MAKALAH
HADITS BERDASARKAN
KUANTITAS DAN KUALITASNYA
Makalah ini di ajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Pengantar
Studi Hadits
Dosen pengampu : H.
Jajang Aisyul Muzzaki M.Pd.I
Disusun oleh :
Kiki Amalia (14121610693)
Nurlaelah (14121610716)
Vina Yulia (14121610733)
TARBIYAH IPA- BIOLOGI B/2
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI
CIREBON
2013
Kata Pengantar
Alhamdulillah,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah dengan judul “Pembagian Hadits berdasarkan
kuantitas dan kualitasnya”.
Sholawat
teriring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang
benderang.
Tujuan
dibuatnya makalah ini diharapkan agar dijadikan sebagai wawasan kita terhadap
mata kuliah “Pengantar Studi Hadits” sesuai dengan tema yang kami angkat.
Penyusun telah berusaha demi keberhasilan dan kesempurnaan makalah ini. Namun,
kami merasa masih terlalu banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon
kritikan dan saran yang membangun baik dari dosen pembimbing maupun dari rekan-rekan
mahasiswa.
Tidak
lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua ppihak yang telah
membantu dalam penyelesaian Makalah ini, semoga dengan apa yang ada dalam
Makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amiin ...
Cirebon, 6 Maret 2013
penyusun
DAFTAR
ISI
Kata
pengantar.............................................................................................. i
Daftar
isi......................................................................................................... i
BAB
I Pembahasan
Pembagian
hadits ditinjau dari segi kuantitasnya........................................... 1
A. Hadits
mutawatir.......................................................................... 1
B. Hadit
ahad.................................................................................... 4
Pembagian
hadits ditinjau dari segi kualitasnya..................................7
A. Hadits
shahih ...............................................................................7
B. Hadits
hasan.................................................................................8
C. Hadits
Dha’if...............................................................................9
Kesimpulan................................................................................................. 12
Daftar
pustaka............................................................................................ 14
A. PEMBAGIAN HADITS
DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA
(JUMLAH PEROWI).
Para ulama berbeda pendapat tentang
pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya atau jumlah rawi yang menjadi
sumber berkaitan.Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian ,
yakni hadis mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi
dua , yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Ulama golongan pertama, yang menjadikan
hadits masyhur berdiri sendiri , tidak termasuk bagian dari hadis ahad, dianut
oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jasashah (305-370
H).Adapun ulama golongan kedua , diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulam
kalam.menurut mereka , hadis masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri
sensdiri , tetapi merupakan bagian dari ahad.itulah sebabnya mereka membagi
hadis menjadi dua bagian yaitu, mutawatir dan ahad.
(sohari
sahrani.halaman 83)
Ditinjau
dari segi jumlah perowi yang meriwayatkan, maka hadits itu dapat dibagi menjadi
dua bagian yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
1.
Hadits
Mutawatir
Menurut bahasa mutawatir berarti
muttabi’ artinya yang datang kemudian, yang beriringan atau yang berurut-urut, maksudnya beriring-iringan antara yang satu
dengan yang lain.
Sedang menurut istilah ialah :
بِالْكَذِعَلًيْهُمْطُؤتَوَادَةُالْعَاتَحِيْلُمَبْلَغَاةِالْكَثْرَفِيْبَلّغُوْاجَمَاعَةُبِهِاَخْبَرَمَحْسُوْسٍعَنْمَاكَانَ
“ khabar yang didasarkan kepada pancaindera,
yang diberitakan oleh sejum lah orang ,
yang jumlah tersebut menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat
(lebih dahulu) atau dusta (dalam pembicaraannya).
مَا رَوَاهُ
جَمْعٌ تُحِيْلُ الْعَا دَةَ تَوَا طُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِيْبِ عْنْ مِثْلِهِمْ
مِنْ اَوَّلِ السَّنَدِ اِلَى مُنْتَهَاهُ
“Hadits mutawatir ialah hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka
lenih dahulu bersepakat untuk berdusta, mulai awal sampai akhir matarantai
sanad, pada setiap thabaqat atau generasi”.
الَّذِرَوَاهُ جَمْعٌ كَثِيْرٌلاَ
يُمْكِنُ تَوَاطُؤهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ الَى نْتِهَاءِ السَّنَدِ
وَكَانَ مُسْتَنِدُ هُمْ الْحِسُ
Dari
definisi di atas, dapat dipahami bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, yang menurut adat, pada umumnya dapat
memberikan keyakinan yang mantap, terhadap apa yang telah mereka beritakan, dan
mustahil mereka bersepakat untuk bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal
matarantai sanad sampai pada akhir sanad.
Adapun kriteria yang harus ada dalam hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
a. Diriwayatkan
oleh sejumlah besar perawi
Maksudnya secara umum sejumlah besar
periwayat tersebut bisa memberikan suatu keyakinan yang mantap bahwa mereka
tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, tanpa melihat berapa jumlah besar
perawinya.
Dalam
menghadapi nominalisasi jumlah besar perawi dalam hadits mutawatir, para ahli
berbeda-beda pandangan, diantaranya:
1) Al-Qadliy
al-Baqilaniy berpendapat bahwa jumlah nominal perawi hadits mutawatir adalah 5
orang. Hal ini dianalogikan dengan jumlah Nabi yang masuk dalam kelompok ‘Ulil
‘Azmiy.
2) Al-Isthakhariy
berpendapat minimal 10 orang, sebab jumlah ini merupakan awal dari bilangan
banyak.
3) Seagian
‘ulama berpendapat minimal 12orang, dan ada juga yang mengatakan minimal 20
orang.
4) Sebagian
lagi mengatakan minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah dan sabda Rasul-Nya,
bahkan ada yang berpendapat minimal 70 orang.
b. Adanya
kesinambungan antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan generasi
berikutnya.
Maksudnya jumlah perawi generasi pertama
dan berikutnya harus seimbang, artinya jika pada generasi pertama berjumlah 20
orang, maka pada generasi berikutnya harus 20 orang atau lebih.
c. Berdasarkan
tanggapan pancaindra.
Maksudnya hadits yang sudah mereka sampaikan
itu harus benar hasil dari pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.(Nasir, Ridwan.Ulumul hadits dan Musthalahul
hadits.(jombang.darul-hikmah.2007) halaman 171-173
Menurut ulama sebagian Ulama lainnya, hadits mutawatir
dapat dibedakan menjadi 2 macam , namun
sebagian ulama lainnya membaginya menjadi tiga, yakni, hadits mutawatir lafdz ,
maknawi, dan amali.
1. Hadits
mutawatir lafdz
Hadits
yang mutawatir yang periwayatannya dengan suatu redaksi yang sama atau hadits
yang mutawatir lafal dan maknanya.
Contoh
:
أَحْرُفٍسَبْعَةِعَلَياُنْزِلَاَنَالْقرْهَذاَإنَّ
Artinya :
“ sungguh al-Qur’anKu diturunkan
dengan 7 bacaan (Qiraat) “.
2. Hadits
mutawatir maknawi
Hadits yang maknanya mutawatir tetapi
lafalnya tidak.Atau juga hadits yang lafal serta maknanya berlain-lain, tetapi
dapat diambil dari kumpulannya satu makna yang umum. Maksudnya adalah hadits yang para perawinya berbeda-beda
dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi pada prinsipnya sama.
Contoh
:
مَا رَفَعَ
صَلَى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ يْهِ حَتَّى رُؤِيَ بَيَا ضُ اِبْطَيْهِ فِي
شَيْئٍ مِنْ دُ عَا ئِهِ اِلاَّ فِى الاِ
سْتِسْقَا ءِ ( متفق عليه)
“konon
Nabi tidak mengangkat kedua tangan
beliau dalam do’a beliau selain do’a sholat istisqa’.Dan beliau mengangkat
tangannya, sehingga Nampak utih-putih kedua ketiaknya.( H.R Bukhari Muslim)
كَا نَ يَرْ
فَعُ يَدَيْهِ حَذْ وَ مَنْكِبَيْهِ
“ ketika beliau saw mengangkat tangan sejajar dengan kedua
pundak beliau “
3. Hadits
mutawatir amali
Sesuatu
yang dapat diketahui dengan mudah bahwa hal itu adalah dari agama, dan telah
mutawatir diantara umat islam bahwa nabi s.a.w mengerjakannya atau menyuruhnya
atau selain dari hal itu.
Jenis
hadits mutawati amali ini banyak jumlahnya, misalnyahadits yang menerangkan
waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, tata cara shalat, cara
pelaksanaan haji dan lain-lain.
لاَ
صَلاَ ةَ اِلاَّ بِأُ مِّ الْقُرْ أَنِ
“
tidak sah sholat itu dengan tidak membaca fatihah”.
2.
Hadits
ahad
1.
Pengertian hadits Ahad
Kata
Ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka Ahad atau khabar
wahid berarti yang disampaikan oleh satu orang.Khabar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits mutawatir,
baik perowinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya, Yang memberikan
pengertian bahwa jumlah perowi tersebut tidak mencapai jumlah perowi hadits mutawatir.
2.
Pembagian hadits ahad
Para
ulama membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghoiru masyhur,
sedangkan ghoiru masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan gharib.
a. Hadits
masyhur
Masyhur
menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’ ( sesuatu yang sudah tersebar dan
popular).Adapun menurut istilah yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang
lebih, tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran bilangan mutawatir.
Macam-macam
hadits masyhur :
1.
Masyhur dikalangan
para ahli hadits dan lainnya
قَالَ رَسُوْلُ اللّه ص م اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَا نِهِ وَيَدِهِ
“Rasulullah saw
bersabda seorang muslim adalah orang yang mau menyelamatkan sesama muslim
lainnya dari gangguan lidah dan tangannya”.
2.
Masyhur khusus
dikalangan para ilmuan
Maksudnya
hadits ini hanya dikenal oleh orang-orang tertentu dan yang lain tidak
mengenalnya, seperti hadits :
a)
Masyhur dikalangan
ahli hadits :
اَنَّ النَّبِيّ ص م قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّ كُوْ عِ عَلَى
رِعْلٍ وَذَكْوَانَ
“sesunguhnya
nabi saw berqunutsebulan penuh lamanya setelah ruku’ untuk (mendo’akan)
keluarga Ri’lah dan dzakwan.
b)
Masyhur
dikalangan ahli fiqih :
لاَصَلاَةَ لِجَا رِ الْمَسْجِدِ اِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ
“Tidak
sah shalat orang yang rumahnya berdekatan dengan masjid kecuali melakukan
shalat di masjid”
c)
Masyhur dikalangan
ahli ushul, yaitu :
رَفَعَض عَنْ اُمَّتِي الْخَطَ ءُ وَالنّسْيَا نُ وَمَا
اُسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“telah
terangkat (dosa) umatku yakni dosa atas kekeliruan, lupa dan perbuatan yang
mereka kerjakan lantaran terpaksa”
3.
Masyhur dikalangan
orang ‘Awam
Maksudnya
hadits yang masyhur hanya dikalangan orang-orang biasa, seperti hadits :
يَوْمَ نَحْرِ كُمْ يَوْمُ صَوْمِكُمْ
“hari
raya qurban itu adalah puasa kamu sekalian”
Hadits
masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dha’if. Yang dimaksud dengan hadits masyhur yang telah
memenuhi ketentuan hadits sahih, baik pada sanad maupun matannya, seperti
haditsdari Ibnu Umar:
فَلْيُغْسِلْالْجُمْعَةِكُمُجَاءَاذَإِ
“ barang siapa
yang hendak melaksanakan shalat jum’at hemdaklah ia mandi”.
Adapun
yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah hadis masyhur yang telah
memenuhi ketentuan-ketentun hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya,
seperti sabda Rasulullah s.a.w:
مُسْلِمَةِوَمُسْلِمِكُلِّعَلَيفَرِيْضَةالْعِلْمِطَلَبُمص:النّبِيّلَقَا:قَالَعَنْهُاللّٰهُرَضِيَاَنَسِعَنْ
( جَهمَاابْنُرَوَاه )
“ Menuntut ilmu
itu wajib bagi setia muslim baik laki-laki maupun peremuan“.
Adapun yang dimaksud dengan hadits masyhur dha’if
adalah hadits masyhur yang telah memenuhi syarat-syarat hadis sahih dan hasan,
baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits:
بّهُرَفَعَرَنَفْسَهُفَعَرَمَنْ
“ barang siapa
yang mengenal dirinya, maka sungguh dia telah mengenal tuhannya “
b. Hadits
ghairu Masyhur
Para
ulama ahli hadis menggolongkan hadis ghairu masyhur menjadi ‘aziz dan Gharib.
1)
Hadits ‘Aziz
Ialah hadits
yang diriwayatkan oleh dua orang perawi, sekalipun hanya dalam
satu generasi.
Contoh yang ditakhrijkan oleh Bukhari dan Anas katanya
Rasulullah saw bersabda :
ص
م لاَ يُؤْ مِنُ اَحَدُ كُمْ حَتَّى اَكُوْنَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ
وَوَا لِدِ هِ وَوَلِدِهِ وَ النَّا سِ
قَا لَ رَسُوْلُ اللّهَ
اَجْمَعِيْنَ
“ tidaklah
beriman seseorang diantara kamu, hingga aku lebih dicintai dari ada dirinya,
orang tuanya, anaknya, dan semua manusia.
2) Hadits
Gharib
Gharib
secara lughawi (bahasa) berarti almunfarid (menyendiri) atau al-ba’id’an
aqarabihi ( jauh dari kerabatnya).Jadi, hadits gharib adalah hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perowi yang menyendiri dalam periwayatannya, tanpa ada orang lain yang
meriwayatkannya.
Hadits
Gharib terbagi menjadi dua, yaitu : gharib muthlaq dan gharib nisbi.
a. Gharib
Muthlaq
Ialah
hadits yang menyendiri seorang perawi
dalam periwayatannya pada asal sanad.
Contoh hadits
gharib muthlaq antara lain :
قَا لَ النّبِيّ ص م اَلاِ يْمَا نُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْ نَ
شُعْبَةٌ وَالْحَيَا ءُ شُعْبَةٌ مِنَ الاِ يْمَا نِ
b. Gharib
Nisbi
Ialah
hadits yang terjadi gharib dipertengahan sanadnya.hadits nisbi ini adalah hadis
yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad ( perawi pada
tingkat sahabat), tetai dipertengahan sanadnya terdaat tingakatan yang
perawinya hanya sendiri ( satu orang).
Contoh
hadits gharib nisbi yang berkenaan dengan membaca al-qur’an untuk shalat,
antara lain:
(داودابورَواَه) مِنْهُتَيَسَّرَمَاوَبِالْكِتَابِفَاتِحَةِتَقْرَأَاَنْ :مصاللّٰهرَسُوْلُنَااَمَرَ
“ Rasulullah
s.a.w memerintahkan kepada kami agar kita membaca Al-fatihah dan surat yang
mudah dari alqur’an.( H.R Abu Dawud).
( sohari
sahrani.ulumul hadits hal:101)
B.
PEMBAGIAN
HADITS DARI SEGI KUALITASNYA
Ditinjau dari
segi nilainya ( kualitasnya), hadits itu dapat dibagi menjadi tiga macam yakni
:
1.
Hadits
shahih
Sahih secara etimologi adalah lawan dari
saqim (sakit), sedangkan dalam istilah ilmu hadits berarti hadits yang
berhubungan (bersambung) sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil ,
dhabith, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai
kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula berillat.
Yang dimaksud dengan hadits shahih
menurut Muhadditsin ialah hadits yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh rawy yang
adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillatdan tidak
janggal.
Syarat-syarat
hadits shahih :
1. Rawinya
bersifat adil
2. Sempurna
ingatannya
3. Sanadnya
tidak putus
4. Hadits
itu tidak berillat
5.
Tidak syadz atau
janggal.
Para ulama membagi Hadits shahih menjadi
dua bagian, yaitu shahih li-dzatih dan shahih li ghoirih.Perbedaan antara kedua
bagian ini terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya kurang sempurna.
a.
Hadits sahih
li-dzatih
Yang dimaksud dengan sahih
li-dzatih ialah hadits yang tidak memenuhi secara sempurna persyaratan
sahih, khususnya yang berkaitan dengan kurang sempurna pada hadits sahih li
ghairih. Sehingga dengan demikian bisa dikatakan
bahwa, sebenarnya hadits shahih bagian ini asalnya bukan hadits shahih
melainkan hadits li dzatih.
Contoh :
كُلِّ
صَلاَةٍ ( رواه البخا ري )عِنْدَبِاالسِّوَاكِتَهُمْلَامَرْاُمَّتِيعَلَيأَشُقَّأَنْلَالَوْ
“ Seandainya
tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan ber-siwak setiap kali
hendak melaksanakan salat “.( H.R Bukhari)
b. Hadits
Shahih li-ghairih
“
Hadits yang keadaan rawy-rawynya kurang Hafidh dan dlabith tetapi mereka masih
terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat hasan, lalu di dapati
padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat
menutupi kekurangan yang menimpanya itu “.
2.
Hadits
Hasan
Hadits
Hasan menurut bahasa berarti Sesuatu yang disenangi dan di oleh nafsu. Sedangkan hadits Hasan menurut
istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya..
Menurut At-Turmudzy Hadits Hasan
ialah Hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada
terdapat kejanggalan pada matannya dan Hadits itu di riwayatkan tidak dari satu
jurusan ( mempunyai banyak jalan) yang sepadan ma’nanya.
Sedangkan menurut
Jumhuru’l-Muhaddutsin Hadits Hasan
ialah Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, ( tapi ) tak begitu kokoh
ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta
kejanggalan pada matannya”
Sebenarnya perbedaan
antara Hadits Shahih dan Hasan itu, terletak pada syarat kedlabithan rawy.
Yakni pada Hadits Hasan, kedlabithannya lebih rendah ( tidak begitu baik
ingatannya ), jika di bandingkan dengan Hadit Shahih. Sedang syarat-syarat
Hadits Shahih yang lain masih diperlukan untuk Hadits Hasan. 14 Drs. fatchur Rahman. Mushthalahul Hadits (
Yogyakarta, PT Al-Ma’arif, 1995 )
Halaman 111.
Dengan kata
lain, syarat hadits hasan dapat di rinci sebagai berikut :
·
Sanadnya bersambung..
·
Perawinya adil.
·
Perawinya harus dhabit,
tetapi kualitas ke dhabitannya dibawah ke dhabitan perawi hadits shahih.
·
Tidak terdapat
kejanggalan ( syadz )
·
Tidak ada illat ( cacat
)
Hadits
hasan itu dapat di bagi menjadi dua yaitu :
a) Hadits
hasan lidzatihi
Hadits Hasan Lidzatihi ialah Hadits
yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan amanahnya tetapi hafalan dan
keteguhan hafalannya tidak mencapai derajat para perawi hadits shahih.
b).
Hadits hasan lighairihi
hadits hasan lighairihi ialah
:
الْحَسَنُ لِغَيْرِهِ هُوَ الَّضّعِيْفُ اِذَا تَعَدَّدَتْ
طُرُقُهُ وَلَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضُعْفِهِ فِسْقُ الرَّاوِى اَوْكَذْبِهِ
“hadits hasan lighairihi ialah hadits
dha’if dimana jumlah perawi yang meriwayatkannya banyak sekali dan sebab
kedha’ifannya tidak disebabkan kefasikan perawi atau orang yang tertuduh kuat
senang berlaku bohong”.
Maksudnya
adalah hadits dha’if dimana sistem periwayatannya sebagai syarat keshahihan,
banyak yang tidak terpenuhi, tetapi mereka dikenal sebagai orang yang tidak
banyak berbuat kesalahan atau berlaku dosa dan para perawi banyak meriwayatkannya, baik menggunakan
redaksi yang sama maupun yang ada kemiripan.
3.
Hadits
Dla’if
Menurut
bahasa Dlaif berarti ‘Ajiz = yang lemah
sebagai lawan qawiyyu = kuat. Sedangkan
hadits dha’if menurut istilah
, para ulama’berbeda-beda dalam susunsn redaksiny, tetapi substansi dari
definisi tersebut adalah sama, diantaranya:
a). al-Nawawiy
الْحَدِيْث
الضَّعِيْفُ هُوَ مَالَمْ يُوْجَدْ فِيْهِ شُرُوْطٌ مِنْ شُرُوْ طِ الْحَسَنِ
“Hadits yang didalamnya tidak ditemukan
syarat-syarat yang wajib ada dalam
hadits shahih dan hasan”
b)
Thahhan
هُوَ
مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
“Hadits
yang didalamnya tidak terkumpul syarat-syarat yang wajib ada dalam hadits hasan
disebabkan tidak adanya satu syarat yang menjadi syarat-syarat hadits hasan”
c). Nur Din ‘Itr
الْحَدِيْثُ
الضَّعِيْفُ هُوَ مَا فَقُدَ شَرْطَا ِنْ شُرُوْطِ الْحَدِ يْثِ الْمَقْبُوْلِ
hadits yang didalamnya tidak ditemukan
satu syarat dari syarat-syarat hadits
yang diterima (maqbul).
d). Ajjaj al-khathibi
الْحَدِيْثُ
الضَّعِيْفُ هُوَ كُلُّ حَدِ يْثٍ لاَ تَجْتَمِعُ فِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْلِ
hadits dha’if adalah hadits yang
didalamnya tidak terkumpul sifat maqbul.
Dari beberapa definisi id atas, dapat
diambil kefahaman jika dalam satu hadits telah hilang satu syarat dari sekian
syarat-syarat yang harus ada di dalam hadits hasan, maka status hadits tersebut
dinyatakan sebagai hadits dha’if, apalagi jika jika syarat yang hilang sampai
dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak ada, tidak memiliki daya ingatan
kuat dan ada kejanggalan atau cacat.
Contoh hadits dho’ig yang diriwayatkan oleh imam Turmudziy,
dari jalur Syu’bah, dari ‘Asyim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin ‘Amr bin
Rabi’ah, dari ayahnya, tentang maskawin seorang wanita yang berupa sepasang
sandal, lalu Rasulullah saw bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللّه ص م
: " اَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكَ وَمَا لِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟.قَا
لَتْ"نَعَمْ" فَأَ جَا زَهُ
“berkata Rasulullah SAW : apakah kamu ridha (senang)
menerima maskawin berupa sandal ?. lalu wanita itu menjawab, iya, kemudia
beliau meloloskan ( menikahkan ) nya.
KESIMPULAN
A. Pembagian
hadits dari segi kuantitas
Ditinjau dari segi jumlah perowi yang
meriwayatkan, maka hadits itu dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits
Mutawatir
Menurut bahasa mutawatir berarti
muttabi’ artinya yang datang kemudian, yang beriringan atau yang berurut-urut.
Menurut istilah ialah : “ khabar yang didasarkan kepada pancaindera, yang diberitakan oleh sejum lah orang , yang
jumlah tersebut menurut adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat (lebih
dahulu) atau dusta (dalam pemberitaannya itu).
Jadi
untuk dapat dikatakan berita itu mutawatir, harus memenuhi tiga syarat yakni:
a. Diriwayatkan
oleh sejumlah besar perawi
b. Adanya
kesinambungan antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan generasi
berikutnya.
c. Berdasarkan
tanggapan pancaindra
Menurut ulama
sebagian Ulama lainnya, hadits mutawatir dapat dibedakan menjadi 2 macam , namun sebagian ulama
lainnya membaginya menjadi tiga, yakni, hadits mutawatir lafdz, maknawi, dan
amali.
2. Hadits
Ahad
Kata Ahad atau wahid berdasarkan segi
bahasa berarti satu, maka Ahad atau khabar wahid berarti yang disampaikan oleh
satu orang.Khabar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits
mutawatir, baik perowinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya, Yang
memberikan pengertian bahwa jumlah perowi tersebut tidak mencapai jumlah perowi
hadits mutawatir.
3. Pembagian
hadits ahad
1) Hadits
masyhur
2) Hadits
ghoiru masyhur
Para ulama ahli
hadis menggolongkan hadis ghairu masyhur menjadi ‘aziz dan Gharib.
3) Hadits
‘Aziz
4) Hadits
gharib
Hadits Gharib
terbagi menjadi dua, yaitu : gharib muthlaq dan gharib nisbi.
B. Pembagian
hadits dari segi kualitasnya
1.
Hadits Sahihhadits yang
berhubungan (bersambung) sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil ,
dhabith, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) dengannya sampai
kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula berillat.
Para
ulama membagi Hadits shahih menjadi dua bagian, yaitu shahih li-dzatih dan
shahih li ghoirih.
Syarat-syarat
hadits shahih :
1.
Rawinya bersifat adil
2. Sempurna
ingatannya
3. Sanadnya
tidak putus
4. Hadits
itu tidak berillat
5. Tidak
syadz atau janggal
2. Hadits
hasan
Menurut
Jumhuru’l-Muhaddutsin Hadits Hasan ialah Hadits yang dinukilkan oleh seorang
adil, ( tapi ) tak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan
tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya”
syarat hadits
hasan dapat di rinci sebagai berikut :
·
Sanadnya bersambung..
·
Perawinya adil.
·
Perawinya dhabit, tetapi ke dhabi-annya
ke bawah ke dhabitan perawi hadits hasan.
·
Tidak terdapat kejanggalan ( syadz )
·
Tidak ada illat ( cacat )
·
Hadits hasan itu dapat di bagi menjadi dua
yaitu :
·
Hadits hasan lidzatihi dan
·
Hadits hasan lighairihi
3. Hadits
Dha’if
Menurut
bahasa Dlaif berarti ‘Ajiz = yang lemah
sebagai lawan qawiyyu = kuat. Sedangkan
menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi “ yang tidak terkumpul
sifat-sifat Shahih dan sifat-sifat hasan
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moh.1998. Ilmu
Mushthalahul hadits. Surabaya: al-ikhlas
Fatchurrohman.1970. Iktisar
Musthalahul Hadits.Bandung:PT.Ma’arif
Nasir, Ridwan.2007.Ulumul Hadits dan Musthalahul
Hadits. Jombang:
Darul- Hikmah
Sohari,
Sahrani.2010. Ulumul Hadits.Bogor: Ghalia Indonesia
setelah dipelajari secara seksama,,, ternyata masih banyak nama-nama hadits yang belum dicantumkan di atas. Untuk lebih jelasnya,,, baca di artikel tanjakan.com
BalasHapusThanks gan atas masukannya, namanya juga keterbatasan sumber pas zamannya kuliah meped banget buat ke perpus mengingat jurusan biologi seminggu praktikum dan garap laporan. Monggo ditambahkan.
BalasHapus