Minggu, 23 November 2014

MAKALAH MUNAKAHAT



MAKALAH
MUNAKAHAT
Mata kuliah          : Fiqih/Ushul Fiqih
Dosen pengampu  : DR. H. Wawan Ahmad Ridwan, M.Ag
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur

 





Disusun oleh:
1.      Reiza Fitri Yulia
2.      Siti Humaeroh
3.      Vina Yulia


TADRIS IPA BIOLOGI-B/ SEMESTER 3
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SYEKH NURJATI CIREBON 2013/2014
Jl.Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon Telp. 0231489926. 45132
PENDAHULUAN
Nikah adalah
salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu umum dengan yang lain. Serta perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan kepada bertolong-tolong antara satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan turunan bahkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari sebab baik pergaulan antara si istri dengan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan. Selain dari pada itu, dengan perkawinan seseorang akan terpelihara daripada kebinasaan hawa nafsunya.
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fikih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam). Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Kami akan mencoba menjelaskan permasalahan dalam suatu pernikahan di dalam suatu masyarakat, dengan berdasarkan Al-quran dan sunah Rasul.
A.    PENGERTIAN NIKAH
Kata nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari “nakaha”, yang artinya menggabungkan, mengumpulkan, atau menjodohkan. Selain itu, nikah juga berarti bersetubuh. Menurut syara’ adalah suatu aqad yang menghalalkan pergaulan antar aseorang laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanYa.
Nikah atau perkawinan adalah sunatullah pada hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan. Sunatullah yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan manusia saja, tapi juga di dunia binatang.
Dalam suatu pengertian yang lebih luas lagi, pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dan suatu rumah tangga dan keturunan yang dilaksanakan menerut ketentuan syariat islam.
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara’, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT dalam Q.S Adz-Dzariyaat ayat 49:

`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs?
Artinya:
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”. (Q.S Adz-Dzariyaat ayat:49)
Namun demikian, Allah SWT tidak menghendaki perkembangan dunia berjalan sekehendaknya. Oleh sebab itu diatur-Nya lah naluri apa pun yang ada pada manusiadan dibuatkan untuknya prinsip-prinsip dan undang-undang, sehingga kemanusiaan manusia tetap utuh, bahkan semakin baik, suci dan bersih. Demikianlah, bahwa segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia tidak pernah lepas dari didikan Allah.
Allah SWT berfirman:
ª!$#ur Ÿ@yèy_ Nä3s9 ô`ÏiB ö/ä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& Ÿ@yèy_ur Nä3s9 ô`ÏiB Nà6Å_ºurør& tûüÏZt/ Zoyxÿymur Nä3s%yuur z`ÏiB ÏM»t6Íh©Ü9$# 4 È@ÏÜ»t6ø9$$Î6sùr& tbqãZÏB÷sムÏMyJ÷èÏZÎ/ur «!$# öNèd tbrãàÿõ3tƒ 
Artinya:
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah". (Q.S Surat An-Nahl ayat:72).
Firman Allah pula:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ
Artinya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian  diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S An-Nuur ayat:32)
Rosulullah bersabda:
Ibnu Mas’ud r.a berkata: “Rosulullah saw bersabda kepada kami: “ hai para pemuda, apabila diantara kamu mampu untuk kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjada mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak mampu hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu penjaga baginya.” (H.R. Bukhari-Muslim).
Dalam hadits lain dinyatakan:
“Anas bin Malik r.a berkata: “sesungguhnya Nabi SAW memuji Allah dan menyanjungnya, beliau lalu bersabda: “akan tetapi kau shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku berpuasa, aku berduka dan aku mengawnini perempuan, barang isapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku  (H.R. Bukhari-Muslim).
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
v  Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
v  Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
v  Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
v  Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
v  Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.

B.     RUKUN DAN SYARAT NIKAH
a.       Rukun Nikah:
1.      Pengantin laki-laki
2.      Pengantin perempuan
3.      Wali
4.      Dua orang saksi
5.      Ijab dan qabul

b.      Syarat-syarat nikah
1.      Syarat-syarat pengantin laki-laki
a)      Tidak dipaksa / terpaksa
b)      Tidak dalam ikhram haji atau umrah
c)      Islam (apabila kawin dengan perempuan islam)

2.      Syarat-syarat pengantin perempuan
a)      Tidak perempuan yang dalam masa ‘iddah
b)      Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain
c)      Antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan mukhrim
d)     Tidak dalam keadaan ikhram atau haji
e)      Bukan perempuan musyrik

C.    WALI DAN SAKSI
1.      Kedudukan Wali
Kedudukan wali dalam pernikahan sangat penting. Aqad nikah tidak sah kecuali dengan seorang walib (dari pihak perempuan) dan dua orang saksi yang adil.
Sabda Rosulullah SAW:
“Aisyah r.a berkata: “Nabi SAW bersabda: “tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yan adil” (H.R Ahmad dan Baihaqi).
Sabda Rosulullah pula:
“Aisyah r.a berkata: “Rosulullah SAW telah bersabda: “ siapapun perempuan yang menikah dengan tidak izin walinya, maka batal lah pernikahannya: dan jika ia telah disetubuhi, maka bagi perempuan itu berhak menerima maskawin lantaran ia telah menghalalkan kemaluannya, dan jika terdapat pertengkaran antara wali-wali, maka Sultan-lah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali” (H.R imam empat kecuali Nasaa’I dan disahkan oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan Hakim).
2.      Tingkat Wali
Wali yang mengaqadkan nikah ada 2 macam:
a)      Wali Nasab
b)      Wali Hakim

   Wali Nasab yaitu wali yang ada hubungan darah dengan perempuan yang akan dinikahkan. Dan wali yang lebih dekat dengan perempuan disebut “wali aqrab”. Wali yang dibelakangnya dinamakan “wali yang lebih jauh” disebut wali ab’ad. Urutan wali tersebut adalah:
a)      Ayah kandung
b)      Kakek dari ayah
c)      Saudara laki-laki seayah seibu (sekandung)
d)     Saudara laki-laki seayah
e)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah seibu
f)       Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g)      Paman (saudara laki-laki Bapak) sekandung
h)      Paman (saudara laki-laki Bapak) sebapak
i)        Anak laki-laki dari paman (dari bapak) sekandung
j)        Anak laki-laki dari paman (dari bapak) sebapak.
k)      Hakim
Menurut imam Syafi’I, urutan tersebut adalah harus. Artinya jika wali nomor 1 tidak ada, wali nomor dua mejadi wali ysng lebih dekat dan  jika nomor dua tidak ada, wali nomor tiga menjadi wali yang lebih dekat. Demikian seterusnya kebawah.
Kepindahan dari aqrab kepada wali ab’ad itu bias disebabkan wali aqrab telah meninggal dunia, atau asih hidup, tetapi dia sebagai hamba sahaya, bodoh (kurang akalnya), kafir, sedang ikhram dan ghaib.
Kalau hanya sekedar berjauhan tempat (ghaib) sejauh dua marhalah, menurut madzab Syafi’I, tidaklah dapat diambil alsan untuk menyatakan tidak ada wali. Sekalipun jauh namun hal waliyat (kewalian ) masih tetap ada padanya.
3.      Wali Mujbir
Wali mujbir yaitu wali yang berhak mengawinkan anak perempuan yang sudah baligh, berakal dan gadis untuk dinikahkan dengan tiada meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuan tersebut. Menurut imam Syafi’i orang yang berhak menjadi wali mujbir adalah Bapak, kakak terus keatas. Sedangkan perempuan yang boleh dinikahkan dengan cara wali mujbir adalah perempuan yang belum sampai umur tamyiz dan orang yang kurang akalnya. Dan kebolehan itupun harus dengan syarat-syarat:
    Tidak boleh ada permusuhan antara wali mijbir atau laki-laki yang akan dinikahi itu dengan anak gadis tersebut.
    Sekufu’ (seimbang) antara perempuan dengan calon suaminya.
    Calon suami itu mampu membayar maskawin
    Calon suami tidak mempunyai cacat yang membahayakan pergaulan dengan dia, seperti dua buta.
    Wali hakim

4.      Wali Hakim
Wali hakim ialah kepala Negara yang beragama Islam. Dan di Indonesia dalam hal ini biasanya kekuasaannya dilimpahkan kepada Kepala Pengadilan Agama lalu ia dapat mengangkat orang lain menjadi hakim (biasanya yng diangkat Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan) untuk mengaqadkan nikah perempuan yang berwalian hakim.
Sabda Rosulullah SAW:
“Dan jika terdapat pertengkaran antara wali-wali, maka Sultan-lah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali” (H.R imam empat kecuali Nasaa’I dan disahkan oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan Hakim).
·         Perempuan berwali hakim
Perempuan yang menggunakan wali hakim adalah orang-orang perempuan yang dalam keadaan:
1)      Tidak ada nasab
2)      Tidak cukup syarat bagi wali dekat dan wali yang lebih jauh tidak ada.
3)      Wali yang lebih dekat ghoib sejauh perjalanan safar yang memperbolehkan mengqashar shalat.
4)      Wali yang lebih dekat sedang melakukan ikhram/ mengerjakan haji atau umrah
5)      Wali yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai.
6)      Wali yang lebih dekat ‘aqad menikah, yaitu tidak mau menikahkan.
7)      Wali yang lebih dekat tawari, yaitu bersembunyi-sembunyi karena tidak mau menikahkan.
8)      Wali yang lebih dekat ta’azzuz, yaitu bertahan, tidak mau menikahkan.
9)      Wali yang lebih dekat mafqud, yaitu hilang tiak diketahui tempatnya dan tidak pula diketahui hidup dan matinya
·         Perwalian dalam aqad nikah
Wali boleh mengaqadkan nikah (mengibahkan) dengan sendirinya dan boleh pula mewakilkan pada orang lain. Calon suami juga boleh mengabulkan (menerima) nikah dengan sendirinya dan boleh pula mewakilkan kepada orang lain. Setiap orang yang berhak melakukan sesuatu urusan, ia boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melaksanakan urusan itu, kecuali urusan itu tidak boleh digantikan oleh orang lain.
Perwakilan itu cukup dengan tulisan atau lisan dan tidak wajib dipersaksikan dengan dua orang saksi, kecuali kalau khawatir akan terjadi perselisihan.
5.      Wali adal
Wali adal ialah wali yang tidak mau menikahkan anaknya, karena alasan-alasan terrentu yang menurut walinya itu tidak setuju dengan adanya pernikahan anaknya atau cucunya dengan bekal yang hendak menikah itu berakal sehat dan akal suami juga dalam keadaan kufu.
Apabila terjadi seperti itu, maka perwalian itu pindah langsung pada wali hakim, bikan pada wali ab’ad, sebab adal itu dhalim sedang yang menghilangkan kedhaliman adalah Hakim.
Adapun bila tidak mau menikahkannya itu karena sebab wajar (benar secara syar’i), maka tidak disebut adal seperti:
Ø  Wanita itu menikah dengan pria yang tak sekufu’
Ø  Maharnya dibawah misil
Ø  Atau wanita itu dipinang oleh wanita lain yang lebih pantas (kufu’) dari pada pinangan pertama itu.
6.      Kedudukan saksi dalam pernikahan
Saksi dalam prnikahan mempunayai kedudukan yang sangat penting karena ia menjadi rukun dari nikah sehingga nikah itu menjadi tidak sah tanpa ada saksi. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah diatas pada bahasa wali dan saksi inti.
Menurut hadits tersebut jelas bahwa saksi itu harus dua orang. Dan menurut imam syafi’I dan hambali dua orang itu harus keduanya laki-laki.
Dalam hadits nabi ditegaskan:
“Telah berlaku sunnah dari Rosulullah bahwasannya tidak boleh kesaksian wanita dalam (masalah hudud), pernikahan dan thalaq.
Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan sah suatu pernikahan yang disaksikan oelh seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Berdasarkan firman Allah SAW:

“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari dua orang laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuanyang kamu ridhoi” (Q.S Al-Baqarah : 282)
Kesaksian ini sngat penting pula dalam kaitannya hidup berumah tangga dan bermasyarakat, paling tidak berguna:
-     Untuk menjaga apabila ada tuduhan atau kecurigaan polisi atau orang lain terhadap pergaulan mereka.
-     Untuk menguatkan janji mereka berdua, begitu pula terhadap keturunannya.
Pada saat sekarang malah tidak cukup hanya saksi, namun harus disertai dengan surat nikah (kawin). Ini bukan merupakan syarat nikah, tetapi untuk menjaga kalau ada kesuliatan, misalnya kalau ada kedua saksi tersebut jauh tempatnya atau sukar dicari atau sudah meninggal dunia.

KESIMPULAN





























DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin. 2007.  Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Rasjid, Sulaiman, H. 1976. Fiqih Islam, Jakarta: Attahiriyah jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar