MAKALAH
MUNAKAHAT
Mata kuliah :
Fiqih/Ushul Fiqih
Dosen pengampu : DR. H. Wawan
Ahmad Ridwan, M.Ag
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Disusun oleh:
1.
Reiza
Fitri Yulia
2.
Siti
Humaeroh
3.
Vina
Yulia
TADRIS IPA BIOLOGI-B/ SEMESTER 3
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SYEKH NURJATI CIREBON 2013/2014
Jl.Perjuangan By Pass Sunyaragi
Cirebon Telp. 0231489926. 45132
PENDAHULUAN
Nikah adalah
salah satu asas pokok
hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, bukan saja
perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga
dan turunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju
pintu perkenalan antara satu umum dengan yang lain. Serta perkenalan itu akan
menjadi jalan untuk menyampaikan kepada bertolong-tolong antara satu dengan
yang lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah
pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja
antara suami istri dan turunan bahkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari
sebab baik pergaulan antara si istri dengan suaminya, kasih mengasihi, akan
berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari belah pihaknya, sehingga
mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam
menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan. Selain dari pada itu, dengan
perkawinan seseorang akan terpelihara daripada kebinasaan hawa nafsunya.
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk
hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih
dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI
tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat
perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu
perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut
hukum agama/fikih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam). Bila salah
satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya
perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat
dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Kami akan mencoba menjelaskan
permasalahan dalam suatu pernikahan di dalam suatu masyarakat, dengan
berdasarkan Al-quran dan sunah Rasul.
A.
PENGERTIAN NIKAH
Kata
nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari “nakaha”, yang artinya
menggabungkan, mengumpulkan, atau menjodohkan. Selain itu, nikah juga berarti
bersetubuh. Menurut syara’ adalah suatu aqad yang menghalalkan pergaulan antar
aseorang laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrim dan menimbulkan hak dan
kewajiban antara keduanYa.
Nikah
atau perkawinan adalah sunatullah pada hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan Allah
menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan. Sunatullah yang berupa
perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan manusia saja, tapi juga di dunia
binatang.
Dalam
suatu pengertian yang lebih luas lagi, pernikahan merupakan suatu ikatan lahir
batin antara laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dan suatu rumah
tangga dan keturunan yang dilaksanakan menerut ketentuan syariat islam.
Pada
dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara’, sebagaimana ditegaskan dalam
firman Allah SWT dalam Q.S Adz-Dzariyaat ayat 49:
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry
÷/ä3ª=yès9
tbrã©.xs?
Artinya:
“Dan segala sesuatu
kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.
(Q.S Adz-Dzariyaat
ayat:49)
Namun demikian, Allah SWT tidak
menghendaki perkembangan dunia berjalan sekehendaknya. Oleh sebab itu
diatur-Nya lah naluri apa pun yang ada pada manusiadan dibuatkan untuknya
prinsip-prinsip dan undang-undang, sehingga kemanusiaan manusia tetap utuh,
bahkan semakin baik, suci dan bersih. Demikianlah, bahwa segala sesuatu yang
ada pada jiwa manusia tidak pernah lepas dari didikan Allah.
Allah
SWT berfirman:
ª!$#ur @yèy_
Nä3s9
ô`ÏiB
ö/ä3Å¡àÿRr&
%[`ºurør& @yèy_ur
Nä3s9
ô`ÏiB
Nà6Å_ºurør& tûüÏZt/ Zoyxÿymur
Nä3s%yuur
z`ÏiB
ÏM»t6Íh©Ü9$#
4
È@ÏÜ»t6ø9$$Î6sùr&
tbqãZÏB÷sã
ÏMyJ÷èÏZÎ/ur «!$#
öNèd tbrãàÿõ3t
Artinya:
“Allah menjadikan bagi
kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari
isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang
baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
nikmat Allah". (Q.S Surat An-Nahl
ayat:72).
Firman Allah pula:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB
ö/ä.Ï$t6Ïã
öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t
uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã
ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur
ììźur
ÒOÎ=tæ
Artinya:
“Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”. (Q.S An-Nuur ayat:32)
Rosulullah bersabda:
“Ibnu Mas’ud r.a berkata: “Rosulullah saw bersabda kepada kami:
“ hai para pemuda, apabila diantara kamu mampu untuk kawin, sebab kawin itu
lebih kuasa untuk menjada mata dan kemaluan, dan barang siapa tidak mampu
hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu penjaga baginya.” (H.R.
Bukhari-Muslim).
Dalam hadits lain dinyatakan:
“Anas bin Malik r.a berkata: “sesungguhnya Nabi SAW memuji Allah
dan menyanjungnya, beliau lalu bersabda: “akan tetapi kau shalat, aku tidur,
aku berpuasa, aku berpuasa, aku berduka dan aku mengawnini perempuan, barang
isapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku” (H.R. Bukhari-Muslim).
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum
nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
v Wajib, bila
nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
v Sunnah, bila
nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
v Mubah, bila
tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang
mengharamkan menikah.
v Makruh, bila
nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
v Haram, bila
nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
B.
RUKUN DAN SYARAT NIKAH
a.
Rukun
Nikah:
1.
Pengantin
laki-laki
2.
Pengantin
perempuan
3.
Wali
4.
Dua
orang saksi
5.
Ijab
dan qabul
b.
Syarat-syarat
nikah
1.
Syarat-syarat
pengantin laki-laki
a)
Tidak
dipaksa / terpaksa
b)
Tidak
dalam ikhram haji atau umrah
c)
Islam
(apabila kawin dengan perempuan islam)
2.
Syarat-syarat
pengantin perempuan
a)
Tidak
perempuan yang dalam masa ‘iddah
b)
Tidak
dalam ikatan perkawinan dengan orang lain
c)
Antara
laki-laki dan perempuan tersebut bukan mukhrim
d)
Tidak
dalam keadaan ikhram atau haji
e)
Bukan
perempuan musyrik
C.
WALI DAN SAKSI
1.
Kedudukan
Wali
Kedudukan wali dalam pernikahan sangat penting. Aqad nikah tidak
sah kecuali dengan seorang walib (dari pihak perempuan) dan dua orang saksi
yang adil.
Sabda Rosulullah SAW:
“Aisyah
r.a berkata: “Nabi SAW bersabda: “tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya
wali dan dua saksi yan adil”
(H.R Ahmad dan Baihaqi).
Sabda Rosulullah pula:
“Aisyah r.a berkata: “Rosulullah SAW telah bersabda: “ siapapun
perempuan yang menikah dengan tidak izin walinya, maka batal lah pernikahannya:
dan jika ia telah disetubuhi, maka bagi perempuan itu berhak menerima maskawin
lantaran ia telah menghalalkan kemaluannya, dan jika terdapat pertengkaran
antara wali-wali, maka Sultan-lah yang menjadi wali bagi orang yang tidak
mempunyai wali” (H.R imam
empat kecuali Nasaa’I dan disahkan oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan Hakim).
2.
Tingkat
Wali
Wali yang
mengaqadkan nikah ada 2 macam:
a)
Wali
Nasab
b)
Wali
Hakim
Wali Nasab yaitu wali yang
ada hubungan darah dengan perempuan yang akan dinikahkan. Dan wali yang lebih
dekat dengan perempuan disebut “wali aqrab”. Wali yang dibelakangnya dinamakan
“wali yang lebih jauh” disebut wali ab’ad. Urutan wali tersebut adalah:
a)
Ayah
kandung
b)
Kakek
dari ayah
c)
Saudara
laki-laki seayah seibu (sekandung)
d)
Saudara
laki-laki seayah
e)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki seayah seibu
f)
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki seayah
g)
Paman
(saudara laki-laki Bapak) sekandung
h)
Paman
(saudara laki-laki Bapak) sebapak
i)
Anak
laki-laki dari paman (dari bapak) sekandung
j)
Anak
laki-laki dari paman (dari bapak) sebapak.
k)
Hakim
Menurut imam Syafi’I, urutan tersebut adalah harus. Artinya jika
wali nomor 1 tidak ada, wali nomor dua mejadi wali ysng lebih dekat dan jika nomor dua tidak ada, wali nomor tiga
menjadi wali yang lebih dekat. Demikian seterusnya kebawah.
Kepindahan dari aqrab kepada wali ab’ad itu bias disebabkan wali
aqrab telah meninggal dunia, atau asih hidup, tetapi dia sebagai hamba sahaya,
bodoh (kurang akalnya), kafir, sedang ikhram dan ghaib.
Kalau hanya sekedar berjauhan tempat (ghaib) sejauh dua marhalah,
menurut madzab Syafi’I, tidaklah dapat diambil alsan untuk menyatakan tidak ada
wali. Sekalipun jauh namun hal waliyat (kewalian ) masih tetap ada padanya.
3.
Wali
Mujbir
Wali mujbir yaitu wali yang berhak mengawinkan anak perempuan yang
sudah baligh, berakal dan gadis untuk dinikahkan dengan tiada meminta izin
terlebih dahulu kepada anak perempuan tersebut. Menurut imam Syafi’i orang yang
berhak menjadi wali mujbir adalah Bapak, kakak terus keatas. Sedangkan
perempuan yang boleh dinikahkan dengan cara wali mujbir adalah perempuan yang
belum sampai umur tamyiz dan orang yang kurang akalnya. Dan kebolehan itupun
harus dengan syarat-syarat:
☺
Tidak
boleh ada permusuhan antara wali mijbir atau laki-laki yang akan dinikahi itu
dengan anak gadis tersebut.
☺
Sekufu’
(seimbang) antara perempuan dengan calon suaminya.
☺
Calon
suami itu mampu membayar maskawin
☺
Calon
suami tidak mempunyai cacat yang membahayakan pergaulan dengan dia, seperti dua
buta.
☺
Wali
hakim
4.
Wali
Hakim
Wali hakim ialah kepala Negara yang beragama Islam. Dan di
Indonesia dalam hal ini biasanya kekuasaannya dilimpahkan kepada Kepala
Pengadilan Agama lalu ia dapat mengangkat orang lain menjadi hakim (biasanya
yng diangkat Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan) untuk mengaqadkan nikah
perempuan yang berwalian hakim.
Sabda Rosulullah SAW:
“Dan jika terdapat pertengkaran antara wali-wali, maka Sultan-lah
yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali” (H.R imam empat kecuali Nasaa’I dan disahkan oleh Abu Awanah,
Ibnu Hibban dan Hakim).
·
Perempuan
berwali hakim
Perempuan yang menggunakan wali hakim adalah orang-orang perempuan
yang dalam keadaan:
1)
Tidak
ada nasab
2)
Tidak
cukup syarat bagi wali dekat dan wali yang lebih jauh tidak ada.
3)
Wali
yang lebih dekat ghoib sejauh perjalanan safar yang memperbolehkan mengqashar
shalat.
4)
Wali
yang lebih dekat sedang melakukan ikhram/ mengerjakan haji atau umrah
5)
Wali
yang lebih dekat masuk penjara dan tidak dapat dijumpai.
6)
Wali
yang lebih dekat ‘aqad menikah, yaitu tidak mau menikahkan.
7)
Wali
yang lebih dekat tawari, yaitu bersembunyi-sembunyi karena tidak mau
menikahkan.
8)
Wali
yang lebih dekat ta’azzuz, yaitu bertahan, tidak mau menikahkan.
9)
Wali
yang lebih dekat mafqud, yaitu hilang tiak diketahui tempatnya dan tidak pula
diketahui hidup dan matinya
·
Perwalian
dalam aqad nikah
Wali boleh mengaqadkan nikah (mengibahkan) dengan sendirinya dan
boleh pula mewakilkan pada orang lain. Calon suami juga boleh mengabulkan
(menerima) nikah dengan sendirinya dan boleh pula mewakilkan kepada orang lain.
Setiap orang yang berhak melakukan sesuatu urusan, ia boleh mewakilkan kepada
orang lain untuk melaksanakan urusan itu, kecuali urusan itu tidak boleh
digantikan oleh orang lain.
Perwakilan itu cukup dengan tulisan atau lisan dan tidak wajib
dipersaksikan dengan dua orang saksi, kecuali kalau khawatir akan terjadi
perselisihan.
5.
Wali
adal
Wali adal ialah wali yang tidak mau menikahkan anaknya, karena alasan-alasan
terrentu yang menurut walinya itu tidak setuju dengan adanya pernikahan anaknya
atau cucunya dengan bekal yang hendak menikah itu berakal sehat dan akal suami
juga dalam keadaan kufu.
Apabila terjadi seperti itu, maka perwalian itu pindah langsung
pada wali hakim, bikan pada wali ab’ad, sebab adal itu dhalim sedang yang
menghilangkan kedhaliman adalah Hakim.
Adapun bila tidak mau menikahkannya itu karena sebab wajar (benar
secara syar’i), maka tidak disebut adal seperti:
Ø Wanita itu menikah dengan pria yang tak sekufu’
Ø Maharnya dibawah misil
Ø Atau wanita itu dipinang oleh wanita lain yang lebih pantas (kufu’)
dari pada pinangan pertama itu.
6.
Kedudukan
saksi dalam pernikahan
Saksi dalam prnikahan mempunayai kedudukan yang sangat penting
karena ia menjadi rukun dari nikah sehingga nikah itu menjadi tidak sah tanpa
ada saksi. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah diatas pada bahasa wali
dan saksi inti.
Menurut hadits tersebut jelas bahwa saksi itu harus dua orang. Dan
menurut imam syafi’I dan hambali dua orang itu harus keduanya laki-laki.
Dalam hadits nabi ditegaskan:
“Telah berlaku sunnah dari Rosulullah bahwasannya tidak boleh
kesaksian wanita dalam (masalah hudud), pernikahan dan thalaq.
Sedangkan Imam Abu Hanifah menyatakan sah suatu pernikahan yang
disaksikan oelh seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Berdasarkan firman
Allah SAW:
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari dua orang laki-laki
diantaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki
dan dua orang perempuanyang kamu ridhoi” (Q.S Al-Baqarah : 282)
Kesaksian ini sngat penting pula dalam kaitannya hidup berumah
tangga dan bermasyarakat, paling tidak berguna:
-
Untuk
menjaga apabila ada tuduhan atau kecurigaan polisi atau orang lain terhadap
pergaulan mereka.
-
Untuk
menguatkan janji mereka berdua, begitu pula terhadap keturunannya.
Pada saat sekarang malah tidak cukup hanya saksi, namun harus
disertai dengan surat nikah (kawin). Ini bukan merupakan syarat nikah, tetapi
untuk menjaga kalau ada kesuliatan, misalnya kalau ada kedua saksi tersebut
jauh tempatnya atau sukar dicari atau sudah meninggal dunia.
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
Amir Syarifuddin. 2007. Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Rasjid, Sulaiman, H. 1976. Fiqih
Islam, Jakarta: Attahiriyah jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar