UNSUR-UNSUR HADITS DAN PROSES
TRANSFORMASI NYA
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata Kuliah: Pengantar Studi
Hadits
Dosen Pengampu: H. Jajang Aisyul
Muzzaki, M.Pd.I
Disusun oleh :
NANA SOLIHIN
MUHAMAD QUMAEDI
MUHAMAD RIZAL FKH.
LUCKY yANSyAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (
IAIN )
SYEKH NURJATI
CIREBON
2013-2014
MUQADIMAH
A.
Latar
Belakang
Hadits adalah
pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur’an. Segala sesuatu yang tidak
disebutkan atau dijelaskan dalam Al-Qur’an baik dari segi ketentuan hukumnya,
cara mengamalkannya,dan petunjuk dalilnya, maka semua itu dijelaskan dalam
hadits Rasulullah SAW. Intinya, hadits adalah penjelas dari Al-Qur;an. Al-Qur’an
dan hadits adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, dapat
dipahami betapa pentingnya hadits sebagai petunjuk untuk kehidupan umat Islam.
Seiring
perkembangan zaman, banyak sekali pihak-pihak yang ingin memalsukan hadits.
Dengan cara membuat hadits-hadits palsu. Menimbang betapa pentingnya hadits
untuk kehidupan umat islam dan banyaknya hadits palsu yang sudah beredar, maka
sebagai umat Islam kita harus mengetahui keaslian hadits. Untuk mendeteksi
keaslian hadits, kita harus mempelajari
struktur hadits itu sendiri seperti tentang sanad, matan, perawi dan mukharij
hadits beserta transformasinya.
Transformasi hadits yakni periwayatan hadits atau jalannya hadits dari
perawi sampai pada rasulullah. Ini adalah cara untuk mengetahui keaslian hadits
dan kedudukan hadits.
Dalam makalah
ini akan di bahas mengenai sanad, matan, rawi dan mukharij, syarat-syarat perowi dan bentuk-bentuk
transformasi hadits. Semoga dengan adanya makalah ini kita bisa lebih
mengetahui secara mendalam tentang hadits beserta isinya. Amin…..
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan sanad, matan, rawi dan
mukharij?
2.
Apa syarat-syarat menjadi seorang perawi?
3.
Bagaimana cara menerima hadits?
DAFTAR ISI
A. Muqaddimah
1. Latar Belakang……………………………………………………………1
2. Rumusan Masalah………………………………………………………...1
B. Daftar isi………………………………………………………………………2
C. Pembahasan
1. Struktur Hadits
a. Pengertian Sanad……………………………………………………..3
b. Pengertian Matan……………………………………………………..4
c. Pengertian Rawi dan Mukharij……………………………………….5
2. Syarat-syarat seorang Perawi……………………………………………..7
3. Proses Transformasi Hadits……………………………………………..13
D. Mukhatimah
a. Kesimpulan………………………………………………………………20
b. Saran……………………………………………………………………..21
E. Daftar Pustaka……………………………………………………………….22
A.
UNSUR-UNSUR
(STRUKTUR HADITS)
1.
Pengertian
Sanad
Sanad menurut bahasa berarti
sandaran, tempat kita bersandar. Sanad secara bahasa dapat diartikan pula al-mu`tamad
المعتمد) (, yaitu yang di perpegangi
(yang kuat) / yang bias di jadikan pegangan atau dapat juga di artikan :
(yang kuat) / yang bias di jadikan pegangan atau dapat juga di artikan :
“مارتفع من الارض “
Yaitu sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah .[1]
Menurut istilah ahli hadits sanad ialah jalan
yang menyampaikan kepada matan hadits.
Secara terminologis , definisi sanad ialah :
طرىق المتن, اي سلسله الرواة الذين نقلواا المتن من مصدره الاول
" هو”
Sanad adalah jalannya matan , yaitu silsilah para perawi yang
memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:32)
Maksudnya ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan
materi hadits sejak yang disebut pertama sampai rasul saw, yang perkataan,
perbuatan, takrir, dan lainnya merupakan materi atau matan hadits.[2]
Dengan peng ertian di atas , maka sebutan sanad hanya berlaku pada rangkaian
orang-orang, bukan dilihat dari sudut pribadinya secara perorangan, sedangkan
sebutan untuk pribadi, yang menyampaikan hadits di lihat dari sudut perongannya
disebut dengan rawi. Sanad sering disebut juga thariq dan wajh.[3]
Selain sanad, dalam hadis terdapat istlah isnad. Isnad menurut ilmu bahasa
menyandarkan, sedangkan menurut istilah isnad ialah menerangkan sanad hadits
(jalan menerima hadis). Menurut Ath-Thibi, sebagaimana di kutip al-Qosimi ,
kata al-isnad dengan as-sanad mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan, berbeda
dengan istilah al-musnad mempunyai beberapa arti : pertama, berarti hadits yang
di riwayatkan dan di sandarkan atau di sanadkan kepada seseorang yang
membawanya seperti ibn-Syihab az-Zuhri, Malik bin Annas, dan Amarah binti Abdarrahman
; kedua, berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sisitem
penyusunannya berdasarkan nama-nama para sahabat perawi hadits , seperti kitab
musnad ahmad, berarti nama bagi hadits yang memenuhi riteria marfu` (di
sandarkan kepada nabi saw.) dan muttashil ( sanadnya bersambung sampai kepada
akhirnya ).[4]
Isnad adalah:
رفع الحديث الى
قائله او فاعله
“Menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya.”
(Hasbi As-Shiddiqi,1985,43).
Atau:
عزو الحديث الى قا ئله
“Mengasalkan hadits kepada orang yang mengatakannya.”
Adapun orang yang menerangkan hadis
dengan menyebutkan sanadnya, dinamakan musnid. Adapun hadis yang disebutkan
dengan diterangkan sanadnya yang sampai kepada nabi dinamakan musnad.[5]
Dengan sanadlah dapat diketahui mana yang diterima, mana yang ditolak, mana
yang sah diamalkan, mana yang tidak sah. Asy-syafii mengatakan perumpamaan
orang yang mencari hadits tanpa sanad sama dengan orang yang mengumpulkan kayu
api dimalam hari yang gelap.[6]
2.
Pengertian
Matan
Matan menurut bahasa adalah punggung
jalan (muka jalan), tanah yang keras dan tinggi ” ما صلب و ارتفع من الارض ”. Kata matan dalam ilmu hadits ialah penghujung sanad, ada
juga yang mengatakan materi atau lafal hadits itu sendiri. Sedangkan menurut
ath-Thibi mendefinisikannya dengan:
الفظ الحديث
التى تتقوم ها معانية
“Lafal-lafal hadits yang didalamnya mengandung makna-makna
tertentu.”
(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:31)
3.
Pengertian
Rawi
Rawi adalah seorang yang mengutip
hadis sekaligus dengan isnadnya, dia bisa laki-laki maupun perempuan.[7]Rawi
menurut bahasa adalah orang yang meriwayatkan hadits atau memberitakan hadits.[8]
Menurut Maslani dan Ratu Suntiah (Ikhtisar Ulumul Hadits:16) bahwa sanad dan rawi
itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sana-sanad pada tiap
Thobaqoh-nya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang
yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi yang membedakan antara
rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits.[9]
Menurut A.Hasyim yang dikutip Maslani dan Ratu Suntiah (Ikhtisar
Ulumul Hadits:17), rawi ialah orang yang menyampaikan dan menuliskan dalam
suatu kitab apa-apa yang telah didengar dari seorang gurunya (A.Hasyim,
2004:120)
الراوي من
تلقي االحديث واده بصيغة من صيغ الاءداء
“Rawi adalah
orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa
penyampayanya .”[10]
Jadi rawi itu ialah orang yang
menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki
maupun perempuan. Atau orang yang telah
menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab. Menurut
ilmu hadits Rawi adalah “orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang
dari penelitian hadits adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut
sisi positif maupun sisi negatif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu
Jarh dan Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi perawi, apakah dapat
dipercaya, handal, jujur, adil, dan tergas atau sebaliknya.
4.
Pengertian Riwayat, Takhrij dan Mukharij
Riwayat menurut bahasa ialah
memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain. Menurut
ilmu hadits ialah memindahkan hadits dari seorang guru kepada muridnya atau
membukukannya kedalam kumpulan hadits. [11]
Takhrij menurut bahasa ialah
mengeluarkan sesuatu dari suatu tempat. Menurut istilah ilmu hadits ialah:
a.
Mengambil
sesuatu hadits dari suatu kitab, lalu mencari sanad yang lain dari sanad
penyusunnya kitab itu. Orang yang mengerjakan hal ini, dinamakan mukharij dan
mustakhrij.
b.
Menerangkan
perawi dan derajat hadis yang tidak diterangkan.[12]
Adapun mukharrij (مخرّج) berasal dari kata: kharraja (خرّج) Akhraja (أخرج) mukhrij (مخرج) mukharrij (مخرّج) “orang yang mengeluarkan”. Menurut para Ahli Hadits, mukharrij:
المخرج هو الذي يشتغل بجمع
الحديث
“mukharrij
atau mukhrij ialah orang yang menyusun (mengumpulkan) hadits “
Rawi dan Mukhrij adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangunan
sebuah hadits. Mukharij maksudnya ialah “Orang yang mentakhrij hadits dan
mengumpulkannya pada satu kitab hadits” Misalnya, Imam Bukhari, Imam
Muslim, dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan Mukhorij adalah orang yang menyebutkan
perawi hadits. Contoh sebuah hadits:
عن ابى
هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: لا سهم فى الاسلام لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن لا وضوء له.
(رواه البزار و اخرج الحاكم عن عا ئشة رضي الله عنها)
“Dari
Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw besabda,” Tiada bagian dalam islam bagi orang yang tidak mengerjakan
shalat dan tiada shalat bagi orang yang tidak berwudhu.” ( HR. Bazzar dikeluarkan
oleh imam Hakim dari Aisyah ra.)”[13]
عن معاذ
بن جبل رضي الله قال: قال رسول الله صلي الله عليه و سلم: ليس يتحسر اهل الجنة الا
علي ساعة مرت بهم لم يذكروا الله تعالى فيها. (اخرجه الطبرانى و البيهقي رواه احمد
و ابن حبان و الحاكم باسناد صحيح) “Dari Muadz bin Jabal ra.
Rasulullah saw bersabda,” Ahli surga tidak akan menyesali apapun (segala sesuatu
di dunia) kecuali atas waktu yang mereka lalui tanpa dzikrullah didalamnya.”
(dikelurkan oleh Thabrani dan Baihaqi diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban,dan
Hakim dengan sanad yang shaih).”[14]
B.
SYARAT
SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI
1.
Syarat-Syarat Seorang Perawi
a.
‘Adl
dan Jarh
Jarh dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits.
Mustafa Al-Saba’i
memasukkan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al
Hadits”. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan
terjadi kredibilitas, perawi hadits akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu ini
sangat penting, siapapun
yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini menjadi penentu
hadits, apakah termasuk shohih atau tidak, layak dijadikan sumber hukum atau tidak.
‘Adl menurut pendapat ulama ialah suatu tenaga jiwa (malakah) yang
mendorong kita tetap berlaku taqwa dan memelihara muru’ah. Orang
yang seperti ini dinamakan adil. Muru’ah
ialah membersihkan dari segala macam perangai yang kurang baik seperti buang
air besar ditengah jalan. Menurut ulama hadits’ adl ialah:
والتعديل هو تزكية الراوي و الحكم عليه بانه عدل او ضا بط
“Menilai bersih
terhadap seorang rawi dan menghukumiya bahwa ia adil dan dhabit”.[15]
Sedangkan jarh menurut bahasa ialah melukakan badan yang karenanya mengeluarkan darah (Hasbi, 1981:
2004). Menurut istilah
ialah mencela perawi dan menolak riwayatnya. Menurut istilah ilmu hadis jarh adalah:
"Tampak suatu sifat pada perawi yang merusakkan
keadilannya, hafalannya, karena gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah."
(Ajaj al-Khatib, 1986:260). Sebagian ulama hadits mengatakan:
الجرح عند المحدثين الطعن فى راوى الحديث بما يسلب او يخل بعدا لته او
ضبطه
“Menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga
mengangkat atau mencacatkan adil dan kedhabitannya”.[16]
Sifat-sifat yang menggugurkan
keadilan perawi ada lima:
v Dusta
v Tertuduh dusta
v Fusuq (melanggar perintah)
v Jahalah atau tidak terkenal
v Menganut bid’ah
Cacat-cacat yang merusakkan
keshahihan hadis, yaitu:
Ø Terlalu lengah
Ø Banyak keliru (salah)
Ø Menyalahi orang-orang yang terpercaya
Ø Banyak berprasangka
Ø Tidak baik hafalannya
Berakal cakap, adil dan islam adalah
syarat-syarat yang mutlak harus dipenuhi oleh rawi agar riwayatnya dapat
diterima. Syu’bah bin al-Hajjaj
mengatakan bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi bila
haditsnya
ingin diterima yakni cakap atau
cermat dan adil. Mengenai persyaratan harus islam dan berakal keduanya sudah
persyaratan yang berlaku mutlak.[17]
Menurut ulama hadis syarat yang harus
ada pada seorang rawi bukan hanya saja berakal tetapi baligh pun harus terdapat
paa seorang perawi.[18]
Yang dimaksud dengan seorang rawi yang cermat
adalah dia yang mendengarkan riwayat sebagaimana mestinya, mampu memahaminya
dengan cermat dan saksama, menghafalnya dengan sempurna, hingga tidak
menimbulkan keraguan, mempertahankan semuanya secara utuh mulai saat mendengar
sampai waktu menyampaikannya.[19]
Seorang rawi yang adil
harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat,
terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dan
ia meriwayatkan hadits dalam keadaan sadar.Maka dari itu rawi di tuntut
mengetahui atau menguasai isi kitabnya. Jika
meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal yang
dapat menggangu makna hadits yang diriwayatkan. Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten
dan berkomitmen tinggi terhadap urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan
dan dari hal-hal yang dapat merusak kepribadian.[20]
Al-Khatib al-Baghdadi memberikan definisi tentang adil sebagai berikut: “Adil
adalah yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkan
kepadanya, dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan,
mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam dalam segala tindakan dan pergaulannya,
serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat mempertahankan sifat-sifat tersebut ia bisa
disebut bersikap adil terhadap agamanya, dan hadis-hadisnya diakui
kejujurannya.”[21]
b. Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab
Seorang rawi harus benar-benar
memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam, diantaranya, perawi harus
seorang ahli ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan
maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan
tepat.
Perawi dalam kondisi
terpaksa, lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat
diperlukan, hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits,
atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara nilai
pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat
Islam.
Perawi harus menyertakan kalimat-kalimat yang menunjukkan bahwa hadits
tersebut diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat -
kalimat “Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al
makna (Makna) di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu
tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayatan. [22]Tetapi
cara ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase
prilaku Nabi saw. Kebolehan periwayatan hadits dengan makna
terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa
pembukuan (tadwin) hadits,harus dengan
lapadz. Kedudukan boleh tidaknya meriwayatkan hadits denan makna, sejak sahabatpun
sudah controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya. Tetapi,
sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz tidak
melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna.
c.
Sanadnya harus muttasil
(bersambung)
Sanad
yang muttasil artinya tiap-tiap perawi betul-betul
mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya
benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
d.
Kuat hafalannya
Adapun yang dimaksudkan dengan kuat ingatan/
kokoh ingatan ialah sempurna ingatannya sejak ia menerima haditsnya itu dan
dapat meriwayatkannya setiap saat. Kekohan ingatan (kekuatan ingatan) perawi
itu,dibagi dua:
·
Kuat
ingatannya karena kitabnya terpeihara. Ini dinamakan dinamakan dhabith
al-kitab.
·
Kuat
hafalan dan pemahamannya. Ini dinamakan dhabith ash-shadari.
e.
Tidak bertentangan
dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
f.
Tidak berillat, yakni
tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
Perawi-perawi
yang tidak langsung ditolak riwayatnya dan tidak terus diterima riwayatnya
ialah:
v Orang yang diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang
keadilannya.
v Orang yang banyak kesilapan (kesalahan) nya dalam menyalahi
imam-imam yang kenamaan/terpercaya dalam riwayat-riwayatnta.
v Orang yang banyak lupa
v Orang yang rusak akal diakhir umurnya
v Orang yang tidak baik hafalannya
v Orang yang menerima hadis dari sembarang orang saja.
Hukum
mencela para perawi menurut Al-Ghazaly
dalam Ihya Ulumuddin dan an-Nawawy dalam Riyadh as-Shalihin dan ulama lain berpendapat mencela keadaan seseorang baik dia
masih hidup ataupun sesudah meninggal dibolehkan apabila karena ada sesuatu
kepentingan agama.
Ada 6 sebab yang meembolehkan
mencela seseorang:
Ø Karena teraniaya.
Ø Meminta pertolongan untukmembasmikemungkaran.
Ø Untuk mencela fatwa
Ø Untuk menghindarkan diri dari kejahatan
Ø Orang yang dicacati adalah orang-orang yang terang-terangan berbuat
bid ‘ah.
Ø Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya.
Adapun
nama-nama perawi yang dikenal maupun yang tidak dikenal adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Tirmidzi, Nasai,
Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Imam Ahmad. Al-Khathib al-Baghdady dalam kitab al-Kifiyah mengatakan orang yang
majhul menurut ahli hadits ialah orang yang tidak dikenal mencari hadis dan
tidak pula dikenal oleh sebagian besar ulama dan hanya diterima dari seorang
perawi saja, seperti Amar Darinur, Jabbar at-Tha’i, Abdullah ibn
Awaj al-Hamdani dan Sais ibn Haddan.
Adapun Sahabat-sahabat
yang banyak meriwayatkan hadis yang terkenal dengan sebutan bendaharawan hadis, yakni menerima hadis menghafal dan
mengembangkan atau meriwayatkan hadis lebih dari 1000 hadis adalah:
a. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5374,
menurut Al-Kirmany 5364.
b. Anas ibn umar, meriwayatkan 2630.
c. Anas ibn malik, meriwayatkan 2276.
d. Aisyah istri Rasul SAW meriwayatkan 2210.
e. Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan 1660.
f. Jabir ibn Abdullah, meriwayatkan 1540.
g. Abu sa’id al-khudri meriwayatkan 1170.
h. Abdullah ibn Mas’ud.
i.
Abdullah
ibn Amribn Ash.
Mereka memperoleh riwayat-riwayatnya yang banyak karena:
1.
Mereka
paling awal masuk islam
2.
Terus
menerus mendampingi nabi saw
3.
Menerima
riwayat dari sebagian sahabat selain mendengar dari nabi saw
4.
Lama
menyertai nabi saw dan mengetahui keadaan-keadaan nabi saw
5.
Berusaha
untuk mencatatnya
2.
At-Tahamul wal Ada (Proses Transformasi Hadits) dan
Shigat-Shigatnya
Tahammul wal ada adalah “mengambil atau
menerima“ hadits dari salah seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan
proses mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.[23] Yang dimaksud
dengan “bentuk penyampaian” (sighatul-ada’) adalah lafadh-lafadh yang digunakan
oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya,
misalnya dengan kata : sami’tu ( سَمِعْتُ) “Aku telah mendengar”; haddatsani ( حَدَّثَنِي) “telah bercerita kepadaku”; dan yang semisal dengannya. Dalam menerima hadits
tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh.[24]
Inilah pendapat yang benar. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus
Islam dan baligh. Maka diterima riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits
yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz
atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil). Sebagian ulama memberikan
batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan
tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan
jawaban dan pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak,
maka haditsnya ditolak.
Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah.[25] Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masingnya sebagai berikut:
Jalan untuk menerima dan menyampaikan hadits ada delapan, yaitu as-sama’ atau mendengar lafadh syaikh; al-qira’ah atau membaca kepada syaikh; al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-I’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah.[25] Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian masing-masingnya sebagai berikut:
a. Mendengar (Al Sama’)
Yaitu mendengarkan langsung dari guru. Sima’ mencakup imlak
(pendekatan) dan tahdits (narasi atau memberi informasi) menurut ahli hadits.
Simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi dan paling kuat. Sorang rawi
di perbolehkan untuk mengatakan dalam periwayatannya (seorang guru meriwayatkan
hadits ini kepada kami).
Gambarannya :
Seorang guru membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya
atau tulisannya, dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya,
atau mendengar saja dan tidak menulis. Menurut jumhur ulama, as-sama’ ini
merupakan bagian yang paling tinggi dalam pengambilan hadits.
Lafadh-lafadh
penyampaian hadits dengan cara ini adalah aku telah mendengar dan telah
menceritakan kepadaku. Jika perawinya banyak : kami telah mendengar dan telah
menceritakan kepada kami. Ini menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang
syaikh bersama yang lain. Adapun lafadh dengan bahsa arab yaitu : سمعت, حدثني, اخبرني, ذكر لنا, قال لنا“sami’tu,
haddatsani, akhbarani,dzakara lana, qala lana.”[26]
b.
Membaca (Al Qira’ah)
Yaitu seorang murid menyuguhkan
haditsnya kehadapan gurunya dalam periwayatannya, bisa seorang murid sendiri
yang membacakan haditsnya pada seorang guru atau gurunya membacakan dan muridnya
mendengarkan dengan baik. Seorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam
periwayatannya. (aku bacakan hadits ini kepada fulan).
Bentuknya : Seorang perawi
membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk
meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh
mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh
mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang
kitab orang lain yang tsiqah. Mereka (para ulama)
berselisih pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan
as-sama’, atau lebih rendah darinya. Yang benar adalah lebih rendah dari as-sama’. Ketika menyampaikan
hadits atau riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh : قرئت علي فلان“qaratu
ala fulanin”atau “qaraa ala fulanin
wa ana asma’,حدثنا “haddasana”
اخبرنا “akhbarana”[27]
aku telah membaca kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar
orang membaca dan ia menyetujuinya. Lafadh as-sama’ berikutnya adalah yang
terikat dengan lafadh qira’ah seperti : حدثننا قرءة علي“haddatsana
qira’atan ‘alaih” (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang
kepadanya). Namun yang umum menurut ahli hadits
adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana saja tanpa tambahan yang
lain.
c.
Ijazah (Al Ijazah)
Ijazah menurut bahasa yaitu memberikan izin dari seseorang
kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah ahli hadits ijazah adalah pemberian
izin oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan sebuah hadits tanpa
membaca hadits tersebut satu persatu. Ijazah ini dapat dilakukan dengan cara
lisan bisa juga dengan cara tertulis. حدثنا اجارتنى“haddatsana ijaratana”.[28] “aku berikan
ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang terdapat dalam
kitab shahih Al Bukhari”
Gambarannya
: Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan
kepadamu untuk meriwayatkan hadits dariku demikian. Di antara macam-macam
ijazah adalah :
Syaikh mengijazahkan
sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,“Aku
ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”.
Syaikh
mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dan
juga tidak
menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,“Aku ijazahkan semua
riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
Syaikh mengijazahkan
kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,“Aku
ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat
sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.
Syaikh memberikan
ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam
majelis. Umpamanya dia berkata,“Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan
keturunannya”.
Bentuk pertama dari
beberapa bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan
ditetapkan sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar.
Sedangkan bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para
ulama. Ada yang bathil lagi tidak berguna. Lafadh-lafdh yang
dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah اجاز
لفلانajaza li fulan (beliau telah memberikan ijazah
kepada si fulan), حدثنا اجازةhaddatsana ijaazatan, اجازة اخبرنا akhbarana
ijaazatan, dan اجازة انبئنا anba-ana
ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
d. Memberi (Munawalah)
Yaitu guru memberikan naskah asli kepada muridnya. Munawalah
terbagi dua : “pertama”, munawalah disertai dengan ijazah, “Kedua”, munawalah
yang tidak disertai ijazah. “seorang telah memberitahukan kepadaku”. [29]
Al-Munawalah yang
disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam
ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada
sang murid, lalu mengatakan kepadannya,“Ini riwayatku dari si fulan, maka
riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki
atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti
ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
Al-Munawalah yang tidak
diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid
dengan hanya mengatakan : “Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini tidak boleh
diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih. Lafadh-lafadh yang dipakai dalam
menyampaikan hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini
adalah jika si perawi berkata : nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa
munawalatan wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan.
e. Menulis (Al Kitabah)
Yaitu guru menulis sendiri atau
menyuruh orang lain menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain. Kata –
kata yang di pakai “seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat menyurat”. Kitabah ada 2 macam :
Kitabah yang disertai
dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,“Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku
tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah
shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
Kitabah yang tidak
disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya
dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya.
Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak
memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa
tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
f.
Pemberitahuan (I’lam)
Yaitu seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa
hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan, dengan tidak
disertakan izin untuk meriwayatkan daripadanya. Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian yang
lain tidak membolehkannya. Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, perawi
berkata : A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).
g. Wasiat (Al Wasiyah)
Yaitu periwayat hadits mewasiatkan kitab hadits yang
diriwayatkan kepada orang lain. Waktu berlakunya di tentukan oleh orang yang
memberi wasiat. Demikian pula dengan bimbingan dan kewenangannya. “seseorang
telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang berkata dalam kitab itu
“telah bercerita kepadamu sifulan”
Seorang syaikh
mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang
ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat seseorang
yang diterima dengan jalan
wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama. Ketika menyampaikan
riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : اوصا الي فلان بكتاب(Aushaa
ilaya fulaanun bi kitaabin) (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah
kitab), atau haddatsanii
fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah
wasiat).
h.
Penentuan (Al – Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak
diriwayatkan. Cara ini biasanya dilakukan murid dengan cara seorang murid
menemukan buku hadits orang lain tanpa rekomendasi perizinan untuk meriwayatkan
di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. “saya telah membaca kitab
seseorang”.[30]
Seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan
seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang hadits-haditsnya tidak pernah
didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi. Wijadah
ini termasuk hadits munqathi’, karena si perawi tidak menerima sendiri dari
orang yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan
jalan wijadah ini, perawi berkata,وجدت بخط فلان “Wajadtu
bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan),
atau “qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan
tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
Dari
delapan model dan cara transmisi hadits yang telah dijelaskan di atas,
yang dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah : Al-Sama,
Al-Qira’ah dan Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif. Selebihnya
diperselisihkan. Perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini terjadi disebabkan karena mereka sangat berhati – hati
dalam meriwayatkan hadits.
MUKHATIMAH
A.
Kesimpulan
Hadits merupakan sumber islam yang
kedua setelah al- Qur’an. Didalam memiliki struktur tertentu, yaitu sanad
matan, rawi dan mukharij. Menurut ulama hadits, definisi sanad ialah :
طرىق المتن, اي سلسله الرواة الذين نقلواا المتن من مصدره الاول
" هو”
Sanad adalah jalannya matan , yaitu
silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang
pertama.(Ajjaj
Al-Khatib,t.t.:32). Sedangkan pengertian matan dapat didefinisikan debagai
berikut:
الفظ الحديث التى تتقوم ها معانية
“Lafal-lafal hadits yang didalamnya mengandung makna-makna
tertentu.”
(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:31). Adapun pengertian rawi adalah:
الراوي من تلقي االحديث واده بصيغة من صيغ الاءداء
“Rawi adalah
orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa
penyampayanya .”
Sedangkan untuk mukharij dapat diartikan:
المخرج هو الذي يشتغل بجمع الحديث
“mukharrij
atau mukhrij ialah orang yang menyusun (mengumpulkan) hadits “
Didalam meriwayatkan hadits,
terdapat beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang perawi, yaitu:
a.
‘Adl
dan Jarh
b.
Memiliki Pengetahuan
Bahasa Arab
c. Sanadnya
harus muttasil (bersambung)
d. Kuat hafalannya
e.
Tidak bertentangan
dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
f. Tidak
berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
Adapun
transformasi hadits dari seorang guru kepada muridnya ada 8 metode, yaitu:
v Mendengar
(Al Sama’)
v Membaca (Al Qira’ah)
v Ijazah (Al
Ijazah)
v Memberi
(Munawalah)
v Menulis
(Al Kitabah)
v Pemberitahuan
(I’lam)
v Wasiat (Al
Wasiyah)
v Penentuan
(Al – Wijadah)
B.
Saran
Tim penulis menyadari akan
kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu kritik dan
saran dari pembaca sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna. 2004. Mabhatsu Fi Ulumil Hadits.
Maktabah Wahbah: Saudi Arabia.
Anwar Bc, Moh. 1981. Ilmu Mustalah Hadits. Al-Ikhlas:
Surabaya.
As-Shalih,
Subhi. 1997. Ulumul Hadits wa Musthalahu. Dar al-Ilmi lil-Malayani: Beirut.
As-Shiddieqy,
Hasbi, Muhammad. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Pustaka Rizki Putra: Semarang.
Nuruddin.
1995. Ulumul Hadits. Rosda Karya: Bandung.
Rahman, Fathur.1974. Ikhtisar
Musthalahul Hadits. PT. Al-Ma’arif: Bandung.
Saefullah,
Yusuf dkk.2004. Pengantar Ilmu Hadits. Pustaka Bani Quraisy: Bandung.
Sahrani,
Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Ghalia Indonesia.: Bogor.
Sholeh Al-Utsaimi, Muhammad. 2002. Ilmu Musthalah Hadits.
Dar Al-Atsar: Mesir.
Smeer, Zeid. 2008.Ulumul Hadits dan Pengantar Studi Hadits.
Praktis: UIN Press. Malang.
[1]
Nawir Yuslem,op, cit., halaman 148
[2] M.
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta, Bulan Bintang,
1988) halaman 24
[3]
Sohari Sahroni, Ulumul Hadits (IAIN SMH Banten, 2005) halaman 129
[7] Al- kifayah 97
[9] Ulumul
Hadis, halaman 108-109
[10] Al-Manhaj al-Hadits
bagian rawi hlm.5
[11] Tengku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Studi Hadits, (Semarang,
Pustaka Rizki Putra, 2009) halaman 37
[12] Nuruddin, Ulumul
Hadits, (Bandung, Rosdakarya, 1994) halaman 191
[13] Syekhul
Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandhalawi,Fadhail Amal, (Jakarta,
Pustaka Nabawi,2003), halaman 227
[14]
Syekhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandhalawi,Fadhail Amal,
(Jakarta, Pustaka Nabawi,2003), halaman 337
[17] Lihat Ihya Ulumuddin (Afat AL-Lisan), 3: 148-150; Riyadh
ash-Shalihin, 374-375; ar- Rafu wa at-Takmil karya al-Kunawi dengan catatan
kakinya halaman 9-11dan at-tadrib halaman 520
[18] Marifah
Ulum al-Hadis lil Hukmi halaman62.
[19] Kifayah hlm. 54. Pada bab yang menerangkan tentang keabsahan
mendengar hadis bagi anak kecil.
[20]At-tadrib 110.
[21]
Bandingkan dengan Taudliah al-Afkar 2/118
[22]
T.M. Hasbi As-Sidiqy…, op. cit. halaman 13-14
[23]
Afif Djalil, Ulumul Hadits, Diktat STAIN “SMHB” Serang, Tahun 2000
[24] Abidin
Zinal, Musthalah al-Hadits, Fa Setia Karya, Bandung, t.th.
[25]
Saefullah Yusuf dan Sumarna Cecep, Pengantar Studi Hadits, (Bandung,
Pustaka Bani Quraisy,2001) halaman 191
[30]
Ibid, halaman 82-83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar