal dibolehkan apabila karena ada sesuatu kepentingan agama.
Ada 6 sebab yang meembolehkan mencela seseorang:
Ø  Karena teraniaya.
Ø  Meminta pertolongan untukmembasmikemungkaran.
Ø  Untuk mencela fatwa
Ø  Untuk menghindarkan diri dari kejahatan
Ø  Orang yang dicacati adalah orang-orang yang terang-terangan berbuat bid ah.
Ø  Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya.
Adapun nama-nama perawi yang dikenal maupun yang tidak dikenal adalah  Imam Bukhari, Imam Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Imam Ahmad. Al-Khathib al-Baghdady dalam kitab al-Kifiyah mengatakan orang yang majhul menurut ahli hadits ialah orang yang tidak dikenal mencari hadis dan tidak pula dikenal oleh sebagian besar ulama dan hanya diterima dari seorang perawi saja, seperti Amar Darinur, Jabbar at-Thai, Abdullah ibn Awaj al-Hamdani dan Sais ibn Haddan.
Adapun Sahabat-sahabat yang banyak meriwayatkan hadis yang terkenal dengan sebutan bendaharawan hadis, yakni menerima hadis menghafal dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis lebih dari 1000 hadis adalah:
a.       Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5374, menurut Al-Kirmany 5364.
b.      Anas ibn umar, meriwayatkan 2630.
c.       Anas ibn malik, meriwayatkan 2276.
d.      Aisyah istri Rasul SAW meriwayatkan 2210.
e.       Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan 1660.
f.       Jabir ibn Abdullah, meriwayatkan 1540.
g.      Abu sa’id al-khudri meriwayatkan 1170.
h.      Abdullah ibn Mas’ud.
i.        Abdullah ibn Amribn Ash.
Mereka memperoleh riwayat-riwayatnya yang banyak karena:
1.      Mereka paling awal masuk islam
2.      Terus menerus mendampingi nabi saw
3.      Menerima riwayat dari sebagian sahabat selain mendengar dari nabi saw
4.      Lama menyertai nabi saw dan mengetahui keadaan-keadaan nabi saw
5.      Berusaha untuk mencatatnya
2.      At-Tahamul wal Ada (Proses Transformasi Hadits) dan Shigat-Shigatnya
Tahammul wal ada adalah “mengambil atau menerima“ hadits dari salah seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan proses mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.[23] Yang dimaksud dengan “bentuk penyampaian” (sighatul-ada’) adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya, misalnya dengan kata : sami’tu ( سَمِعْتُ) “Aku telah mendengar”; haddatsani ( حَدَّثَنِي) “telah bercerita kepadaku”; dan yang semisal dengannya. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh.[24] Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil). Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah.[25]
Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masingnya sebagai berikut:
a.      Mendengar (Al Sama’)
Yaitu mendengarkan langsung dari guru. Sima’ mencakup imlak (pendekatan) dan tahdits (narasi atau memberi informasi) menurut ahli hadits. Simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi dan paling kuat. Sorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya (seorang guru meriwayatkan hadits ini kepada kami).
Gambarannya : Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits.
Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain. Adapun lafadh dengan bahsa arab yaitu :  سمعت, حدثني, اخبرني, ذكر لنا, قال لنا“samitu, haddatsani, akhbarani,dzakara lana, qala lana.”[26]
b.      Membaca (Al  Qira’ah)
Yaitu seorang murid menyuguhkan haditsnya kehadapan gurunya dalam periwayatannya, bisa seorang murid sendiri yang membacakan haditsnya pada seorang guru atau gurunya membacakan dan muridnya mendengarkan dengan baik. Seorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya. (aku bacakan hadits ini kepada fulan).
Bentuknya : Seorang perawi membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang kitab orang lain yang tsiqah. Mereka (para ulama) berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan as-sama’, atau lebih rendah darinya. Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh :  قرئت علي فلان“qaratu ala fulanin”atau “qaraa ala fulanin wa ana asma’,حدثنا “haddasana”  اخبرنا akhbarana”[27] aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan ia menyetujuinya. Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti :    حدثننا قرءة علي“haddatsana qira’atan ‘alaih” (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang lain.
c.       Ijazah (Al Ijazah)
Ijazah menurut bahasa yaitu memberikan izin dari seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah ahli hadits ijazah adalah pemberian izin oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan sebuah hadits tanpa membaca hadits tersebut satu persatu. Ijazah ini dapat dilakukan dengan cara lisan bisa juga dengan cara tertulis.  حدثنا اجارتنى“haddatsana ijaratana”.[28] “aku berikan ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang terdapat dalam kitab shahih Al Bukhari”
Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan hadits dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah :
*      Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,“Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”.
*      Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dan  juga tidak menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
*      Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,“Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
*      Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.
Bentuk pertama dari beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah  اجاز لفلانajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan),  حدثنا اجازةhaddatsana ijaazatan, اجازة  اخبرنا akhbarana ijaazatan, dan  اجازة  انبئنا anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
d.      Memberi (Munawalah)
Yaitu guru memberikan naskah asli kepada muridnya. Munawalah terbagi dua : “pertama”, munawalah disertai dengan ijazah, “Kedua”, munawalah yang tidak disertai ijazah. “seorang telah memberitahukan kepadaku”. [29]
*      Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
*      Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan : “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan.
e.       Menulis (Al Kitabah)
Yaitu guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain. Kata – kata yang di pakai “seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat menyurat”. Kitabah ada 2 macam :
*      Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
*      Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
f.       Pemberitahuan (I’lam)
Yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, perawi berkata : A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).
g.       Wasiat (Al Wasiyah)
Yaitu periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang diriwayatkan kepada orang lain. Waktu berlakunya di tentukan oleh orang yang memberi wasiat. Demikian pula dengan bimbingan dan kewenangannya. “seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang berkata dalam kitab itu “telah bercerita kepadamu sifulan”
Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat seseorang yang diterima dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama. Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan :  اوصا الي فلان بكتاب(Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin) (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau               haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
h.       Penentuan (Al – Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan. Cara ini biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid menemukan buku hadits orang lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab seseorang”.[30]
Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini,  perawi berkata,وجدت بخط فلان  Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau “qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
Dari delapan model dan cara  transmisi hadits yang telah dijelaskan di atas, yang dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah : Al-Sama, Al-Qira’ah dan Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif. Selebihnya diperselisihkan. Perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini terjadi  disebabkan karena mereka sangat berhati – hati dalam meriwayatkan hadits.

















MUKHATIMAH


A.    Kesimpulan
Hadits merupakan sumber islam yang kedua setelah al- Quran. Didalam memiliki struktur tertentu, yaitu sanad matan, rawi dan mukharij. Menurut ulama hadits, definisi sanad ialah  :
طرىق المتن, اي سلسله الرواة الذين نقلواا المتن من مصدره الاول "                                           هو
Sanad adalah jalannya matan , yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:32). Sedangkan pengertian matan dapat didefinisikan debagai berikut:
 الفظ الحديث التى تتقوم ها معانية                                                               
“Lafal-lafal hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu.”
(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:31). Adapun pengertian rawi adalah:
                                  الراوي من تلقي االحديث واده بصيغة من صيغ الاءداء
“Rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampayanya .”
Sedangkan untuk mukharij dapat diartikan:
                                                                           المخرج هو الذي يشتغل بجمع الحديث
“mukharrij atau mukhrij ialah orang yang menyusun (mengumpulkan) hadits “
Didalam meriwayatkan hadits, terdapat beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang perawi, yaitu:
a.      Adl dan Jarh
b.      Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab
c.       Sanadnya harus muttasil (bersambung)
d.      Kuat hafalannya
e.       Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
f.       Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
Adapun transformasi hadits dari seorang guru kepada muridnya ada 8 metode, yaitu:
v  Mendengar (Al Sama’)
v  Membaca (Al  Qira’ah)
v  Ijazah (Al Ijazah)
v  Memberi (Munawalah)
v  Menulis (Al Kitabah)
v  Pemberitahuan (I’lam)
v  Wasiat (Al Wasiyah)
v  Penentuan (Al – Wijadah)

B.     Saran
Tim penulis menyadari akan kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat diperlukan.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Manna. 2004. Mabhatsu Fi Ulumil Hadits. Maktabah Wahbah: Saudi Arabia.
Anwar Bc, Moh. 1981. Ilmu Mustalah Hadits. Al-Ikhlas: Surabaya.
As-Shalih, Subhi. 1997. Ulumul Hadits wa Musthalahu. Dar al-Ilmi lil-Malayani: Beirut.
As-Shiddieqy, Hasbi, Muhammad. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.    Pustaka Rizki Putra: Semarang.
Nuruddin. 1995. Ulumul Hadits. Rosda Karya: Bandung.
Rahman, Fathur.1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. PT. Al-Ma’arif: Bandung.
Saefullah, Yusuf dkk.2004. Pengantar Ilmu Hadits. Pustaka Bani Quraisy: Bandung.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Ghalia Indonesia.: Bogor.
Sholeh Al-Utsaimi, Muhammad. 2002. Ilmu Musthalah Hadits. Dar Al-Atsar: Mesir.
Smeer, Zeid. 2008.Ulumul Hadits dan Pengantar Studi Hadits. Praktis: UIN Press.     Malang.


[1] Nawir Yuslem,op, cit., halaman 148
[2] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta, Bulan Bintang, 1988) halaman 24
[3] Sohari Sahroni, Ulumul Hadits (IAIN SMH Banten, 2005) halaman 129
[4] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits (Jakarta, Raja Grafindo Persada,1997) halaman 3
[5] Ibnu Hamzah al-Husin al Hanafi al Damisyqi, ilmu hadis, (Surabaya: Kalam Mulia, tt hal. V)
[6] Munzier Suparta, op. cit. halaman 131. H. Muddasir, op. cit. halaman 146
[7]  Al- kifayah 97
[8] Tadrib ar-Rawi, halaman 11; bagian rawi halaman 197
[9] Ulumul Hadis, halaman 108-109
[10] Al-Manhaj al-Hadits bagian rawi hlm.5
[11] Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Studi Hadits, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2009) halaman 37
[12] Nuruddin, Ulumul Hadits, (Bandung, Rosdakarya, 1994) halaman 191
[13] Syekhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandhalawi,Fadhail Amal, (Jakarta, Pustaka Nabawi,2003), halaman 227
[14] Syekhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandhalawi,Fadhail Amal, (Jakarta, Pustaka Nabawi,2003), halaman 337
[15] Ibid, halaman 55.
[16] Qism ar-Ruwwat, halaman 82
[17] Lihat Ihya Ulumuddin (Afat AL-Lisan), 3: 148-150; Riyadh ash-Shalihin, 374-375; ar- Rafu wa at-Takmil karya al-Kunawi dengan catatan kakinya halaman 9-11dan at-tadrib halaman 520
[18] Marifah Ulum al-Hadis lil Hukmi halaman62.
[19] Kifayah hlm. 54. Pada bab yang menerangkan tentang keabsahan mendengar hadis bagi anak kecil.
[20]At-tadrib 110.
[21] Bandingkan dengan Taudliah al-Afkar 2/118
[22] T.M. Hasbi As-Sidiqy…, op. cit. halaman 13-14
[23] Afif Djalil, Ulumul Hadits, Diktat STAIN “SMHB” Serang, Tahun 2000
[24] Abidin Zinal, Musthalah al-Hadits, Fa Setia Karya, Bandung, t.th.
[25] Saefullah Yusuf dan Sumarna Cecep, Pengantar Studi Hadits, (Bandung, Pustaka Bani Quraisy,2001) halaman 191
[26] M.Ajaj al-Khatib, op.cit. hal. 234. Subhi Shaleh, op. Cit. Hal. 86. MM. Azmi, op.cit. hal. 40
[27] Syuhudil Ismail , op. Cit. Hal. 59-60
[28] Ibid
[29] MM. Azmi, Ioc. Cit.
[30] Ibid, halaman 82-83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar